Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2010 ini diperkirakan akan mencapai 5,9 % (Kompas, 24 Desember 2010), sementara menurut LPEM FE UI (2009; 37) diperkirakan pertumbuhan ekonomi hanya akan mencapai 5,24 %; Dibandingkan dengan tahun 2009 sebelumnya, yang hanya mencapai 4,5 %, maka terdapat suatu peningkatan yang cukup membanggakan. Namun permasalahannya; apakah pertumbuhan ekonomi tersebut ditopang sepenuhnya oleh sektor-sektor ekonomi, yang berdampak langsung terhadap penyerapan tenaga kerja dan sekaligus mampu mengurangi angka kemiskinan.
Untuk menjawab pertanyaan ini. kita mencoba merunut terlebih dahulu gambaran kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan publikasi BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 31,02 juta orang (13,33 % dari total jumlah penduduk) per Maret 2010. Apabila dikaitkan kondisi 2011 ini, yaitu; (a) merebaknya krisis pangan, karena perubahan iklim yang bersifat ekstrim, sehingga memberikan pengaruh terhadap pengurangan kuantitas dan kualitas hasil panen komoditas pertanian; (b) kemungkinan terjadinya kenaikan BBM, yang tidak hanya dipengaruhi kenaikan harga minyak internasional yang saat ini sudah menyentuh angka US $ 100/barel (Kompas, 17 Januari 2010), namun dipengaruhi pula oleh kebijakan pemerintah untuk melakukan pembatasan subsidi BBM (uji coba dimulai tahun 2011), sehingga secara tidak langsung konsumen diarahkan untuk membeli BBM non subsidi yang tentunya sudah didasarkan pada harga pasar sewajarnya; dan (c) kenaikan TDL, termasuk penghapusan TDL sebesar 18 % (capping) terhadap 25 % pelaku industri yang menikmati fasilitas ini, maka keseluruhan hal tersebut akan berdampak terhadap kenaikan harga (inflasi), sehingga lanjutan dampak berikutnya pada tahun 2011 berpeluang menggeser angka kemiskinan menjadi lebih tinggi, bukan sebaliknya menjadi menurun.
Oleh karena itulah, salah satu tantangan yang dihadapi Pemerintah pada tahun 2011 adalah berupaya untuk menekan kemiskinan ini, dengan cara; (a) menciptakan lapangan kerja, guna menyerap angkatan kerja baru; (b) menjaga kestabilan harga, terutama untuk komoditas kebutuhan primer, guna menjaga daya beli penduduk tidak berkurang ; (c) melalui kebijakan fiskal, tetap dialokasikan dana untuk penanggulangan kemiskinan, khususnya terkait dengan kompensasi yang bersifat non pendapatan, seperti menekan biaya pendidikan melalui BOS dan kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan; dan (d) bantuan permodalan yang tidak memberatkan bagi para pengusaha ekonomi lemah (UMKM), seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang ditopang pembiayaan APBN. Dalam kesempatan ini, hanya dibahas 2 (dua) masalah saja, yaitu penciptaan lapangan kerja dan menjaga kestabilan harga.
Berdasarkan publikasi BPS per Maret 2010, disebutkan bahwa tingkat pengangguran terbuka saat ini ada sebanyak 8,4 juta orang. Apabila, kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 % akan dapat menyerap 500.000 orang tenaga kerja (Kompas, 17 Januari 2011), maka dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 % pada tahun 2011, hanya akan tercipta ± 3 jutaan tenaga kerja, atau hanya ± 35 % dari jumlah pengangguran terbuka. Ini-pun masih menimbulkan pertanyaan mendasar; apakah mungkin pertumbuhan ekonomi tadi dapat menyerap 3 jutaan tenaga kerja, mengingat sektor ekonomi yang dominan menopang laju pertumbuhan ekonomi selama 3 (tiga) tahun terakhir adalah bertumpu pada sektor jasa (non tradeable) sebagaimana dapat dilihat berikut ini. Menurut Imam Sugama (Kompas, 11 Januari 2011); lima tahun sebelumnya proporsi sektor jasa terhadap pembentukan PDB baru mencapai 48 %, saat ini sudah mencapai 52 %.
Padahal sektor ini menurut Faisal Basri dan Haris Munandar (2009; 45) tidak menyerap banyak tenaga kerja. Sedangkan sektor ekonomi tradeable, yaitu pertambangan kurang menyerap tenaga kerja, karena ekspor yang dilakukan merupakan bahan mentah, tanpa ada proses pengolahan lebih lanjut yang berpeluang menciptakan tambahan penyerapan tenaga kerja. Demikian pula untuk pertanian, secara alamiah pertumbuhannya dibawah rata-rata, dengan mobilitas tenaga kerja relatif tinggi, karena sebagian besar bersifat informal; bahkan ada kesan di sektor ekonomi tradeable ini terjadi pengangguran terselubung.
Oleh karena itulah, harapan besar untuk dapat menciptakan peluang kerja baru dalam artian permanen bertumpu pada sektor formal lingkup industri pengolahan (manufaktur). Namun, proporsinya terhadap PDB mengalami penurunan (deindustrialisasi); Menurut Imam Sugama, saat ini proporsinya hanya mencapai 26 %, sementara 5 (lima) tahun sebelumnya masih berada disekitar 28 %. Dalam lingkup sektor ekonomi manufaktur ini terdapat 4 (empat) sub sektor dominan, yaitu; (1) makanan, minuman dan tembakau; (2) pupuk, produk kimia dan karet; (3) kendaraan bermotor, mesin dan paralatan; serta (4) tekstil, kulit dan alas kaki.
Diantara keempat sub sektor tadi, sub sektor tekstil, kulit dan alas kaki cenderung mengalami penurunan pertumbuhan, sebagaimana sub sektor lainnya. Ini berarti, laju pertumbuhan manufaktur lebih ditentukan oleh 3 (tiga) sub sektor dominan seperti telah disebutkan sebelumnya. Permasalahannya, ketiga sub sektor dominan tersebut sebagian besar tidak sepenuhnya berbasis pada pemanfaatan potensi sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Khususnya untuk industri kendaraan bermotor (otomotif), spare part utamanya masih didatangkan dari perusahaan induknya (principal) di luar negeri, sedangkan untuk industri kimiawi tidak jauh berbeda dengan otomotif, kebutuhan bahan baku masih didatangkan dari luar pula.
Kondisi diatas, mengisyaratkan bagi Pemerintah untuk mengembangkan strategi industrialisasi berbasis pemanfaatan potensi sumber daya alam yang ada dan bersifat padat karya, karena pengalaman pada tahun 1980-an, bersamaan dengan intensifnya kegiatan industrialisasi padat karya (seperti garmen dan tekstil), Indonesia mendapatkan 3 (tiga) keuntungan sekaligus (triple track strategy), yaitu pertumbuhan ekonomi yang mencapai double digit, berkurangnya pengangguran dan angka kemiskinan yang menurun.
Peluang terbesar untuk itu ada pada pengembangan manufaktur yang berhubungan dengan agro industry. Sebagai contoh, selama ini komoditi kakao, karet dan kelapa sawit, lebih banyak diekspor dalam bentuk mentah, apabila diolah lebih lanjut akan memberikan nilai tambah tersendiri, disamping berpeluang menyerap tenaga kerja untuk kegiatan pemrosesannya lebih lanjut. Belajar dari krisis komoditi ditahun 2010 lalu, dan diperkirakan akan terus berlanjut di tahun-tahun mendatang, maka pengembangan manufaktur ini sangat relevan.
Untuk itu Pemerintah diharapkan dapat mendukung penyediaan infrastruktur, berupa jalan, listrik dan saluran irigasi. Disamping dukungan pembiayaan perbankan, yang selama ini tampak ada keenggenan untuk menyalurkan kredit pada sektor pertanian (tanam keras), karena perolehan hasilnya membutuhkan waktu lama sejak masa penanaman hingga panen, belum lagi masalah kepastian hasil yang sangat ditentukan oleh kondisi alam serta harga jual yang berfluktuasi.
Selanjutnya mengenai kestabilan harga, pada dasarnya bergantung pada keseimbangan antara permintaan dan penawaran komoditas dipasaran. Komoditas sektor pertanian memiliki peran strategis, karena menyangkut kebutuhan dasar penduduk, seperti beras, ikan/daging, sayuran dan palawija. Permasalahannya, sektor ini tingkat pertumbuhannya relatif rendah, sehingga tidak mampu menopang gejolak permintaan yang terus meningkat; Adanya sedikit gonjangan pada sisi pasokan, otomatis akan diikuti dengan kenaikan harga.
Faisal Basri (Kampas, 10 Januari 2010); menyebutkan bahwa kenaikan harga tidak hanya ditentukan oleh masalah pasokan saja, namun dipengaruhi oleh aspek distribusi, yang dibuktikan dengan; (a) adanya disparitas harga antar daerah yang sangat tinggi, hingga mencapai 4 – 5 kali lipat; dan (b) harga pada tingkat konsumen dapat mencapai 5 kali lipat, dibandingkan harga pada tingkat produsen.
Untuk menjaga kestabilan harga, dalam jangka pendek Pemerintah diharapkan dapat mengatur mata rantai distribusi komoditas primer ini, tidak sekedar melakukan jalan pintas memotong bea masuk dan pemberian izin impor setiap ada gejolak kenaikan harga. Dalam jangka panjang, sektor pertanian harus ditingkat pertumbuhannya; dari aspek spasial harus dikembangkan daerah luar Jawa (+ Bali) yang memiliki potensi keunggulan komoditi tertentu, sedangkan dari aspek sektoral berupa kebijakan yang menekan input pertanian, berupa kestabilan harga pupuk, ketersedian bibit unggul dan modal kerja yang berbunga rendah.
Leave a Reply