Press ESC to close

Tantangan Peningkatan Ekspor Indonesia Dalam Menghadapi Globalisasi Ekonomi

A. Pendahuluan  

Pengaruh globalisasi sudah merambah dalam kehidupan masyarakat, baik menyangkut kebutuhan primer (sandang dan pangan) sampai kepada pada peniruan gaya hidup (demonstration effect); Dan ini tidak mungkin terhindarkan bagi setiap Negara yang sistem ekonomi-nya terbuka, seperti Indonesia. Apalagi dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat saat ini, dimana mobilisasi informasi sudah merambah dimensi ruang yang tidak dapat dibatasi, dalam skala waktu relatif singkat.  Peristiwa penting terkait dengan pelbagai aspek kehidupan di suatu Negara, dapat segera diketahui masyarakat Negara lainnya, melalui jaringan pemberitaan media audio visual maupun internet.
Secara teoritis pengaruh globalisasi akan menyentuh pada percepatan mobilisasi tanpa batas terhadap  barang/jasa,  modal (dalam bentuk uang), manusia, informasi serta gaya hidup dan nilai-nilai sosial budaya bergaya western life style. Oleh Faisal Basri dan Haris Munandar (2009; hal 538); Globalisasi sudah terjadi sejak lama, menyatu dalam pelbagai aspek perekonomian nasional di seluruh dunia,  membentuk suatu jejaring global yang menyentuh hampir semua pelaku ekonomi. Oleh karena terkait satu sama lain, maka yang terjadi di suatu sektor/Negara, akan segera berimbas ke berbagai sektor/Negara lainnya.
Beranjak dari pemikiran diatas, maka dalam makalah ini akan dibahas pengaruh globalisasi terhadap perekonomian Indonesia terutama dari aspek perdagangan internasional (ekspor-impor) yang semakin ketat persaingannya, dan kemampuan daya saing industri dalam negeri untuk menghadapinya.

B. Pengertian & Implikasi Globalisasi

Merujuk pada pendapat Tulus Tambunan (2005; hal 1), dikatakannya bahwa globalisasi dari sisi ekonomi adalah suatu perubahan didalam perekonomian dunia yang bersifat mendasar/struktural dan akan terus berlangsung mengikuti kemajuan teknologi yang kenyataannya terus berkembang dengan pesat. Kondisi ini disatu sisi akan meningkatkan kadar saling ketergantungan antar Negara, dan disisi lainnya menyebabkan timbulnya persaingan antar Negara, dalam memperebutkan peningkatan porsi perdagangan internasional serta mendorong kegiatan investasi, keuangan dan produksi.
Milton Friedman (Tulus Tambunan; hal 2); menyatakan bahwa globalisasi akan bersentuhan  pada 3 (tiga) wacana mendasar, yaitu : (a) bernuansa penyebaran ideologi kapitalis, dengan menonjolkan semangat individualisme dan orientasi pasar yang lebih berpihak kepada pemegang kapital. Disamping seperangkat nilai lain yang menyertainya, yakni falsafah demokrasi dan HAM; (b) berorientasi  ekonomi, yaitu menekankan pada pembukaan pasar bebas (liberal) yang dikendalikan institusi internasional (WTO); dan (c) bermuatan teknologi, khususnya teknologi informasi yang akan membuka batas-batas negara sehingga negara makin tanpa batas.
Sebagaimana dikatakan oleh Joseph E. Stiglitz (2003); Globalisasi membuka jalan keperdagangan internasional yang telah membantu banyak Negara untuk berkembang lebih pesat dari  apa yang telah mereka capai sebelumnya. Disamping, mengurangi perasaan isolasi yang dirasakan oleh banyak Negara berkembang, sekaligus membuka akses bagi masyarakat-nya akan pelbagai ilmu pengetahuan. Permasalahannya, globalisasi yang dipersepsikan sebagai suatu “kemajuan” (biasanya dikaitkan dengan gaya kapitalisme murni a la USA); Negara-negara berkembang harus menerimanya, jika ingin berkembang dan mengurangi kemiskinan secara efektif.
Kenichi Ohmae (1991), mengatakan bahwa kita sudah menjadi warga global; Peta politik dan batas wilayah antar Negara masih jelas sebagaimana sediakalanya, akan tetapi peta kompetitif, yang memperlihatkan arus kegiatan keuangan dan industri menjadi tidak jelas. Kekuatan dominan yang mendobrak batasan tersebut adalah informasi, dimana peran Pemerintah sangat minim untuk mampu memfiltrasi-nya. Selanjutnya, globalisasi tidak akan menunggu, harus segara dilakukan aliansi sekarang ini, bukan sekedar aliansi tradisional.
Marsuki (2005; hal 285); berkembangnya ekonomi moderen saat ini telah memunculkan kebebasan berekonomi dalam semangat perlunya integrasi ekonomi secara regional dan global, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat antar Negara. Secara umum, globalisasi ekonomi bermakna keterbukaan dan persaingan bebas berekonomi, yang dianggap sebagai best solution.
Selanjutnya oleh Dumairy (1997: hal 10); globalisasi diartikan mendunianya kegiatan dan keterkaitan perekonomian, yang tidak lagi mengenal batas kenegaraan; globalisasi bukan hanya sekedar berada tataran internasional, namun sudah menjadi transnasional kegiatan yang tidak hanya mencakup aspek perdagangan dan keuangan saja, tapi sudah memasuki ranah aspek produksi, pemasaran dan sumber daya manusia. Konsekwensinya, perekonomian antar Negara menjadi saling berkaitan, dimana perinstiwa ekonomi suatu Negara dengan dan mudah berimbas ke Negara lainnya.
Beranjak dari pengertian diatas, idealnya globalisasi akan memberikan keuntungan tersendiri bagi setiap Negara yang terlibat didalamnya, namun disisi lainnya harus diakui bersama bahwa terdapat pula implikasi yang bersifat negatif; Menurut Tulus Tambunan (2005; hal 13); dampak globalisasi ekonomi terhadap perekonomian suatu Negara bisa positif atau negatif, bergantung pada kesiapannya menghadapi peluang dan tantangan yang muncul dari proses tersebut. Secara umum terdapat 4 (empat) aspek yang terpengaruh langsung, yaitu ekspor, impor, investasi dan tenaga kerja.
Oleh Stiglitz (2003); globalisasi lebih menguntungkan Negara-negara maju, dan sebaliknya tidak banyak memberikan keuntungan bagi banyak orang di Negara berkembang. Pangkal permasalahannya adalah ketidakseimbangan perdagangan, dimana Negara-negara maju memaksa Negara berkembang untuk menghapuskan hambatan perdagangan (minimize non tariff barier), tetapi mereka sendiri melakukan pembatasan, terutama disektor pertanian, dengan pelbagai alasan, seperti issue lingkungan (eco labeling) dan penetapan standar kesehatan sepihak.
Semula diharapkan, lembaga-lembaga utama yang mengatur globalisasi, yaitu IMF, World Bank, WTO dan UNCTAD, dapat berperan aktif dan indipenden dalam mengatasi masalah ini. Akan tetapi, mereka lebih berkutat pada pembuatan aturan yang memaksakan konsep “liberalisasi” pasar keuangan/modal kepada Negara-negara berkembang melalui deregulasi internal, dengan dalih menstabilkan arus uang (modal). Konsekwensinya; selama masalah ini belum dapat dituntaskan, maka sistem perdagangan internasional yang berimbang dan menguntungkan semua pihak tidak dapat diwujudkan.
Bagi Indonesia sendiri, yang memiliki potensi sumber daya alam cukup melimpah, sebagai bahan baku industri; serta potensi jumlah penduduk yang besar sebagai kekuatan tersendiri  dalam mendorong permintaan domistik. Tentunya, dapat mengambil manfaat globalisasi yang indikasi keberhasilannya dapat dilihat pada perkembangan Neraca Pembayaran. Namun dalam waktu bersaamaan sebagai akibat keterbukaan ekonomi, Indonesia dihadapkan pada masalah semakin ketatnya persaingan, yang tidak hanya bersaing didalam penetrasi pasar di Negara lain, juga merasakan serbuan masuknya barang/jasa dari luar, sehingga implikasi dari hal ini sangat bergantung pada kemampuan daya saing industri lokal.

C. Kinerja Ekspor

Negara Indonesia, yang saat ini sudah mendapatkan predikat emerging market dan mulai disetarakan dengan Negara-negara NICs, boleh dikatakan sudah mendapatkan keuntungan globalisasi ekonomi, terbukti dari  indikator investasi, ekspor-impor, cadangan devisa yang disajikan berikut ini. Indikator pertama, yaitu jumlah Investasi yang direalisasi, baik menggunakan fasilitas PMDN maupun PMA. Pada Tabel 1 berikut dapat dilihat bahwa selama periode waktu 2004 s/d 2008, realisasi PMA mencapai laju pertumbuhan rata-rata 7,2 %/tahun. Tahun 2009, mampu direalisasikan sebesar Rp 28.128,2 milyar.  Sementara dalam kurun waktu yang bersamaan jumlah PMDN, walaupun mampu  mencapai laju  pertumbuhan  rata-rata  14,9 %/tahun, namun proporsinya masih dibawah PMA.

Tabel 1
Perkembangan Realisasi Izin Usaha Tetap PMDN & PMA Tahun 2004 – 2009

Keterangan :
1) Posisi Jan s/d Sep 2009.
Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) Nasional Tahun 2010 – 2014, Buku II – Memperkuat Sinergi Antar Bid. Pembangunan

Peningkatan investasi, tidak hanya dipengaruhi faktor endowment yang dimiliki, berupa produk primer, namun didukung  pula  kondisi  ekonomi  yang  kondusif  dan  berdampak  positif terhadap tumbuhnya iklim investas, semakin membaiknya pelayanan birokrasi, terutama prosedur ekspor – impor, peraturan lokal, perpajakan  dan ketersedian potensi sumber daya manusis yang semakin terampil. Namun, disisi lainnya diakui, masalah infrastruktur belum dapat dituntaskan, seperti listrik, pelabuhan laut dan jalan.
Kondisi ekonomi makro Indonesia sejak tahun 2004 s/d 2008 (LPEM UI; 2010); mengalami laju pertumbuhan ekonomi secara berturut-turut 5,05 %, 5,69 %, 5,51 %, 6,28 % dan 6,01 %; Dan pada pada tahun 2009 (s/d Triwulan III) sudah mencapai 4,2 % (dikutip dari RPJM Nasional 2010 – 2014). Khususnya, untuk tahun 2010 ini oleh LPEM UI diproyeksikan laju pertumbuhan ekonomi akan mencapai 5,4 %. Kondisi ini, apabila dikaitkan prospek perluasan investasi kedepan tentunya akan lebih berpeluang menjadikan Indonesia sebagai Negara tujuan investasi (investment grade). Saat Negara-negara lain (diluar Negara-negara BRICs) mengalami penurunan laju pertumbuhan pada tahun 2007 dan 2008, sebagai imbas terjadinya krisis keuangan global, Indonesia sebaliknya mengalami laju pertumbuhan ekonomi positif, walaupun dorongan tersebut lebih banyak dipacu permintaan konsumsi rumah tangga.
Ideal-nya, bersamaan dengan kemampuan mengelola ekonomi makro, Pemerintah secara bersamaan juga harus melakukan upaya terobasan regulasi yang mengarah pada peningkatan kompetensi dan efisiensi pelaku usaha terutama industri pengolahan, untuk mampu bersaing di pasaran regional dan internasional, dimana tumpuannya terletak pada kemampuan untuk memacu pertumbuhan Industri Pengolahan Non Migas. Pada periode waktu 2004-2009, walaupun berfluktuatif, namun perkembangannya selalu positif (searah dengan laju pertumbuhan ekonomi). Disisi lainnya, pertumbuhan Industri Pengolahan Migas mengalami pertumbuhan negatif.

Tabel 2
Pertumbuhan Industri Pengolahan Tahun 2004 – 2009

 

Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) Nasional Tahun 2010 – 2014, Buku II –  Memperkuat Sinergi Antar Bidang  Pembangunan

Indikator berikutnya adalah perkembangan ekspor-impor, selama periode 2004 – 2009 mengalami peningkatan cukup berarti terutama ekspor, dengan laju pertumbuhan rata-rata 15,40 %/tahun selama periode tersebut, sementara impor hanya tumbuh rata-rata 13,04 %/tahun, sehingga Neraca Perdagangan selalu dalam kondisi surplus relatif lebih besar dibandingkan transaksi lainnya; Dan ini menyebabkan Transaksi Berjalan selalu surplus, kecuali pada tahun 2008 (lihat Tabel 3), kendati  rasio-nya terhadap GDP rata-rata hanya 1,3 %, akan tetapi  turut memberikan andil terhadap pembentukan Cadangan Devisa, dimana dalam periode waktu yang sama mampu tumbuh sebesar 18,84 %/tahun, yang sebagian besar disumbangkan oleh Transaksi Modal & Finasial, terutama dari Investasi Portofolio, baik portofolio pasar uang maupun pasar modal.

Tabel 3
Ringkasan Neraca Pembayaran Indonesia Tahun 2004 – 2009
(nilai bersih, dlm juta US $)

 

Keterangan :
1) Rasio antara pembayaran hutang pokok + bunga hutang luar negeri terhadap barang/jasa
Sumber : Statistik Ekonomi & Keuangan Indonesia, publikasi Bank Indonesia per November 2010, diunduh pada tanggal 13 Januari 2010.

Pangsa pasar (market share) ekspor Indonesia, masih ditujukan kepada Jepang dan USA. Pergeseran pangsa pasar signifikan terjadi;  Pada tahun 2004 – 2006 menempatkan Negara Singapore sebagai tujuan ke-3, namun pada tahun 2007 – 2009 sudah bergeser pada Negara China sebagai urutan ke-3, menggeser Singapore menjadi urutan ke-4, dan masuknya Negara India dalam urutan ke-5, dengan menggeser Negara Malaysia yang tidak lagi menjadi Negara utama tujuan ekspor.
Gambaran pangsa pasar ini, sisi positifnya adalah jumlah permintaan komoditi ekspor relatif besar, mengingat posisinya dalam skala ekonomi internasional relatif dominan. Akan tetapi, apabila sepenuhnya bertumpu kepada Negara-negara tadi, gejolak ekonomi dalam negeri akan langsung memberikan pengaruh terhadap permintaan produk Indonesia. Ini artinya, untuk dapat mengeliminir gejolak tersebut harus dilakukan diversifikasi pasar, terutama dilingkungan Negara Asia Pasifik (dalam kerangka APEC dan Asean Plus).
Permasalahannya adalah pembukaan pasar baru, tidak hanya sekedar kemampuan untuk meningkatkan ekspor saja; Lebih dari itu ada kaitannya dengan kemampuan untuk meningkatkan daya saing industri, yaitu mampu memproduksi barang/jasa berstandar internasional, dengan harga yang kompetitif. Belum lagi dikaitkan dengan kondisi pasar yang sudah tersegmentasi dalam pelbagai “blok-blok perdagangan”, sehingga diperlukan upaya promosi, guna mengimbangi upaya pembenahan terstruktur terhadap kebijakan/strategi peningkatran daya saing industri.

D. Tantangan Kedepan Pasar Ekspor 

Sebelum membicarakan prospek dari daya saing industri Indonesia kedepan, terlebih dahulu melihat peluang pasar ekspor yang ada, karena kemajuan suatu industri akan sangat ditentukan oleh kemampuan melepas hasil produksi tidak hanya pasar di dalam negeri, namun dapat pula merambah pasar luar negeri. Dalam konteks ini beberapa faktor patut menjadi perhatian, yaitu :
1. Pasar luar negeri potensial sudah terbagi dalam beberapa blok perdagangan regional, seperti Europe Union (EU), AFTA, NAFTA, APEC dan ACFA, yang tujuan utamanya adalah memperlancar arus perdagangan barang/jasa diantara sesama anggota. Keterlibatan Indonesia, pada beberapa blok perdagangan diatas memberikan keuntungan tersendiri berupa kemudahan ekspor. Namun permasalahannya, diantara sesama anggota bersaing terhadap jenis produk tertentu (seperti tekstil dan elektronik), dan untuk produk primer dihadapkan pada kendala permintaan yang tidak elastis di Negara yang masih dalam satu blok perdagangan. Untuk itu, Indonesia harus mampu membuka peluang pasar lainnya (di luar blok) melalui perjanjian bilateral. Menurut Frankel dan Wei (Mudrajad Kuncoro; 9); perdagangan internasional cenderung bias menuju perdagangan intraregional, dimana blok yang paling kuat ternyata bukan perdagangan intra Asia, tetapi justru trans Pasifik, termasuk perdagangan USA dan Kanada dengan Negara-negara Asia Timur. Kecenderungan ini memberikan isyarat bagi Indonesia untuk memasuki Negara-negara dalam kawasan Asia Tengah dan Afrika, karena produk hasil manufaktur dan primer Indonesia belum jenuh, sementara produk primer yang dihasilkan di kedua kawasan tersebut dapat diperdagangkan secara imbal balik (counter trade), karena Indonesia membutuhkannya sebagai bahan baku, seperti halnya kapas yang diperlukan untuk industri tekstil.
2. Sesuai kesepakatan WTO, setiap Negara secara bertahap harus menghilangkan pembatasan perdagangan yang bersifat non tarif, sehingga ini dapat menjadi peluang bagi indutri pengolahan yang berorientasi. ekspor, dengan cara menghasilkan produk berkualitas dan relatif murah harganya. Untuk produk primer tantangannya hanya terletak pada bagaimana memberikan nilai tambah (value added). Sedangkan untuk produk manufaktur dituntut untuk berproduksi secara efisien, karena mengandalkan upah buruh yang murah sudah kalah bersaing dengan China dan Vietnam. Selain itu, kalangan industri masih disibukan dengan restrukturisasi asset fisik (permesinan), karena sudah banyak yang daluwarsa teknologi-nya, sehingga tidak efisien lagi (menambah maintenance cost). Untuk industri pengolahan yang bersifat subsitusi impor, dihadapkan pada tantangan berfluktuasinya harga bahan baku, karena masih diimpor dari luar. Fluktuasi harga yang paling signifikan disebabkan kenaikan kurs mata uang kuat dunia (hard currency),yaitu US $, Euro EU dan Yen Jepang.
3. Menurut Faisal Basri (2009; hal 569); dikatakan bahwa fluktuasi kurs terutama US $, masih berpeluang besar terjadi di Indonesia, mengingat adanya kerawanan eksternal, yang disebabkan posisi modal asing (dalam bentuk hutang jangka pendek, saham dan obligasi) relatif besar dibandingkan dengan jumlah cadangan devisa yang ada. Sebagai contoh, pada tahun 2008, tingkat (%) kerawanan eksternal Indonesia mencapai 237 %, menyusul Korea Selatan 208 % dan Filiphina 97 %. Artinya, kalau USA belum dapat menuntaskan krisis ekonominya, sehingga menyebabkan perekonomian dunia turut mengalami krisis, maka Indonesia akan mengalami penurunan drastis dibandingkan lainnya. Walaupun kenyataannya, pada tahun 2010 ini, Indonesia diuntungkan dengan adanya krisis global, banyak investor asing menanamkan modalnya pada asset keuangan jangka pendek (SBI dan SBN) serta jangka panjang (SUN dan Saham), sehingga menyebabkan peningkatan cadangan devisa dan penurunan kurs US S hingga dibawah Rp 9.000,-/$. Akan tetapi tantangan kedepan yang dihadapi adalah; Pertama, pemerintah cq. Bank Indonesia harus mampu menjaga kestabilan kurs pada tingkat yang kompetitif, dengan tetap merangsang permintaan ekspor. Kedua, bagi kalangan pelaku bisnis industri pengolahan sudah seharusnya memanfaatkan fasilitas hedging (cegah resiko) melalui pemanfaatan fasilitas swap perbankan.
4. Pilihan produk sebagai basis ekspor; apakah berbasis spektrum sempit atau spektrum luas. Kalau memilih spektrum luas, maka produk apa yang dapat diekspor harus diekspor selama pangsa pasar-nya ada, dengan harga relatif rendah. China cenderung memilih basis ini, karena didukung upah buruh yang rendah dan kestabilan nilai yuan (nilai kurs  yuan terhadap US $ ditetapkan relatif rendah). Berbeda dengan  pilihan pada spektrum sempit, lebih fokus pada produk yang memiliki daya saing tinggi serta memiliki nilai tambah tinggi melalui proses pengolahan berteknologi tinggi; Dan ini berdampak terhadap tingkat harga akhir, yang dapat ditekan pada skala produksi tertentu. Bagi Indonesia, pilihan diantara kedua basis ekspor ini menimbulkan dilemma tersendiri. Menurut Faisal Basri (2009; hal 557); Mayoritas produk ekspor kita adalah komoditas primer dan produk-produk manufaktur bernilai tambah rendah. Salah satu kharakteristik menonjol dari produk-produk seperti itu adalah permintaannya kurang peka terhadap perubahan pendapatan (low income electicity of demand). Pendapat tersebut, dilihat dari kharakteristik produknya, lebih tepat bagi Indonesia untuk memilih spektrum sempit, sehingga tantangannya adalah; (a) memilih produk unggulan yang memiliki daya saing, baik dari segi harga maupun kualitas; dan (b) memilih pasar yang tingkat kejenuhan masih kurang.
5. Walaupun sudah banyak Negara yang mengurangi pembatasan perdagangan melalui penerapan hambatan non tarif, seperti  pemberlakuan kuota, dan beralih pada penerapan tarif murni. Namun realitas-nya terutama Negara-negara maju, masih memberlakukan pembatasan pola baru, seperti produk yang harus ramah lingkungan dan standar laik kesehatan yang tinggi. Pembatasan dimaksud pada dasarnya adalah melindungi sektor pertanian Negara maju, yang merupakan sektor tradisional yang harus tetap dipertahankan, karena pertimbangan politis semata. Dalam kaitan ini, tantangan kedepan yang dihadapi Indonesia adalah kemampuan untuk melakukan lobby dengan Negara lawan dagang melalui asosiasi-asosiasi terkait dikedua belah pihak, untuk mengakomodir pelbagai tuntutan yang diminta. Pendekatan yang dilakukan kadangkala bersifat ad hoc (kasuistik), tetapi lebih efektif dibandingkan penggunaan jalur formal pemerintahan.
Beberapa tantangan prinsip diatas memberikan sedikit gambaran tentang kondisi pelbagai aspek yang mempengaruhi kegiatan perdagangan (ekspor) Indonesia, yang nantinya akan memberikan pengaruh berikutnya terhadap kegiatan industri yang berorientasi ekspor. Dengan gambaran tadi menimbulkan pertanyaan mendasar; “Apakah daya saing industri Indonesia, teruma industri pengolahan non migas mampu menghadapi kompetitifnya kegiatan perdagangan internasional di era globalisasi saat ini”

E. Daya Saing Industri

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagaimana telah disinggung sebelumnya masih menunjukkan tren positif, Oleh LPEM UI diperkirakan pada tahun 2010 ini akan mencapai laju pertumbuhan 5,4 %. Dari sisi penggunaan lebih ditentukan oleh konsumsi rumah tangga, sedangkan konsumsi pemerintah, walaupun relatif kecil, akan tetapi dapat menjadi stimulan dalam menggerakan kegiatan ekonomi melalui sektor fiskal. Dari sisi sektor ekonomi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada sektor non tradeable (jasa-jasa),yang mencapai pangsa pasar rata-rata sebesar 57,5 %/tahun selama periode 2004 s/d 2007, sementara sektor tradeable hanya rata-rata 42,5 %/tahun dalam kurun wakttu yang sama.
Adapun tingkat pertumbuhannya sendiri, sektor non tradeable mampu mencapai rata-rata 8,13 %/tahun selama periode 2005 s/d 2007, sedangkan tahun 2008 (s/d kuartal ke-3) mencapai 9,5 %. Sementara sektor tradeable rata-rata tumbuh 3,67 %/tahun, dan untuk kuartal ke-3 tahun 2008 baru mencapai 3,2 %.
Seharusnya sektor tradeable inilah yang mendorong laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena selain menghasilkan komoditi/produk yang dapat dijual, juga mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Sub sektor ekonomi manufaktur non migas, walaupun pangsanya 23,9 % terhadap keseluruhan sektor ekonomi (lihat Tabel 5), namun tingkat pertumbuhannya relatif kecil rata-rata 4,6 %/tahun selama kurun waktu 2005 s/d 2007, kemudian pada tahun 2008 (s/d kuartal 3) mencapai 4,3 %. Demikian pula untuk sub sektor pertanian, walaupun pangsanya mencapai 14,0 %, namun pertumbuhannya tidak mengembirakan.

Tabel 4
Pertumbuhan Ekonomi (GDP) per Sektor Ekonomi Tahun 2005 s/d 2008 Dan Pangsa Pasar per Sektor Ekonomi Rata-rata Tahun 2004 s/d 2007 1)

 

Keterangan :
1) Satuan dalam %.
2) Posisi s/d kuartal ke-3
3) Rata-rata pangsa pasar selama periode waktu 2004 s/d 2007 (tidak termasuk Migas).
Sumber : Diolah dari Buku Lanskap Ekonomi Indonesia oleh Faisal Basri & Haris Munandar, hal 43 s/d 45.

Seharusnya sektor tradeable inilah yang mendorong laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena selain menghasilkan komoditi/produk yang dapat dijual, juga mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Sub sektor ekonomi manufaktur non migas, walaupun pangsanya 23,9 % terhadap keseluruhan sektor ekonomi (lihat Tabel 4), namun tingkat pertumbuhannya relatif kecil rata-rata 4,6 %/tahun selama kurun waktu 2005 s/d 2007, kemudian pada tahun 2008 (s/d kuartal 3) mencapai 4,3 %. Demikian pula untuk sub sektor pertanian, walaupun pangsanya mencapai 14,0 %, namun pertumbuhannya tidak mengembirakan.
Dari sinilah timbul pertanyaan; apakah rendahnya pertumbuhan sektor tradeable, khususnya sub sektor menufaktur (pengolahan) non  migas mengisyaratkan penurunan daya saing, sehingga pertumbuhan yang terjadi; hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dalam negeri; sedangkan ekspor yang dilakukan dihadapkan pada kondisi :
(1) Pangsa pasar produk unggulan sudah banyak tergerus oleh Negara lainnya, yang faktor utamanya disebabkan harga yang relatif lebih mahal ;
(2) Komoditi primer nilai tambahnya relatif kurang dan tidak bersifat elastis ;
(3) Kalaupun terjadi ekspor dalam jumlah besar, hanya berupa produk kimiawi yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup (PMA atau PMDN yang berafiliasi dengan pihak luar negeri, yang melakukan investasi pada produk kimiawi ini, pada dasarnya merupakan realokasi pabrik dari Negara asal karena penolakan penduduk-nya terhadap kelestarian lingkungan);
(4) Merupakan produk subsitusi impor dari perusahaan prinsipal luar negeri, sehingga pasokan bahan baku, komponen rakitan utama (main spare part) dan tenaga ahli terampil berasal dari prinsipal-nya, sehingga bagian nilai tambah yang dinikmati menjadi relatif kecil.
Oleh Faisal Basri dan Haris Munandar (2009), gambaran lemahnya daya saing industri Indonesia ini berdasarkan sumber data yang dapatkan dari  International Institute for Management Development (IIMD) dalam World Competitivenes Yearbook 2008, disebutkan bahwa daya saing Indonesia terus mengalami penurunan, dimana tahun 2007 masuk dalam urutan ke-54 dari 55 negara yang diteliti.
IIMD bersama JICA, yang mengadakan penelitian terhadap prospek investasi menurut persepsi pengusaha Jepang, menyebutkan bahwa prospek usaha di Indonesia juga mengalami penurunan, yaitu pada tahun 2006 hanya menempati urutan ke-9 dari 10 negara yang menjadi rujukan, sementara pada tahun 2000 s/s 2002 masih berada pada urutan ke-4. Badan PBB yang mengurusi perdagangan dan pembangunan (United Nations Conference on Trade & Development = UNCTAD); mengelompokkan Indonesia bersama Bangladesh, India, Pakistan dan Srilangka kedalam kelompok Negara paling rendah kualitas kinerja dan potensi ekonomi-nya pada tahun 2006.
Untuk melakukan meningkatkan daya saing ini, IIMD menyarankan pembenahan terhadap 4 (empat) hal prinsip, yaitu: kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis dan kondisi infrastruktur, mengingat kecenderungan strategi bisnis untuk menjaga kelangsungan hidupnya, lebih berorientasi pada penghematan biaya tetap (fixed cost),dibandingkan biaya variable (variable cost). Implikasinya, kondisi infrastruktur yang carut marut sekarang ini perlu dibenahi, seperti penambahan dan perbaikan ruas jalan untuk kelancaran trasportasi, kestabilan pasokan listrik,serta kelengkapan fasilitas pelabuhan laut/udara guna mendukung percepatan mobilitas barang dan orang menjadi lebih efisien. Demikian pula terhadap efisiensi pemerintah yang dimanifestasikan dengan kemudahan birokrasi perizinan, dihilangkannya  pungutan tidak resmi, kepastian aturan atas sewa penggunaan atau harga pembebasan lahan usaha. Untuk keperluan efisiensi bisnis, perlu adanya kejelasan aturan usaha,aturan perburuhan (termasuk pengaturan UMR) dan pungutan pemerintah daerah.
Kinerja ekonomi Indonesia cenderung mulai membaik dilihat dari indikator ekonomi makro saat ini, patut tetap dipertahankan kestabilan-nya, terutama laju pertumbuhan ekonomi, inflasi, pergerakan suku bunga simpanan/kredit dan fluktuasi mata uang utama.
Apabila keempat prasyarat yang disarankan IIMD secara konsisten dapat dibenahi, iklim usaha kondusif kedepan akan dapat tercipta sebagai momentum untuk meningkatkan kembali kemampuan daya saing  pada tahapan  berikutnya, dengan konsekwensi peran aktif pemerintah sebagai barometer-nya. Oleh Mudrajad Kuncoro (2007; 423); Pilihan  kebijakan sektoral terdiri atas pelbagai macam tindakan yang dirancang untuk menargetkan industri sektor tertentu dalam perekonomian; Selain itu dapat pula dilakukan pilihan kebijakan horizontal, mengarahkan kinerja perekonomian secara keseluruhan dalam kerangka persaingan dimana perusahaan melaksanakan usahanya.
Sebelumnya pilihan kebijakan lebih difokuskan pada pendekatan sektoral, dengan penetapan target setiap sektor industri, tanpa memperhatikan keberadaan lokasi-nya (spaceless). Sekarang ini pilihannya adalah bersifat horizontal, dimana spasial pembangunan industri berbasis kluster (industrial clusters).
Pilihan kebijakan strategi terakhir ini sangat membantu Pemerintah Pusat dan Daerah dalam merumuskan kebijakan industri, karena ada kejelasan konsentrasi geografis dan spesialisasi sektoral. Artinya, klaster ini menekankan arti pentingnya spesialisasi dalam suatu daerah geografis yang berdekatan, dengan memadankan perencanaan fasilitas fisik berdasarkan tata ruang wilayah. kelacaran suplai bahan baku, ketersediaan sumber daya manusia dan sistem kelembagaan formal yang bertindak sebagai fasilitator.
Dalam RPJM Nasional 2010 – 2014, jelas menyebutkan keinginan untuk menggerakan pertumbuhan ekonomi yang dipacu oleh kegiatan riil investasi dan ekspor (tradeable), melalui penciptaan iklim usaha yang kompetitif dengan menegaskan;          (a) reformasi terhadap pelayanan investasi melalui percepatan waktu pelayanan dan penerapan “one stop  service”; (b) Penekanan high cost economics melalui tindakan penyederhanaan sistem perizinan dengan biaya yang trasparan dan penghapusan tumpang tindih pembiayaan; dan (c) Reformasi peraturan pada tingkat Pusat dan Daerah, yang berindikasi terhadap terjadinya tumpang tindih aturan yang membingungkan dari aspek pembagian kewenangan, menghambat investasi dan menimbulkan duplikasi pembiayaan.

F. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan diatas, maka beberapa kesimpulan yang patut menjadi perhatian, yaitu :
(1) Globalisasi ekonomi memberikan dampak positif dan negatif bagi suatu Negara, dimana secara ekonomi pengaruh langsungnya akan dirasakan pada aspek peningkatan investasi, perdagangan luar negeri (ekpor-impor) dan mobilisasi tenaga kerja. Kesiapan Negara bersangkutan merupakan faktor utama untuk dapat memanfaatkan globalisasi dengan baik ;
(2) Bagi Indonesia, globalisasi ekonomi telah memberikan manfaat terhadap peningkatan ekspor, namun pangsa pasar komoditi  unggulan ekspor Indonesia sudah banyak tergerus oleh Negara lainnya, karena kalah bersaing terutama dari aspek harga jual ;
(3) Untuk meningkatkan daya saing ekspor Indonesia, perlu dilakukan pembenahan terstruktur terhadap industri dalam negeri ;
(4) Peran pemerintah sangat diperlukan untuk melakukan pembenahan terhadap kinerja ekonomi makro, efisiensi pemerintahan (birokrasi) yang transparan, efisiensi bisnis melalui penmbenahan aturan/ketentuan yang tidak menambah beban biaya  dan kondisi infrastruktur yang perlu dibenahi, guna meningkatkan daya saing industri.

Oleh
Diddy Rusdiansyah A.D, SE., MM
Dosen Tetap pada Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda

BAHAN BACAAN

1) Bank Indonesia. 2010. Statistik Ekonomi & Keuangan Indonesia 2010. Publikasi November 2010. Diunduh pada tanggal 13 Januari 2010. http://www.bi. go.id/web/id/Statistik/Statistik+Ekonomi+Keuangan+Indonesia/Versi+HTML/Sektor+Moneter/.
2) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Indonesia 2010 – 2014.
3) Basri, Faisal & Haris Munandar. 2009. Lanskap Ekonomi Indonesia – Kajian dan Renungan Terhadap Masalah Struktural, Transpormasi Baru dan Prospek Perekonomian Indonesia. Edisi Pertama. Cetakan ke-1. Jakarta; Penerbit Kencana Prenada Group.
4) Dumary, Drs, MA. 1997. Perekonomian Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta; Penerbit Erlangga.
5) Fakultas Ekonomi UI. 2010. Indonesia Economic Outlook 2010 – Ekonomi Makro, Demografi dan Ekonomi Syariah. Jakarta; Penerbit PT. Grasindo.
6) Kuncoro, Mudrajad, Prof, Ph.D. 2010. Ekonomika Industri Indonesia Menuju Negara Industri Baru 2030. Yogyakarta; Penerbit Andi Offset.
7) Marsuki, DR. DEA. 2010. Analisis Perekonomian Nasional & Internasional. Edisi 2. Jakarta; Penerbit Mitra Wacana Media.
8) Ohmae, Kenichi. 1991. Dunia Tanpa Batas – Kekuatan Strategi Didalam Ekonomi yang Saling Mengait. Cetakan Pertama. Alih Bahasa Drs. F.X. Budiyanto. Jakarta; Penerbit Binarupa Aksara.
9) Stiglitz, Joseph E. 2003. Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional. Editor Adi Susilo, SE, MM. Jakarta; PT. Ina Publikatama.
10)Tambunan, Tulus T.H. 2005. Implikasi dari Globalisasi/Perdagangan Bebas Dunia Terhadap Ekonomi Nasional (sebuah makalah). Disampaikan pada Seminar Penataan Ruang & Pengembangan Wilayah Departemen PU pada tanggal 1 Juli 2010. Diunduh ulang pada tanggal 30 Desember 2010. http:/www.kadin.indonesia.or.id/enm/images/dokumen/Kadin98-2637-17032008.pdf.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *