Cukup menarik pemberitaan Samarinda Pos (7/6/2024), walaupun sudah cukup lama berita tersebut ditayangkan, namun substansi permasalahannya masih relevan, yaitu kebijakan melakukan mutasi ASN pejabat pimpinan tinggi pratama (PPTP) atau eselon II dilingkungan Pemerintah Provinsi Kaltim, dimana berdasarkan UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN sudah diatur kewenangan untuk mengangkat ASN dalam jabatan yang bersifat promosi maupun mutasi adalah melekat pada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), termasuk diantaranya adalah Kepala Daerah, baik sebagai Gubernur, Bupati ataupun Walikota. Hal ini sesuai dengan pasal 29 ayat (1) UU dimaksud, dan dalam pelaksanaan kewenangann tersebut PPK wajib melaksanakan sistem merit.
Sistem merit diselenggarakan sesuai prinsip meritokrasi, yaitu prinsip pengelolaan SDM yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, potensi, kinerja serta integritas dan moralitas yang dilaksanakan secara adil dan wajar tanpa membedakan latar belakangnya, termasuk ikatan almamater (lihat penjelasan pasal 27 UU No. 20 Tahun 2023); atau ringkasnya adalah mengkombinasikan antara daftar urutan kepangkatan (DUK) dan kompetensi, serta keharuasan adanya seleksi terbuka untuk jabatan pimpinan tinggi pratama (JPTP).
Pihak PPTP bersangkutan menggugat Pj Gubernur Kaltim di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Samarinda atas mutasinyakembali pada jabatan semula yang pernah didudukinya cukup lama (± 4 tahun), padahal jabatan lainnya yang setara masih terbuka merujuk pada PERMENDAGRI No. 134 Tahun 2018 tentang Kedudukan, Tata Hubungan Kerja dan Standar Kompetensi Staf Ahli Kepala Daerah, terdapat 3 Staf Ahli dengan pembidangan tugasnya masing-masing, sehingga tidak ada alasan untuk kembali menempatkan pada jabatan yang sama, kecuali ada pertimbangan lainnya sebagai alasan. Namun tetap memperhatikan hak ASN sebagaimana diatur pasal 21 ayat (2) huruf f UU No. 20 Tahun 2023, yaitu hak untuk mendapatkan pengembangan diri.
Selanjutnya dipertegas dalam ayat (8) pasal yang sama disebutkan bahwa pengembangan diri ASN dimaksud berupa pengembangan talenta dan karier, sehingga merujuk pada ketentuan diatas cukup terbuka peluang adanya kelalaian administratif terhadap keputusan mutasi yang telah diambil oleh Pj Gubernur. Kelalaian administratif ini sesuai UU No, 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, memungkinkan bagi PPTP bersangkutan melakukan upaya administratif, yaitu proses penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan Administrasi Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya keputusan dan/atau tindakan yang merugikan. Kemudian dalam pasal 8 UU tersebut, khususnya ayat (3) menyebutkan bahwa badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenangnya wajib berdasarkan peraturan perundang-undangan dan menerapkan azas-azas umum pemerintahan yang baik (lihat pasal 10).
Pertamyaan mendasarnya; Apakah Pj Kepala Daerah mrmiliki kewenangan mandatori sebagai PPK sebagaimana halnya Kepala Daerah definitif, dimana secara delegatif maupun atributif memiliki keewenangan melekat karena UU, sedangkan Pj Kepala Daerah termasuk Pj Gubernur tidak ada kewenangan dimaksud. Selama ini rujukan atas penetapan kebijakan mutasi dan bahkan promosi ASN yang dilakukan oleh Pj Kepala Daerah adalah PERMENDAGRI No. 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota.
Dalam pasal 15 PERMENDAGRI dimaksud terdapat ambivalen ketentuan, yaitu pada ayat (2) huruf a tegas memberikan larangan bagi Pj Kepala Daerah untuk melakukan diantaranya mutasi ASN. Namun pada ayat (3) pasal yang sama disebutkan bahwa ketentuan larangan yang diatur pada ayat (2) huruf a tadi dapat dikecualikan setalah mendapat persetujuan Menteri, dimana Menteri dimaksud adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, yattu Menteri Dalam Negeri (lihat pasal 1 angka 10).
Disinilah letak perdebatannya, karena PERMENDAGRI bukan merupakan turunan berjenjang dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia, apalagi bertentangan dengan UU diatasnya. Kewenangan pembinaan pegawai ASN melekat pada Presiden, sebagaimana diatur dengan tegas pada pasal 26 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2023, bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi dan manajemen ASN.
Selanjutnya, seperti telah diutarakan diatas bahwa pada pasal 29 ayat (1) menyebutkan Presiden dalam hal pembinaan Pegawai ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentiaan pejabat, tidak termasuk PPT Utama, PPT Madya dan pejabat fungsional tertinggi, kepada Menteri, Pimipnan Lembaga Pemenrintahn non Kementrian, Sekretariat Lembaga Negara non Kementerian, Gubernur dan Bupat/Walikota.
Merujuk pasal 29 ayat (1) dapat dipahami bahwa kewenangan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pejabat kepada PPK sudah dibatasi kepada para pejabat pemerintahan (“negara”) sebagaimana disebutkan sesuai kewenangannya. Artinya, untuk para ASN di Daerah merupakan kewenangan Gubernur untuk ASN dilingkup Pemerintah Provinsi dan untuk ASN Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi kewenangan sepenuhnya Bupati/Walikota.
Kewenangan Menteri (termasuk Menteri Dalam Negeri) serta Lembaga Pemerintahan non Kementrian dan Sekretariat Lembaga Negara non Kementerian adalah pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pejabat lingkup Kementerian/Lembaga Non Kementrian masing-masing, sehingga tidak seharusnya ada pelampauan kewenangan delegatif yang telah diatur oleh Presidean. Demikian pula memperhatikan pasal 26 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2023, telah menegaskan bahwa Presiden dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Kementrian dan/atau Lembaga yang melaksanakan tugas dan fungsi pemerintah dibidang Aparatur Negara, dan didalam pelaksanaannya sesuai ketentuan ayat (5) diatur lebih lanjut berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES). (//drs, Surabaya 23/062024)
Leave a Reply