Saat Akmal Malik mengawali tugasnya sebagai Pj Gubernur Kalimantan Timur sekitar September 2023 lalu, tegas menyebutkan dirinya hanya menjalankan roda pemerintahan, pembangunan daerah dan pelayanan publik agar tetap terselenggara dengan baik sampai masa jabatannya berakhir, termasuk mendukung suksesnya penyelenggaraan Pilkada serentak pada bulan November 2024 mendatang; dan secara normatif hal yang sama disampaikan pula oleh Makmur Marbun selaku Pj Bupati Paser Penajam Utara. Namun berjalan waktu, komitmen tersebut dalam implementasinya menjadi ajang aktualisasi diri yang “dapat” dipretensikan sebagai upaya memancing ombak (meminjam istilah Susi Pudjiastuti mantan Menteri Kelautan & Perikanan periode pertama Presiden Joko Widodo berkuasa).
Indikasinya dapat dilihat dengan vulgar dari manuver-manuver kegiatan yang dilakukan, seperti mengaktifkan penggunaan media publikasi termasuk media sosial, untuk mem-blow up penampilan sejalan dengan pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Selain itu tampil dalam pelbagai kegiatan pemerintahan atau non pemerintahan, seperti kegiatan kemasyarakat (termasuk Ormas) serta organisasi kepemudaan, keagamaan dan profesi, disamping kegiatan yang berorientasi kepartaian (Parpol). Apa yang dilakukan tersebut pada akhirnya bermuara pada strategi pencitraan, sehingga wajar banyak pihak beranggapan bahwa para Pj Kepala Daerah yang diitempatkan di Kalimantan Timur sudah berada di perseimpangan jalan, yaitu melanjutkan tugasnya sampai dengan akhir tanpa menimbulkan polemik berarti; Atau ikut dalam kontestasi Pilkada walaupun sekedar bermodal nekat dan percaya diri, terlena terhadap keakraban (“penerimaan masyarakat”) dalam berinteraksi selama ini yang pada dasarnya tidak dapat dijadikan barometer bahwa masyarakat Kalimatan Timur “dapat menerima” kehadiran Pj Kepala Daerah bersangkutan. Percaya diri merupakan suatu keharusan, namun percaya diri yang berlebihan merupakan hal yang tidak baik, walaupun menyandang banyak gelar akademik dan jabatan mentereng.
Memanfaatkan Jalur Birokrasi
Strategi pencitraan diri; apakah merupakan hal yang salah untuk dilakukan; Tentunya tidak, karena sudah menjadi hak individual yang harus dihormati, selama ”keinginan terselubung” yang mengarah pada upaya untuk ikut serta dalam Pilkada tidak menjadikan jalur birokrasi sebagai kendaraan bermanuver politik, baik dengan cara melibatkan ASN sebagai bagian dari Tim Sukses (Timses), maupun menjadikan program/kegiatan DPA tahunan Perangkat Daerah sebagai upaya untuk menarik perhatian masyarakat, akan tetapi bias dari rencana Pembangunan Daerah (RPD) Tahun 2024 – 2026.
Perlu dicermati bahwa RPD disusun sebagai perencanaan transisi sebelum ada penetapan Kepala Daerah definitif berikutnya, dan sudah disterilkan terhadap kepentingan politik. Kewajiban RPD merupakan arahan Kementrian Dalam Negeri, dimana Akmal Malik maupun Makmur Marbun sangat memahaminya, sehingga tidak akan berani meniscayakan keberadaan RPD. Bahkan sebaliknya, mendorong setiap Perangkat Daerah mentaatinya, karena beberapa indikator keberhasilan merupakan indikator pembangunan skala nasional.
Artinya, penuangan kebijakan pembangunan dalam program/kegiatan DPA tidak bertendensi muatan pribadi dan baranggapan bahwa program/kegiatan Kepala Daerah sebelumnya tidak tepat. Masyarakat awam sekalipun sangat memahami, bahwa upaya tersirat untuk selalu menyalahkan Kepala Daerah sebelumnya adalah upaya yang tidak tepat, baik berupa merubah kebijakan dan/atau merubah penerapan administrasi-nya, guna membuka kesempatan untuk melakukan intervensi. Apabila memang benar terjadi maka ini adalah pembelajaran yang tdiak dapat dijadikan panutan berharga dari seorang pemimpin; dan akhirnya masyarakat menjadi bingung bahwa yang salah itu siapa, nilai kebenaran menjadi nisbi karena tergantung kepentingan. Oleh karenanya jangan pula disalahkan apabila masyarakat akan beranggapan hal ini sebagai upaya pembunhan kharakter secara terselubung.
Dalam ranah politik, tindakan pembunuhan kharakter dilakukan biasanya pada lawan politik potensial yang dianggap dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap individu bersangkutan (“yang merasa terganggu”), apabila ada kepentingan untuk maju pula dalam Pilkada; Atau ada kepentingan sudah berafiliasi dengan calon pasangan Kepala Daerah lainnya; dan ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarkat Kalimantan Timur, tanpa harus menyebutkan calon pasangan dimaksud, mungkin saja hal ini sebagai wujud terima kasih bisa masuk ke Kalimantan Timur, sebagai Provinsi dimana IKN berada, memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan kedepannya dan kekuatan APBD besar hingga mencapai Rp 20-an T.
Peluang Maju Pilkada : Bermodal Apa ?
Maju dalam kontestasi Pilkada tidak hanya bermodalkan nekat semata tanpa perhitungan yang jeli, sekalipun sudah blusukan kemana-mana hingga pelosok wilayah pedalaman/perbatasan di Kalimantan Timur, sebagai upaya membentuk konstituen (“pemilih tetap”), namun hal tersebut tidak dapat dibanguan secara instan. Apalagi jabatan Pj tidak lebih dari 1 tahun 6 bulan, sehingga tingkat populeritas-nya relatif masih rendah dikalangan pemilih. Masyarakat sebagai pemilih tetap lebih melihat prestasi kerja yang telah terbukti selama ini, dan ini umumnya melekat pada Kepala Daerah petahana atau mantan Kepala Daerah, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Apabila POPULERITAS-nya tinggi dan PRESTASI KERJA terbukti, maka harus memiliki dukungan finansial yang kuat (ISITAS) dari para sponsor (“seharusnya”) tidak mengiikat. Para peserta kontestasi Pilkada yang mengandalkan jalur birokrasi terutama melalui pelaksanaan program/kegiatan DPA untuk mengundang simpati masyarakat pemilih selama masih selaras dengan dokumen perencanaan (RPD) masih dalam toreransi. Akan tetapi kalau sudah bias dari RPD, tentunya akan beresiko, yaitu berurusan dengan Aparat Penegak Hukum (APH), kecuali memang berani melakukannya. Para APH sudah jeli menangani masalah ini, karena selalu berulang kejadiannya pada setiap Pilkada, khususnya dalam pengelolaan bantuan sosial.
Tidak ada larangan bagi Pj Kepala Daerah untuk maju Pilkada selama ke-3 hal disebutkan diatas sebelumnya sudah yakin dapat dipenuhi, dan yang lebih penting segera mengundurkan diri untuk melakukan persiapan dini, dengan resiko kehilangan previlage hak keprotokolan sebagai representasi Kepala Daerah, dan tentunya biaya operasional Kepala Daerah yang cukup lumayan jumlahnya; Atau menunggu detik-detik terakhir memasuki tahap pendaftaran calion pasangan Kepala Daerah, baru mengundurkan diri secara resmi. Posisi dipersimpangan jalan ini pasti menimbulkan kegamangan.
Bagaimana peluang Pj Kepala Daerah, dapat dikatakan relatif kecil dan susah untuk ditingkatkan dalam sisa waktu yang ada karena aspek populeritasnya belum merata, yaitu terbatas dilingkungan pemerintahan saja, sementara masyarakat lebih mengenal ISRAN – HADI dan ANDI HARUN, sedangkan Rudy Mas’ud dikenal karena kejelian memanfaatkan media. Demikian prestasi kerja yang dapat dirasakan langusng masyarakat belum ada, meskipun digeber melalui pemberitaan media tidak ada efek-nya, kecuali bagi Menteri Dalam Negeri dalam rangka evaluasi kinerja Pj; apakah layak atau tidak untuk diperpanjang.
Untuk kekuatan modal finansial, baik Akmal Malik maupun Makmur Marbun, dapat dipastikan tidak akan mau mengorbankan simpanan masa tuanya lenyap sia-sia tanpa mengandalkan sponsor. Pertanyaannya; apakah ada yang mau menjadi sponsor terhadap calon yang tidak populer. Berarti dapat dikarakan, para Pj Kepala Daerah tidak memiliki modal finansial untuk membiayai manuver politik menghadapi Pilkada, kecuali mau menempati posisi Wakil Kepala Daerah, dimana bagi Akmal Malik hal ini merupakan hal yang tabu dan lebih memilih tetap sebagai Dirjen OTDA, sedangkan Makmur Marbun ada kemungkinan masih bisa berkenaan sebagai Wakil, karena akan segera memasuki masa pensiun.
Pertanyaan berikutnya; apakah para Pj Kepala Daerah ini memiliki modal politik berupa dukungan Parpol, dimana selama ini belum ada gaung dari kalangan masyarakat maupun elit Parpol menyebutkan nama mereka dalam kancah politik, atau masih menunggu waktu yang tepat. Seandainya Akmal Malik “dapat dipasangkan dengan Rudy Mas’ud, maka hal ini dapat dipastikan tidak ada peluangnya, karena Rudy sendiri sibuk membentuk koalisi besarnya, untuk menutupi hal prinsip sebenarnya, yaitu mencari Wakil yang sama-sama mau berpatungan modal; Dan tidak mungkin pula Rudy mau menjadi orang ke-2.
Sementara Makmur Marbun melalui boss-nya (Akmal Malik) dapat saja melobi Partai Golkar ditingkat DPD maupun DPC untuk bisa maju PIlkada di Kabupaten Paser Penajam Utara, namun karena DPC Partai Golkar hanya memiliki 3 kursi di DPRD maka minimal dibutuhkan tambahan 2 kursi untuk dapat berkoalisi dalam mengusung calon pasangan Kepala Daerah. Konsekwensinya, Makmur Marbun harus mempersiapkan biaya politik dan didukung Parpol lainnya. Pertanyaannya; apakah ada Parpol yang mau mengusung calon tanpa kekuatan finansial yang cukup untuk berjibaku di arena Pilkada. (//drs, Samarinda 12/07/2024)
Leave a Reply