Press ESC to close

KARTEL POLITIK : Mendistorsi Tatanan Demokrasi **)

O l e h :

Diddy Rusdiansyah A.D, SE, MM, M.Si

 

P e n g a n t a r

Kartel tidak hanya terjadi dalam sistem perekonomian suatu negara, termasuk di Indonesia, dimana keberadaan kartel ini akan menimbulkan distorsi harga dan menjadikan persaingan tidak sehat antar pelaku ekonomi. Sementara dalam sistem perpolitikan dengn multi partai politik (Parpol), kartel terbentuk melalui koalisi Parpol, karena aturan/ketentuannya memungkinkan untuk itu melalui penetapan ambang batas, baik berupa penetapan electoral tracehold sebesar 20 % maupun akumulasi suara sah sebesar 25 %. Tulisan ini sekedar mengingatkn bahwa apabila tidak ada perubahan aturan/ketentuan yang mengaturnya maka fenomena calon tunggal  pasangan Kepala Daerah akan selalu terjadi, sebagai implikasi sistem borong (koalisi) Parpol. Dampaknya tentu merugikan penduduk selaku pemegang hak suara, yaitu dibatasi hak pilihnya atau tidak diberikan alternatif pilihan calon pemimpin berkualitas. 

 

Dalam ilmu ekonomi dikenal adanya istilah kartel, dimana secara sederhana dapat diartikan sebagai kerjasama antara beberapa perusahaan (pengusaha) yang saling menguntungkan diantara mereka, dan dalam prakteknya kerjasama dimaksud dapat berupa penentuan kesepakatan harga, jumlah produksi dan wilayah pemasaran, agar dapat mengurangi persaingan diantara mereka. Pada tingkatan ekstrim kartel ini berpeluang mengarah pada monopoli yang merugikan konsumen terutama dari aspek harga yang dapat dipermainkan sepihak (“menjadi lebih mahal”) dan membuat pesaing lainnya diluar kelompok mereka menghadapi kesulitan untuk memasuki pasar, sehingga menjadikan persaingan tidak sehat dalam sistem ekonomi, atau terjadinya kondisi pasar yang tidak berfungsi dengan baik (tidak sempurna).

Bagaimana halnya dalam ranah politik; apakah ada kemungkinan mengadopsi kartel ekonomi ini menjadi kartel politik. Tanpa disadari, faktanya sudah terjadi saat ini di Indonesia dimana  konsepnya dalam bentuk koalisi partai untuk memenangkan suara pemilih pada Pilpres maupun Pilkada. Partai yang berkoalisi mensepakati pasangan yang akan diusung serta manuver politik yang akan dilakukan bersama. Apabila konsep dasarnya seperti itu tentunya tidak ada masalah. Namun dalam prakteknya, koalisi dimaksud merambah sampai pada kepentingan politik lainnya dilingkungan legeslatif (parlemen) dan dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan (eksekutif), karena komitmen politik yang telah disepakati sejak awal terbentuknya koalisi.

 

A.   Pembentukan Koalisi

Secara yuridis formal sangat dimungkinkan pembentukan koalisi Parpol, karena telah diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tanggal 14 November 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, khususnya pasal 8 yang menegaskan bahwa pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusung oleh Parpol secara tunggal atau gabungan Parpol. Selanjutnya dalam pasal 9 menyebutkan bahwa Parpol/gabungan Parpol peserta Pemilu yang menjadi  pengusung pasangan calon Presiden/Wakil Presiden harus memperoleh minimal 20 % kursi di DPR atau memperoleh 25 % suara sah nasional dalam Pemilu DPR, dengan ketentuan bahwa calon pasangan dimaksud harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam pasal 5.

Sementara itu, untuk calon Kepala Daerah, baik calon Gubernur dan Wakil Gubernur maupun calon Bupati/Walikota beserta Wakil-nya adalah merujuk pada UU Nomor 6 Tahun 2020 tanggal 11 Agustus 2020 tentang PP Pengganti UU (PERPU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi UU. Akan tetapi substansi dari aturan/ketentuan tadi tetap melekat pada PERPU Nomor 1 Tahun 2014 tanggal 2 Oktober 2014, yang telah ditetapkan menjadi UU berdasarkan terbitnya UU Nomor 1 Tahun 2015 tanggal 2 Pebruari 2015 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2014 tentang hal disebutkan diatas.

Berdasarkan pasal 39 huruf a tegas menyebutkan calon pasangan Kepala Daerah yang akan turut serta dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (“Pilkada”) harus diusung oleh Parpol/gabungan Parpol. Kemudian dalam pasal 40 ayat (1), Parpol atau gabungan Parpol yang mengusung calon pasangan Kepala Daerah minimal memiliki 20 % kursi di DPRD (electoral tracehold); atau 25 % perolehan suara sah pada Pemilu DPRD di daerah setempat. Namun sesuai ayat (3) pasal yang sama menegaskan bahwa akumulasi 25 % perolehan suara sah dimaksud ayat (1) hanya berlaku bagi Parpol yang memperoleh kursi di DPRD. Hal inilah penghambat bagi gabungan Parpol lainnya yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk dapat mengajukan usulan pasangan Kepala Daerah, selain faktor penghambat electoral tracehold sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Adapun persyaratan untuk dapat diusulkan menjadi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur maupun calon Bupati/Walikota dan calon Wakil Bupat/Walikota diatur dalam pasal 7.

Terbitnya UU Nomor 8 Tahun 2015 tanggal 18 Maret 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015, secara substantif tidak ada perubahan prinsip yang mengatur persyaratan calon Kepala Daerah, kecuali menghapus ketentuan pasal 7 huruf d, yaitu terkait dengan tidak adanya keharusan telah mengikuti uji publik. Sedangkan mengenai pencalonan pasangan Kepala Daerah, baik untuk Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Bupati/Walikota beserta Wakil-nya, tetap diajukan oleh Papol atau gabungan Porpol, baik berdasarkan perolehan 20 % kursi di DPRD ataupun 25 % suara sah hasil Pemilu DPRD di Daerah, namun tetap berlaku bagi Parpol yang memperoleh kursi DPRD setempat.

 

B.   Koalisi Menghilangkan Alternatif Pilihan

Kenapa kartel diharamkan dalam sistem perekonomian suatu negara; jawabannya sederhana saja, karena akan menciptakan distorsi harga yang merugikan konsumen akhir (penduduk pada umumnya), akibat tidak adanya persaingan sehat antar produsen (perusahaan), sehingga apabila dibiarkan akan mengarah pada upaya monopoli. Hal ini identik dengan kartel politik (“koalisi Parpol”). Penduduk disuguhkan pada keterbatasan pilihan calon pemimpin yang berkualitas, meskipun calon perseorangan (indipenden) masih dimungkinkan namun dengan persyaratan ketat, termasuk dalam hal penentuan 20 % electoral tracehold serta 25 % suara sah hasil Pemilu DPRD di Daerah hanya berlaku untuk akumulasi suara Parpol yang mendapatkan kursi di DPRD.

Kondisi ini merugikan penduduk selaku pemilih, karena dibatasi alternatif pilihannya sebagai akibat sudah ditentukan Parpol, walaupun dikatakan sudah melalui proses penyaringan berdasarkan hasil pooling/survei. Keberadaan kotak kosong secara hakiki tidak dapat diartikan memberikan alternatif bagi pemilih untuk menentukan pilihan lain, apabila tidak setuju dengan calon pasangan yang diusung Parpol/gabungan Parpol. Mengingat, secara filosofis sudah sepatutnya alternatif pilihan tersebut dalam kesetaraan, yaitu manusia dipadankan dengan manusia, bukan sesuatu yang bersifat nisbi.

Sistem borong Parpol mengatasnamakan koalisi merupakan cikal bakal yang memunculkan calon tunggal, terkesan di daerah bersangkutan tidak ada calon lainnya yang memiliki kapasitas kepemimpinan lebih baik  dibandingkan calon yang diusung koalisi Parpol. Sebelum terbitnya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), suara sah pemilih pada Parpol tertentu yang tidak memiliki kursi di DPRD menjadi sia-sia. Oleh karenanya Keputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan Kepala Daerah, baik untuk Gubernur/Wakil Gubernur dan Bupati/Walikota beserta Wakil-nya, memberikan harapan kepada penduduk Indonesia untuk mendapatkan pilihan terbaik Pemimpin di Daerah; Dan yang lebih penting lagi adalah tidak adanya monopoli kekuasaan dalam satu kelompok tertentu, yang menyatukan kekuasaan legeslatif dan eksekutif untuk kurun waktu 5 tahun kedepan.

 

C.   Kotak Kosong Bukan Fenomena

Tidak sepatutnya kalau ada pihak yang mengatakan bahwa kotak kosong sebagai suatu fenomena dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Namun sebaliknya merupakan kondisi yang diciptakan guna menghindari persaingan terbuka terutama persaing yang bersifat head to head, sehingga kualitas kepemimpinan seperti ini patut dipertanyakan. Ibarat adanya monopoli penjualan produk di pasaran maka dapat dipastikan kualitas produk tersebut  belum tentu sesuai ekspektasi, namun konsumen tidak dapat berbuat apapun karena tidak ada pilihan produk alternatif lainnya.

Pemilihan Gubernur Kalimantan Timur sebagai contoh, pada awalnya bertendensi hanya ada calon tunggal, demikian pula Pemilihan Walikota Balikpapan terjadi hal yang sama. Terbitnya Keputusan MK disebutkan diatas menjadikan strategi pemenangan calon tunggal berubah drastis, karena mendapatkan saingan dari pasangan Kepala Daerah yang diusung Parpol/gabungan Parpol lainnya. Penduduk selaku pemegang hak suara sangat diuntungkan, yaitu diberikan alternatif pilihan calon yang lebih berkualitas, baik dari aspek pengalaman maupun prestasi kerja. Inilah demokrasi politik dalam arti sebenarnya, menempatkan kepentingan penduduk diatas segalanya.

Keputusan MK disebutkan sebelumnya bukan sekedar interprestasi hukum yang berbeda, akan tetapi merupakan langkah cerdas MK untuk menjaga demokrasi Indonesia tidak terpuruk. Selain itu, secara konstitusional MK diberikan hak untuk menguji UU atas dasar UUD 1945, sedangkan Mahkamah Agung (MA) kewenangannya hanya menguji aturan/ketentuan dibawah UU terhadap UU. Artinya, tidak perlu ada perdebatan lagi terhadap Keputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, demikian pula terhadap Keputusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, terkait batas usia calon Kepala Daerah, karena sifatnya sudah final dan mengikat untuk dilaksanakan oleh KPU tanpa harus berkonsultasi lagi dengan DPR (“Komisi II”).

Meskipun tetap dilakukan konsultasi untuk memenuhi hubungan kerja kelembagaan secara normative, akan tetapi tidak berarti menghilangkan substansi Keputusan MK,  Perdebatan pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 1 Tahun 2015 jo. UU Nomor 8 Tahun 2015 sudah tuntas. Penduduk Indonesia sudah tidak jengah lagi dengan berbagai manuver politik yang secara vulgar dipertontonkan elit-elit Parpol,  berlindung dibalik konstitusi untuk melakukan tindakan yang dapat meruntuhkan fondasi demokrasi Indonesia.

 

D.  Oligarkhi Kekuasaan

Oligarkhi dibidang ekonomi terjadi sebagai implikasi atas penguasaan dan/atau kemudahan akses (privilege) terhadap potensi sumber daya ekonomi yang terus berkembang menjadi usaha konglomerasi dari industri hulu hingga industri hilir; Atau dari sektor riil hingga sektor keuangan, sehingga menciptakan adanya pemusatan aset ekonomi cukup besar pada perusahaan (pengusaha) tertentu atau gabungan perusahaan, dan pada akhirnya menciptakan penguasaan kekayaan yang diupayakan dapat terus dipertahankan dengan cara mengendalikan kekuasaan politik secara tidak langsung (silent). Namun pengendalian kekuasaan politik akan berdampak terhadap kekuasaan pemerintahan dan hukum.

Disisi lainnya menjelang penyelenggaraan kontestasi Pemilu, Pilpres dan Pilkada dapat dipastikan membutuhkan biaya politik cukup besar, sementara kondisi keuangan Pemerintah tidak dapat menanggung sepenuhnya. Fakta seperti inilah, para pelaku oligarkhi ekonomi yang berkepentingan terhadap upaya memjaga kemapanan kekayaan (“usahanya”) tetap eksis dan bahkan berpeluang melakukan ekspansi usaha kedepannya, maka membutuhkan kehadiran pelaku oligarkhi dari kalangan elit politik selaku pemegang kekuasaan politik.

Adanya kepentingan timbal balik antar ke-2 pihak yang saling membutuhkan tersebut menciptakan oligarkhi kekuasaan, yaitu perpaduan kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi yang mampu mengendalikan usaha konglomerasi. Perpaduan kekuasaan ini tidak gratis, tetap membutuhkan adanya kompensasi, dimana tanpa disadari kompensasi yang diterima para oligarkhi ekonomi lebih besar dari “pengorbanan” yang diberikan. Sementara pelaku oligarkhi politik tidak dapat berbuat apapun karena sudah menjadi komitmen bersama. Selain itu, untuk menjaga konsistensi kekuasaan politiknya maka sulit untuk melepaskan diri dari ketergantung terhadap pemegang kekuasaan ekonomi.

Polemiks akan muncul apabila elit politik berlatar berlatar belakang pengusaha, namun menjalankan fungsinya sebagai Pejabat Negara khususnya dilingkungan legeslatif, maka peran pengusaha dan penguasa berada dalam satu individu bersangkutan, dan bagaimana seandainya banyak elit politik kita berperan sebagai pengusaha – penguasa seperti disinggung diatas maka akan berpeluang menimbulkan conflict interest dalam tatanan penyelenggaraan urusan negara. Hal ini  adalah versi lain dari oligarkhi kekuasaan, dimana untuk mempertahankan usahanya sebagai pengusaha, maka peran sebagai penguasa (“penyelenggara negara”) akan menjadi tidak efektif, seperti hak pengawasan  sebagai anggota legeslatif terhadap Pemerintah. Atau sebaliknya, hak pengawasan difungsikan secara berlebihan guna mengamankan usahanya tidak disentuh, meskipun terdapat celah penyimpangan.

Kedua bentuk oligarkhi kekuasaan diatas pada prinsipnya memiliki kesamaan tujuan, yaitu bermotif rent seeking. Motif untuk mendapatkan manfaat {‘keuntungan”) optimal dengan cara mendekat pada pusat kekuasaan. Implikasinya tentu dirasakan oleh penduduk, seperti kenaikan harga yang dibiarkan menemukan equilibrium sendiri tanpa adanya intervensi signifikan dari Pemerintah, termasuk produk asal China yang sudah membanjiri pasar di Indonesia, dengan alasan harganya relatif murah dibanding produk sama yang dihasilkan pelaku ekonomi dalam negeri, sehingga banyak usaha yang telah gulung tikar. Masih banyak contoh lainnya yang sudah diketahui bersama.

 

E.   Mahasiswa Penjaga Demokrasi

Runtuhnya Orde Lama karena peran mahasiswa, demikian pula transisi perubahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi tidak terlepas dari kepeloporan mahasiswa dalam menjaga demokrasi Indonesia. Dan terakhir di bulan Agustus 2024 ini, mahasiswa kembali tampil untuk menyelematkan demiokrasi Indonesia karena salah satu pilar demokrasi, yaitu konstitusi; dengan mudahnya disesuaikan untuk kepentingan sepihak, termasuk mengaburkan identitas lembaga negara yang seharusnya menjadi benteng akhir penegakan konstitusi/hukum.

Idealisme mahasiswa dan pemikiran para Guru Besar Perguruan Tinggi (pakar multi disiplin keilmuan) melahirkan gerakan demontrasi damai di seluruh Indonesia, dengan tujuan menjaga supremasi konstitusi/hukum tidak lagi menjadi alat melanggengkan kekuasaan dan politik dinasti, karena apabila tetap dibiarkan akan berdampak buruk terhadap kehidupan demokrasi Indonesia kedepannya.

Praktis demokrasi ekonomi akan terpuruk pula, hanya sekedar teks book yang tidak pernah terimplementasikan sebagai suatu sistem ekonomi khas Indonesia kelak dikemudian hari. Sistem ekonomi dimaksud oleh alm. Prof. Mubyarto disebut sebagai Ekonomi Pancasila. Para pengejar rent seeking tidak berorientasi pada sistem ekonomi Indonesia berbasis koperasi sebagai soko guru. Apalagi mengimplementasikan pasal 33 UUD 1945, dimana kekayaan alam Indonesia harus dikuasi Negara dan dmanfaatkan secara bijak untuk kesejahteraan penduduk. Orientasi para rent seeking adalah keuntungan (profit) maksimal dan pasar yang sudah dikondisikan (captive market), sehingga pembentukan harga bukan ditentukan oleh kekuatan pasar, yaitu keseimbangan antara penawaran dan permintaan secara murni, akan tetapi ditentukan secara price administrated melalui penetapan ambang batas atas dan bawah. Sebagai contoh, tiket pesawat udara di Indonesia termasuk mahal dikalangan industri penerbangan meskipun di regional negara-negara ASEAN. Padahal maskapai penerbangan bersangkutan mengklaim diri sebagai low cost carrier.

Demikian pula hilirasasi industri ekstraktif berupa pengolahan nilai tambah komoditi nikel, lebih didominasi pengusaha asal China, dengan membawa teknologi yang belum sepenuhnya ramah lingkungan, serta mendatangkan tenaga kerja dari China sendiri karena dianggap produktifitasnya lebih baik dari tenaga kerja lokal. Kita tidak boleh memiliki sikap a priori terhadap masuknya investasi asing, selama itu dilakukan dengan prinsip win-win souition dan azas manfaatnya dirasakan oleh penduduk Indonesia secara langsung, bukan sebagai penonton.

Untuk mengurangi rent seeking atau bahkan menghapuskannya maka oligarkhi kekuasaan harus disterilkan dari pengaruh oligarkhi ekonomi yang hanya mementingkan kelompoknya. Ini bukan perkara mudah, namun selama masih ada kekuatan penyeimbang yang selalu menyuarakan penegakan demokrasi serta menjadikan konstitusi sebagai pilar demokrasi, dan disisi lainnya para elit politik konsisten tidak melakukan intervensi terstruktur dan sistematis terhadap lembaga negara yang berperan sebagai penegak konstitusi/hukum, maka ini merupakan langkah positif kearah keinginan kita bersama menjadikan demokrasi tidak dikuasai oilgarkhi kekuasaan.

Salah satu kekuatan penyeimbang dimaksud adalah para mahasiswa, mereka melihat segala sesuatu berdasarkan prinsip apa yang seharusnya terjadi (das sein) sejalan dengan kenyataannya (das sollen), Cara berpikir seperti ini menunjukan bahwa para mahasiswa masih memiliki idealisme murni.

**) Tulisan ini terinspirasi dari maraknya pendapat pro dan kontra dari Keputusan MK yang sedikit banyak-nya sudah merubah konstalasi panggung politik mejelang Pilkada, terutama fenomena calon tunggal pasangan Kepala Daerah.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *