
Oleh Diddy Rusdiansyah A.D
**) Tertarik berita pada harian umum SAMARINDA POS Jum’at tanggal 22 Desember 2023 lalu, dengan judul cukup sensional “Kami Tidak Melawan, yang Penting Bisa Nego”. Artinya, dalam bahasa sederhana, Pemerintah Kota tidak mengambil keputusan sepihak, harus ada dialog dulu dengan melibatkan pelbagai pihak berkepentingan terutama para pedagang yang selama ini menggantungkan mata pencahariannya di Pasar Pagi.
Pasar Pagi berada di sekitar Sungai Mahakam, sudah ada sejak 21 Januari 1959, dan tetap eksis sampai saat ini. Sejalan dengan pesatnya perkembangan pembangunan Kota Samarinda, serta pertambahan jumlah penduduk yang sudah mencapai 856.360 jiwa (per akhir Juni 2023, DKP3A Provinsi Kaltim), maka tidak dapat dipungkiri bahwa lokasi Pasar Pagi berada di kawasan peniagaan, dengan tingkat kepadatan lalu lintas cukup intens.
Faktanya, kapasitas fisik pasar tidak berimbang dengan jumlah pedagang dan pengunjung (“pembeli”), sehingga terkesan padat dan kumuh. Sementara tuntutan kehidupan masyarakat perkotaan (urban) mengenai pasar tradisional adalah pasar yang bersih, harga barang terjangkau terutama bagi masyarakat berpenghasilan menengah kebawah.
Mengalihkan keberadaan Pasar Pagi ke lokasi lain bukan merupakan solusi atas penyelesaian masalah, karena akan menghilangkan nilai historisnya. Oleh karena itulah Pemerintah Kota harus mengambil jalan tengah yang bersifat win-win solution, yaitu mengakomodir tuntutan masyarakat urban dan tidak menghilangkan kepentingan para pihak yang menggantungkan hidupnya di pasar tradisional ini, termasuk para pembeli yang berkepentingan adanya alternatif “tempat belanja” yang menawarkan harga relatif murah.
Pemerintah Kota harus menyadari bahwa disparitas pendapatan tetap ada perbedaan. Bagi mereka yang memiliki penghasilan menengah keatas alternatif pilihan belanja adalah pasar moderen, yaitu di super market atau mall. Ini tidak terlepas gaya hidup masyarakat urban, berbelanja sembari rekreasi. Suasana nyaman, bersih, pilihan banyak barang/komoditi untuk dibeli dalam satu tempat, serta tersedia fasilitas lainnya terutama kuliner.
Bagaimana halnya dengan masyarakat yang berpenghasilan rendah; apakah tetap disudutkan pada pilihan tempat hanya di pasar tradisional, mengingat tidak ada pilihan lain. Pertanyaan mendasarnnya; Apakah Pemerintah Kota Samarinda mampu menciptakan “image” bahwa pasar tradisional berlaku bagi semua lapisan masyarakat tanpa membedakan strata sosial-nya (“pendapatan”).
T a h u n (dlm org) |
||||
2019 | 2020 | 2021 | 2022 | 2023 (s/d Semeser I) |
793.576 | 817.254 | 831.220 | 849.717 |
856.360 |
Penataan Sekitar Tepian Sungai Mahakam – Menghidupkan Kenangan Masa Lalu
Pemerintah Kota Samarinda saat ini sedang melakukan penataan di sekitar Sungai Mahakam, yaitu di tepi sungai dibangun “Teras Samarinda”, dimana pada tahap pertama sepanjang tepi sungai dari depan Makorem ASN hingga depan BTN. Menata Citra Niaga sebagai kawasan pedestrian. Idealnya seperti kawasan pedestrian di sekitar Jl. Malioboro Yogyakarta atau sepanjang Jl. Jend. Basuki Rahmat di Malang. Selain itu, menata seputar kawasan Kampung Pelabuhan sebagai China Town (masih dalam tataran wacana, dengan menerapkan pola kemitraan pemerintah – masyarakat).
Revitalisasi kawasan perniagaan Citra Niaga identik dengan mengembalikan masa kejayaannya pada tahun 1980-an, mengingat pernah mendapatkan Aga Khan Award di tahun 1989, karena mampu memadukan para pedagang yang memiliki kemampuan ekonomi kuat, dengan para pedagang ekonomi lemah yang diberikan kesempatan menempati posisi tempat berdagang yang strategis, tanpa menimbulkan kecemburuan dari para pedagang ekonomi kuat. Mengapa hal ini bisa terjadi ?; Jawabannya adalah penataan kawasan dimungkin dapat diakses para pedestrian dari banyak penjuru, sehingga tidak menimbulkan keresahan akibat tidak adanya pembeli potensial.
Posisi pedagang ekonomi lemah berada di jantung kawasan Citra Niaga, ada pusat hiburan rakyat dan area bermain anak-anak. Tidak ada persaingan dengan pedagang ekonomi kuat. Mereka hanya menjajakan kuliner, souvenier, obat tradisional (jamu), barang kerajinan tangan khas Kalimantan Timur. Mereka dimagangkan untuk menjadi pedagang bermodal kuat dikemudian hari kelak. Filosofi inilah yang menjadikan Citra Niaga mendapatkan Aga Khan Award, bukan sepenuhnya ditentukan oleh gaya arsitektur yang berakar dari budaya lokal.
Kawasan perniagaan Citra Niaga adalah manifestasi dari Taman Hiburan Gelora (THG) yang eksis disekitar tahun 1970-an, satu-satunya hiburan bagi masyarakat Samarinda saat itu (muliai dibangun 1967). Sungguh disayangkan Citra Niaga redup secara berlahan, karena kita membiarkannya. Anak-anak kita yang lahir sekitar tahun 1990-an tidak lagi menjadikan Citra Niaga sebagai alternatif tempat belanja (hiburan), akibat dari banyaknya mall yang terus bermunculan, sejalan dengan berkembangnya jumlah penduduk Samarinda (lihat Tabel 1 diatas sebelumnya).
![]() |
![]() |
Teras Samarinda yang saat ini masih dalam proses pembangunan Tahap I. Posisi depan Ktr Gubernur Kaltim |
Kita semua sadar atau tidak sadar akan menjadi bagian dari fakta sejarah yang turut serta melenyapkan heritage Kota Samarinda tempo doeloe. Secara fisik kita tidak memiliki Kota Tua sebagai heritage di Kota Jakarta atau Kota Tua yang ada di Semarang atau seputaran Alun-alun Kota Malang. Namun, kita masih memiliki kesempatan menjaga nilai-nilai sejarahnya, seperti menghidupkan kembali Citra Niaga sebagai evolusi dari keberadaan THG tempo doeloe.
Kawasan Pedestrian Citra Niaga – Kawasan Interaksi Sosial Tanpa Membedakan Strata
Pilihan hiburan ke kawasan Citra Niaga bukan dikarenakan kondisi keuangan yang sedang tidak baik-baik saja atau bahasa kerennya tidak memiliki likuiditas yang cukup alias tidak punya uang. Kalau ini sebagai alasannya maka ada kemungkinan; Pertama, kunjungan ke kawasan perniagaan Citra Niaga akan terasa crowded pada minggu ke-III hingga ke-IV setiap bulannya. Saat masih memiliki uang yang cukup umumnya pada minggu ke-I dan ke-II maka pilihannya adalah ke mall atau café kekiniaan yang menjadi gaya hidup generasi milenial saat ini.
Kedua, kemungkinanya adalah seperti telah disinggung diutarakan diatas, yaitu kondisi keuangan yang memang pas-pasan, hanya bisa mencari hiburan di Citra Niaga saja, atau sekedar mencari a la kadarnya.
Artinya Pemerintah Kota Samarinda ditantang mematahkan alibi tersebut, yaitu menjadikannya sebagai kawasan interaksi sosial tanpa membedakan strata sosial penduduk, sehingga hal yang memungkinkan untuk itu adalah menjadikannya sebagai venue hiburan yang memanfaatkan para seniman jalanan lokal. Selain itu menjadikannya sebagai pusat jajanan dan makanan lokal, yang mulai tersisih dengan kehadiran jajanan/makanan impor (franchise fast food).
Hiburan dan kenikmatan rasa jajanan/makanan inilah yang telah terbukti mampu menyatukan semua strata sosial penduduk. Oleh karenanya, dapat diprediksi akan bermunculan café, kedai dan resto di kawasan Citra Niaga, menggantikan fungsi toko yang telah kosong maupun toko lainnya yang banting setir menjadi café/kedai/resto.
Perlu pengaturan lebih lanjut agar tidak menimbulkan kekumuhan seperti sebelumnya, dapat dicontohkan di Jln. Braga di Kota Bandung, ada batasan menambah rabat bangunan yang berlebihan, hanya sebatas untuk menunjukkan identitas café/resto masih diperkenankan.
Keberadaan Mesjid Raya Darussalam
Mesjid Raya pertama di Samarinda berada di sekitar tepi Sungai Mahakam, dulunya berada diatas permukaan air sungai dan bergeser ke arah darat, pada posisi yang ditempati saat ini, dan keberadaannya diapit oleh Pasar Pagi dan kawasan perniagaan Citra Niaga. Berarti, penataan Citra Niaga akan berdampak terhadap suasana ibadah umat Islam, sehingga pada malam hari terutama antara waktu sholat magrib dan isya. Selama waktu sholat tersebut tidak keramaian berupa suara musik (termasuk orang bernyanyi), namun setelah itu dapat dilakukan.
Kampung Pelabuhan – China Town a la Samarinda
Kampung Pelabuhan dimaksud adalah di sekitar “tempekong” (klenteng) yang ingin dijadikan China Town. Mantan Walikota Tarakan pertama, Yusuf SK, pernah mendeklarasikan Tarakan sebagai Little Singapore, dimana manifestasinya diwujudkan dengan menjaga kebersihan dan menata taman kota.
Apakah China Town yang digagas Walikota Samarinda, Andi Harun, hanya identik dengan kawasan Pecinan yang ada di Kota-kota di Jawa; Atau kawasan Petak 9 di sekitar Glodok Jakarta. Kalau itu yang dimaksudkan maka China Town adalah kawasan perniagaan yang dominan etnis China sebagai pedagang utamanya.
Idealnya, China Town dimaksud tidak sekedar mengisi kawasan tersebut dengan pernak-pernik yang umumnya digunakan oleh etnis China, namun lebih dari itu, yaitu mampu memunculkan budaya etnis China, walaupun sudah berakulturasi dengan budaya nusantara (lokal), seperti pertunjukkan tari barongsai, serta adanya kuliner dan kedai khas China.
Pemerintah Kota Samarinda hanya menata fasiltas umum saja, seperti jalan dan trotoar. Selebihnya, terutama fasilitas fisik yang dapat menciptakan nuasa budaya etnis China, diiharapkan menjadi tanggungjawab masyarakat. Pemerintah Kota tetap melakukan rencana penataan yang dapat dijadikan rujukan, setelah didapatkan masukan dari pelbagai pihak berkepentingan (stakeholder).
Penataan Kota Memanfaatkan Kehadiran IKN
Keseluruhan penataan seputar Sungai Mahakam, termasuk rencana revitalisasi Pasar Pagi, merupakan penataan kawasan kota lama di Samarinda, sehingga sebagai masyarakat yang baik kita sepatutnya mendukung upaya Pemerintah Kota. Apalagi upaya ini merupakan langkah strategis untuk mengantisipasi keberadaan Ibu Kota Nusantara (IKN), mengingat Kota Samarinda bagian dari mitra IKN. Penduduk IKN akan memiliki pilihan hiburan untuk mengisi waktu luang (liburan}. Kota Samarinda memiliki keuntungan komparatif sebagai implikasi dari keberadaan Sungai Mahakam, sehingga upaya penataan dengan mempercantik performa fasilitas perkotaan merupakan suatu keharusan.
Penduduk IKN secara bertahap terus akan bertambah dengan adanya mutasi ASN maupun anggota TNI dan Polri, disamping migrasi penduduk dari daerah lain yang memanfaatkan keuntungan ekonomi di IKN. Pengembangan IKN nantinya akan mencapai luasan 256.142 Ha, mencakup 6 Kecamatan dan 54 Desa/Kelurahan yang dulunya masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Kutai Negara dan Kabupaten PPU.
Pembangunan infrastruktur akan terus berlangsung hingga tahun 2045. Saat ini peran Pemerintah Pusat lebih dominan dalam memacu pembangunan IKN, dengan menyediakan 20 % pembiayaan dari APBN, khususnya untuk mempersiapkan infrastruktur pemerintahan dan faslitas umum/sosial, agar supaya roda Pemerintahan dapat segera berjalan pada tahun 2025 mendatang. Investor dalam negeri (PMDN) dan investor luar negeri (PMA) didorong untuk membiayai infrastruktur bernilai komersial (cost recovery), yaitu 80 % dari kebutuhan investasi pembangunan IKN.
Apa maknanya bagi Pemerintah Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur. Maknanya adalah harus mampu mengimbangi percepatan pembangunan IKN, dengan memacu sektor/ program pembangunan daerah yang memiliki keunggulan komparatif. Pemerintah Kota Balikpapan sudah mengklaim sebagai Kota MICE, karena didukung properti serta infrastruktur perkotaan yang cukup representatif
Dan bagaimana dengan Kota Samarinda ?; Pemerintah Kota Samarinda seharusnya berani mengkalim keunggulannya, seperti telah disebutkan sebelumnya, yaitu menterjemahkan Samarinda Kota Tepian; Kota yang berada di tepi Sungai Mahakam sejak awal berkembangnya di tahun 1668 dan tetap eksis sampai saat ini (berusia 356 tahun). Samarinda dapat menjadi “hub” bagi daerah sekitarnya, baik dari sisi darat, udara maupun sungai, sebagai keunggulan,
Menjual Sungai Mahakam pada akhirnya akan berkorelasi terhadap upaya penataan lingkungan sekitarnya. Kedepan, diharapkan sepanjang tepi Sunagi Mahakam tidak ada pemukiman, dijadikan koridor taman dengan “view” sungai. Samarinda dapat belajar dari pengalaman Kota Balikpapan dan Kota Kendari.
Di Balikpapan kita tidak bisa memandang laut lepas, karena sudah tertutup properti hotel/ apartemen yang semakin marak. Sebaliknya di Kendari kita dapat memandang laut yang ditutupi dengan hutan bakau yang rimbun. Di Samarinda hutan bakau tersebut diganti dengan taman penghijauan berupa pohon rindang yang merupakan flora khas Kalimantan sebagai ruang terbuka hijau (RTH),
Kondisi Ideal Pasar Pagi
Sebelumnya sudah disinggung bahwa revitalisasi Pasar Pagi pada dasarnya tetap mempertahankan nilai historis keberadaannya sebagai bagian dari kawasan kota lama Kota Samarinda. Bagaimana kondisi ideal dimaksud ?; Harus terjaga keseimbangan antara daya tampung (kapasitas fisik pasar) dengan jumlah pedagang permanen (“memiliki stan/booth”) maupun jumlah pengunjungnya.
Pedagang (sebagai pelaku ekonomi) bebas keluar masuk pasar tanpa ada hambatan, yang penting melunasi retribusi harian. Faktanya memang seperti ini, sehingga tidak mengherankan terjadinya ketidakseimbangan (disequilibrium), dibuktikan dari suasana kumuh dan semrawut didalam lingkungan pasar, bahkan membludak diluar lingkungan pasar. Implikasi berikutnya adalah terjadinya rutinisme kemacetan lalu lintas akibat kantong-kantong parkir yang tidak tertata dengan baik.
Menjadikan Pasar Segiri sebagai pasar induk merupakan kebijakan yang tepat, dan mensebarkan pasar tradisional ke beberapa wilayah di Kota Samarinda merupan kebijakan yang sudah tepat pula, agar masyarakat Samarinda tidak hanya bertumpu pada pasar tertentu saja. Hal ini dapat mengurangi kepadatan pasar dan menciptakan efisiensi, karena jarak tempuh menuju pasar tidak terlalu jauh, masih berdekatan dengan lingkungan rumah.
Idealnya, revitalisasi Pasar Pagi diikuti secara bertahap terhadap revitalisasi pasar-pasar tradisional lainnya sesuai segmentasi kewilayahannya masing-masing. Pengalaman best practice yang cukup menarik menjadi rujukan pembelajaran adalah pasar tradisional Oro-oro Dowo Malang. Secara fisik tidak ada kelebihan mendasar, kecuali terhadap hal adanya keseimbangan antara kapasitas pasar dengan pedagang dan pengunjung, lingkungan yang bersih (tidak becek), tidak ada suasana kumuh/semrawut, serta tisak diperkenankannya pedagang membawa barang dagangan yang masih diperlukan pembersihan sebelum dijual, seperti ikan dan ayam.
Hal menarik lainnya, di Pasar Oro-oro Dowo ini disediakan stan (booth) kuliner hanya menjaul satu produk jajanan/makanan, sehingga tidak ada persaingan. Lingkungan pasar yang bersih maka tercipta wisata kuliner keluarga, dimana ibu rumah tangga berbelanja komoditi pangan beserta sembako dan buah-buahan, sedangkan bapak sebagai kepala rumah tangga bersama anak/cucunya makan (“sarapan”) bersama sembari menunggu ibu/isteri berbelanja. Tersedia pula kedai kopi untuk sekedar menunggu Tidak ada perbedaan strata sosial, mengingat terutama di saat hari libur masyarakat cenderung mencari suasana berbeda sebagai alternatif untuk belanja.
![]() |
![]() |
![]() |
Suasana Pasar Oro-oro Dowo Malang yang bersih, rapi dan tertata dengan baik |
Pada tahun 1990-an di lingkungan berdekatan dengan pasar Pasar Pagi, masyarakat Samarinda tentunya masih ada yang ingat “Pasar Seng” yang menjajakan makanan khas Kalimantan. Pasar Seng ini dapat dihidupkan kembali, tapi tempatnya digeser ke kawasan Citra Niaga. Disamping menyediakan tempat tersendiri di Pasar Pagi (hasil revitalisasi), sebagaimana di Kota Sola. Ikon pasar tradisional di Solo adalah kuilner khas Solo yang melegenda, sehigga ada kesan belum ke Kota Solo, apabila belum menjajal jajanan/makanan di pasar tradisional. Sama halnya dengan Pasar Atom lawas di Surabaya, jajanan/makanan legendaris merupakan salah satu nilai jual yang menjadikannya tetap eksis hingga sekarang ini
Pengaturan space ruangan pasar merupakan hal krusial, hindari kesan adanya lahan kering dan lahan basah, semakin banyak pengunjung/pembeli yang lalu-lalang maka dikatakan sebagai lahan basah. Beberapa pengalaman membuktikan bahwa revitalisasi pasar bersifat vertikal maka lantai paling atas akan sepi pengunjung yang terjadi secara berlahan. Pertanyaannya; apakah saat mendesain space ruangan pasar sudah dilakukan survei, untuk mengetahui persepsi pedagang/pengunjung pasar.
Lahan parkir perlu diperhatikan, khususnya kantong-kantong parkir liar termasuk pedagang yang membludak hingga keluar pasar. Langkah penertiban pelu dilakukan tapi tidak mematikan periok nasi orang.
- Tulisan ini tidak ada tendensi apapun, kecuali sebatas keinginan untuk memberikan masukan kepada Pemerintah Kota Samarinda. Dan apa yang dituliskan merupakan pendapat pribadi semata berdasaekan pengalaman, pengetahuan yang dimiliki dan pengamatan langsung.
Leave a Reply