Press ESC to close

APANYA YANG SALAH TERHADAP JARGON PAHAMLAH IKAM; Pilihan Strategi Komunikasi Politik Jitu

 

Jargon pahamlah ikam (dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “mengertikah kamu”) yang digunakan oleh pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim, yaitu Isran Noor – Hadi Mulyadi; rupanya membuat paslon lainnya merasa gerah, sehingga dengan cara yang agak unik dan sedikit aneh, memanfaatkan kelompok tertentu berbasis kesukuan (etnis) untuk melakukan upaya “counter”, dengan mengatakan bahwa jargon tersebut adalah kasar tanpa memberikan alasan yang jelas. Padahal bagi masyarakat suku Banjar, kosa kata pahamlah ikam sudah merupakan hal biasa dan acapkali  digunakan dalam bahasa pergaulan sehari-harinya. Apalagi dikalangan anak muda, penggunaan kosa kata tersebut merupakan penegasan terhadap lawan bicara; apakah sudah memahami tema pembicaraan (penjelasan) yang disampaikan.

Pada saat kampanye Pilpres beberapa bulan lalu, pasangan Probowo – Gibran menggunakan gimick “gemoi”, dalam rangkamengemas kesan tidak adanya jarak usia diantara mereka berdua, walaupun faktanya kita tahu bahwa usia Gibran adalah separo dari usia Prabowo. Identik dengan hal tersebut, paslon Isran – Hadi memilih jargon dengan 2 kosa kata yang mudah dipahami oleh masyarakat terutama para pemilih dari kalangan anak-anak muda milenial. Dan penggunaan bahasa Banjar ini adalah pilihan cukup tepat, karena suku Banjar merupakan etnis ke-3 terbesar dari jumlah penduduk Kaltim. Selain itu, jargon pahamlah ikam dapat dimengerti oleh etnis lainnya.

Penggunaan jargon ini yang dikemas dengan penggunaan media sosial (Instagram) cukup efektif  digunakan untuk menampilkan kesan dalam pelbagai kontekstual kiasan, guna membuka kelemahan (kekurangan) paslon lainnya, dimana dalam suasana kampanye merupakan hal yang lumrah selama tidak dilakukan secara vulgar dan mensulut ujaran kebencian secara personal.

Tematik kiasan dari pengembangan jargon pahamlah ikam, kalau diperhatikan cukup jeli membuka sisi lemah pasangan Rudy Mas’ud – Seno Adji, khususnya dari aspek pengalaman dan prestasi kerja karena hanya berpengalaman dibidang legeslasi saja dan prestasi kerja yang dicapai selama ini merupakan hasil kerja kolektif lingkup produk legeslasi, sehingga tidak dapat diklaim secara pribadi.

Mensitir pendapat Rocky Gerung, bahwa untuk menjadi Kepala Daerah tidak hanya ditentukan oleh tingkat elektabilitas semata. Namun yang lebih penting lagi adalah diawali dengan etikabilitas, yaitu melihat sisi moral calon Kepala Daerah secara pribadi maupun latar belakang keluarganya. Selanjutnya dilihat dari kemampuan intelektualitas, yaitu memiliki pengetahuan cukup luas dan kemampuan berpikir logis, bukan sekedar memiliki modal untuk membiayai aktifitas politik guna memenangkan pemilihan.

Apabila etikabilitas dan intelektualitas sudah terpenuhi, baru diukur tingkat elektabilitas-nya, dengan catatan bahwa pengukuran elektabilitas dimaksud dilakukan secara jujur, tidak sekedar kamuflase untuk menciptakan kesan (image) bahwa paslon bersangkutan diterima kehadirannya oleh masyarakat pemilih. Dikalangan masyarakat sudah menjadi rahasia umum, banyak hasil survei elaktabilitas merupakan survei pesanan (by order), dan hasilnya sudah pasti sesuai skenario, bukankah ini merupakan upaya membohongi diri sendiri. Namun bukan berarti survei dimaksud tidak diperlukan selama itu untuk kepentingan sendiri yang tidak harus dipublikasikan. Hasil survei diperlukan untuk mengukur posisi paslon bersangkutan terhadap persepsi masyarakat pemilih; apakah kehadiran-nya sudah diterima berdasarkan capaian elaktabilitas, dan hasilnya merupakan acuan untuk melakukan langkah tindaklanjut berikutnya guna memenangkan pemilihan, selama metode yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah serta dilakukan secara indipenden, bukan karena berafiliasi terhadap pemberi  pesanan dalam rangka meningkatkan rating, dimana hasilnya sudah dikondisikan sejak awal.

Pasangan calon Kepala Daerah yang memiliki etika dan intelektualitas-nya cukup baik, akan berkorelasi terhadap elaktabilitas bersangkutan, tidak harus mengandalkan pendanaan cukup besar terutama untuk membagi amplop menjelang pemilihan. Pendanaan pada dasarnya tetap diperlukan untuk membiayai pelbagai kegiatan politik praktis selama persiapan kampanye, pelaksanaan kampanye itu sendiri dan hingga perhitungan suara di TPS, khususnya membiayai para saksi.

Sebagai petahana, pasangan Isran – Hadi sudah memiliki  pengalaman selama menjabat Gubernur – Wakil Gubernur periode 2018 – 2023 lalu. Demikian prestasi kerjanya selama menjabat telah terbukti hasilnya, sehingga memiliki nilai jual relatif lebih baik dibandingkan pasangan Rudy Mas’ud – Seno Adji, sehingga strategi kampanye yang dilakukan adalah memelihara suara pemilih yang dulunya menentukan pilihan terhadap pasangan Isran – Hadi, sekaligus membuka peluang tambahan suara dari pemilih baru dari kalangan pemilih pemula, yang umumnya memiliki pemahaman IT cukup baik serta terkonsentrasi di Samarinda, Balikpapan dan di beberapa ibu kota Kabupaten/Kota lainnya, dimana infrastruktur IT cukup memadai. Oleh karenanya, strategi komunikasi politik yang memanfaatkan media sosial dengan jargon pahamlah ikam sudah merupakan pilihan tepat, disamping aecara simultan melakukan head to head strategy, yaitu bertemu langsung dengan para calon pemiliksuara (//drs, Samarinda14/10/2024).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *