Yudian Wahyudi selaku Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), beberapa hari terakhir ini memjadi topik pembicaraan di media siber dan cetak, terkait kebijakan/ pernyataannya yang kontroversi, mulai dari keharusan melepaskan jilbab bagi para putri anggota Paskibraka Nasional 2024 saat bertugas di Istana Negara di IKN, maupun pernyataannya bahwa agama menjadi penghambat penerapan ideologi Pancasila dalam pelbagai aspek kehidupan terutama dalam urusan kenegaraan (“pemerintahan”).
Tampaknya Kepala BPIP ini arah pemikirannya adalah sekuler, yaitu memisahkan urusan kenegaraan dengan urusan agama, karena agama hanya dipahami sebagai keyakinan individual semata dan tidak ada hubungannya dalam urusan kenegaraan. Disinilah inti dari ketidakpahaman Yudian tentang agama, sehingga patut dipertanyakan kualitas kemampuannya untuk memimpin BPIP.
Agama tidak sekedar mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-nya melalui tuntunan ibadah, namun mengatur pula hubungan antar sesama manusia dan antar manusia dengan makhluk hidup lainnya melalui penerapan nilai/norma keagaman yang secara substantif mengajarkan kebaikan, tidak hanya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, namun lebih dari itu adalah dalam tatanan kenegaraan. Masyarakat madani yang selama ini digaungkan di Indonesia, tidak terlepas dari ajaran Nabi Besar Muhammad SAW saat membina ummat Islam di Madinah, sebelum akhirnya kembali ke Mekkah.
Penggunaan jilbab bagi kaum wanita merupakan salah satu ajaran prinsip bagi ummat Islam, yaitu untuk menutup aurat agar tidak menimbulkan kemudaratan bagi wanita bersangkutan, tidak sekedar model pakaian (fashion) yang diidentikan dengan budaya masyarakat Arab. Bahkan ada kesan penggunaan jilbab identik dengan pemikiran ekstrim, dan menjadi pembeda identitas mereka terhadap penganut agama (termasuk Islam) yang tidak sepaham aliran pemikirannya. Pemahaman seperti ini sifatnya men-general-kan fakta-fakta yang sifatnya kasuistik, dan terkesan bahwa ummat Islam seperti itulah gambarannya. Praktis, pernyataan Yudian Wahyudi bertendensi menimbulkan emosional bagi ummat Islam, karena di Indonesia ini jumlah ummat Islam mencapai ± 90 % dari jumlah penduduk secara totalitas.
Walaupun sudah ada permohonan maaf secara terbuka oleh Yudian, namun tidak otomatis pernyataan tersebut lenyap dengan sendirinya, mengingat jejak digitalnya sudah beredar di dunia maya, sebagai pemikiran autentik Yudian Wahyudi selaku personafikasi kelembagaan BPIP (“Pejabat Publik”), walaupun tidak semua individu BPIP memiliki pemahaman seperti pimpinannya. Ini merupakan pelajaran berharga bagi Yudian untuk arif dan cerdas dalam memberikan pernyataan dihadapan publik, agar tidak menimbulkan ketersinggungan dan tidak tendensius karena berbeda paham {“isme”).
Pancasila sebagai dasar ideologi negara sudah bersifat final, dimana sejak dicetuskan pada tanggal 1 Juni 1945 oleh Presiden Soekarno, ummat Islam sudah menerimanya karena ke-5 sila yang ada tidak bertentangan dengan nilai/norma agama Islam, baik dalam urusan kemasyarakatan maupun kenegaraan. Pancasila sendiri merupakan kristalisasi dari pelbagai nilai/norma semua agama dan budaya dari semua suku di Indonesia.
Pada zaman Orde Baru (ORBA) kita pernah mengenal P4 (Pedoman Penghayatan & Pengamalan Pancasila), dengan 45 butir-butir Pancasila sebagai penjabaran dari setiap sila yang ada sebagai pedoman dalam aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Saat ini P4 tidak lagi diterapkan, akan tetapi bukan berarti memandulkan Pancasila itu sendiri. Mengingat, nilai/norma ke-5 sila tersebut tidak ada batasan waktu dan ruang kedaluwarsaan-nya, sehingga sifatnya menjadi lebih dinamis dan dapat segera disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Artinya, dinamika implementasi atas penjabaran nilai/norma Pancasila dimungkinkan terjadi sejalan dengan nilai/norma agama dan budaya asli Indonesia yang terus berkembang. Tidak perlu adanya doktrin dengan menterjemahkan Pancasila secara sepihak (“oleh Pemerintah”), yang mengakibatkan Pancasila hanya sekedar hapalan mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Penterjemahan sila-sila menjadi 45 butir pada masa ORBA menjadikan Pancasila kaku serta tidak fleksibel.
Disinilah tantangan BPIP, yaitu mampu menjadikan Pancasia lebih dinamis dan mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa hakekat Pancasila tidak akan lekang karena waktu dan ruang, bukan mencari kambing hitam terhadap mulai terkikisnya penerapan nilai/norma Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (pemerintahan).
Sebagai contoh dalam agama Islam, dalil utama (aqli) untuk memaknai atau mensikapi masalah dalam aspek apapun adalah merujuk pada Al Qur’an dan Al Hadits Nabi Muhammad SAW, dan bagi penganut Islam diberikan kesempatan menggunakan akal sehatnya (naqli) untuk menterjemahkannya dalam mencari solusi (atau mensikapi) masalah tersebut. Oleh karenanya, banyak pandangan Islam dalam perbagai bentuk kajian terus dihasilkan para ulama, cendikiawan dan pemikir Islam.
Perbedaan pemikiran dapat saja terjadi, namun karena adanya perbedaan tersebut menjadi khazanah yang memperkaya pemikiran (sudut pandang) Islam mengenai pelbagai aspek kehidupan. Padahal kita ketahui bersama bahwa sejak disempurnakannya Al Qu’an dan Al Hadits menjadi kitab yang tertata dengan baik hingga saat ini, sudah sekian ribu tahun tidak pernah kehilangan makna.
Demikian pula halnya dengan Pancasila, pihak BPIP secara kelembagaan terus mengembangkan model/pendekatan yang dapat diterima masyarakat, tidak hanya melalui jalur pendidikan formal dengan menjadikannya sebagai bagian dari kurikulum pembelajaran di dalam/luar kelas. Tentunya perlu dilakukan penyesuian dengan kondisi kekinian terutama bagi generasi milenial, yang membutuhkan kesempatan terbuka untuk berdialog tentang sikap memaknai nilai/norma Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Hal lainnya yang tidak kalah penting adalah peran aktif BPIP memberikan himbauan kepada Pejabat Publik (“Negara”) untuk memberikan contoh tauladan dikalangan masyarakat terkait sikap pejabat yang menggambarkan sepenuhnya penerapan Pancasila.
Itulah tantangan BPIP kedepan, bukan sekedar mengurusi penggunaan jilbab dan menyalahkan agama, lupa terhadap tugas dan fungsi (tupoksi) kelembagaan BPIP yang kalau diipadankan dengan kelembagaan yang sama pada zaman ORBA adalah identik dengan BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan P4). Kelembagaan BP7 ini keberadaannya berjenjang dari tingkat Daerah hingga Pusat dalam melakukan penataran P4 skala massal.
Berbeda dengan BPIP saat ini, tidak memiliki perpanjangan tupoksi di daerah, dan berpeluang menimbulkan resistensi apabila kembali menyelenggarakan penataran skala massal. Oleh karenanya BPIP harus jeli dalam memilih pendekatan; Apakah dengan mengadakan sosialisasi terprogram, diskusi interaktif ataupun kajian tematik. Ketiga pendekatan tadi (“sekedasr contoh”) lebih tepat untuk saat ini karena dapat menstimulasi munculnya pemikiran-pemikiran cerdas bagaimana mengimplementasikan Pancasila, dan menjadikan Pancasila tidak kaku dilihat pelbagai sudut pandang, termasuk dari sudut pandang keagamaan. (//drs, Samarinda 20/08/2024)
Leave a Reply