Globalisasi ekonomi yang saat ini sedang dan masih terus akan berlangsung membawa dampak terhadap pergerakan orang, barang dan modal yang tidak lagi dapat dibatasi oleh dimensi waktu dan ruang. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Dumairy 1) ; globalisasi diartikan mendunianya kegiatan dan keterkaitan perekonomian, yang tidak lagi mengenal batas kenegaraan; globalisasi bukan hanya sekedar berada tataran internasional, namun sudah menjadi transnasional kegiatan yang tidak hanya mencakup aspek perdagangan dan keuangan saja, tapi sudah memasuki ranah aspek produksi, pemasaran dan sumber daya manusia. Konsekuensinya, perekonomian antar Negara menjadi saling berkaitan, dimana peristiwa ekonomi suatu Negara dengan dan mudah berimbas ke Negara lainnya.
Sementara itu; Joseph E. Stiglitz 2) ; menyatakan bahwa globalisasi membuka jalan keperdagangan internasional yang telah membantu banyak Negara untuk berkembang lebih pesat dari apa yang telah mereka capai sebelumnya. Menurut Tulus Tambunan 3) ; dampak globalisasi ekonomi terhadap perekonomian suatu Negara bisa positif atau negatif, bergantung pada kesiapannya menghadapi peluang dan tantangan yang muncul dari proses tersebut. Secara umum terdapat 4 (empat) aspek yang terpengaruh langsung, yaitu ekspor, impor, investasi dan tenaga kerja. Merujuk ketiga pendapat diatas, maka pertanyaan mendasarnya; Apakah kawasan perbatasan di Kalimantan Timur dapat memanfaatkan dampak positif arus globalisasi ekonomi, terutama peluang perdagangan bebas kawasan sekitarnya. Untuk menjawab pertanyaan ini harus diawali dengan pemahaman terhadap perwilayahan (spasial) perbatasan, yang dipilah menjadi 2 (dua), yaitu kawasan perbatasan darat dan kawasan perbatasan laut. Kedua kawasan tadi keseluruhannya berbatasan dengan Negara Malaysia (Sabah dan Serawak). Artinya, langkah awal pengembangan perdagangan bebas di kawasan perbatasan Kalimantan Timur adalah kemampuan memanfaatkan potensi pasar Negara Bagian Sabah dan Serawak. Dalam konteks demikian maka dilihat dari aspek perwilayahannya; dapat dikatakan bahwa kawasan perbatasan laut lebih cepat untuk memanfaatkan peluang tersebut, dibandimngkan kawasan perbatasan darat, walaupun kedua wilayah ini masih memanfaatkan perdagangan lintas batas melalui Border Trade Agreement (BTA) Tahun 1970. Khususnya Negara Bagian Sabah cenderung menerapkan format perdagangan Barter Trade 4), sebagai transisi belum dicapainya kesepakatan perubahan BTA Tahun 1970. Posisi Kalimantan Timur; dengan kedua format perdagangan tersebut dihadapkan pada syarat perdagangan (term of trade) kurang menguntungkan, akibat diterapkan prinsip perdagangan timbal balik (reciprocal); Pihak Kalimantan Timur memperdagangkan hasil pertanian yang masih mentah, dengan harga jual murah dan tingkat elastisitas harganya terhadap pendapatan bersifat rendah dan negatif, sementara dari pihak Malaysia memperdagangkan produk hasil olahan, yang telah mengandung nilai tambah dan nilai jualnya relatif lebih mahal.
1. Kawasan Perbatasan di Kalimantan Timur
Sebelumnya telah diutarakan bahwa kawasan perbatasan Kalimantan Timur dibagi menjadi 2 (dua), yaitu; Pertama, kawasan perbatasan laut, mencakup 5 Kecamatan di Pulau Sebatik (sesudah pemekaran pada tahun 2011), Kecamatan Nunukan dan Kecamatan Nunukan Selatan. Keseluruhan Kecamatan dimaksud berjumlah 7 Kecamatan; berada dalam wilayah Kabupaten Nunukan. Kedua, kawasan perbatasan darat yang berada di Kabupaten Nunukan (pedalaman), Malinau dan Kutai Barat, mencakup 12 Kecamatan (selengkapnya lihat Tabel 1). Khususnya untuk kawasan perbatasan laut ini, 2 Kecamatan diantaranya memiliki perbatasan laut dan darat, yaitu Kecamatan Sebatik Timur dan Sebatik Utara. Kecamatan yang tercakup dalam wilayah perbatasan laut, ditambah dengan Kecamatan Sei Manggaris; dapat dikatakan sebagai kawasan perbatasan pesisr, yang telah didukung ketersediaan infrastruktur pelayanan dasar, khususnya jalan; Dan pilihan moda angkutannya relatif banyak, walaupun belum terkoneksikan dengan baik.
Tabel 1.
Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Kecamatan Kawasan Perbatasan Provinsi Kalimantan Timur
Keterangan :
1) Setelah dimekarkannya Kecamatan di Kabupaten Nunukan, sebelumnya Berjumlah 15 Kecamatan Perbatasan.
2) Luas wilayah daratan.
3) Hasil Sensus Tahun 2010.
4) Data jumlah penduduk masih masuk Kec. Sebatik.
5) Data jumlah penduduk masih masuk Kec. Sebatik & Sebatik Barat.
6) Data jumlah penduduk masih mencakup Kec. Sebuku (sebelum pemekaran).
7) Data jumlah penduduk masih mencakup Kec. Lumbis (sebelum pemekaran).
8) Data jumlah penduduk masih masuk Kec. Nunukan (sebelum pemekaran).
Sumber : Diolah dari pelbagai sumber.
Kondisi ini sudah cukup mendukung untuk percepatan pengembangan perdagangan bebas. Apalagi dikaitkan dengan keberadaan fasilitas pelabuhan laut Tunon Taka dan Pos Pemeriksaan Lintas Batas Laut (PPLB) Lamijung, tentunya akan lebih mendukung terhadap upaya percepatan dimaksud. Pergerakan lintas batas “orang” terutama para TKI melalui Nunukan – Tawao cukup intens keluar masuknya, termasuk kegiatan perdagangan lintas batas (ekspor – impor) antara Nunukan – Tawao. Kecamatan lainnya yang berada dikawasan perbatasan darat, walaupun cakupan luas wilayahnya relatif lebih besar, yaitu mencapai 46.937,97 km2 atau 97,93 % dari seluruh luas wilayah darat perbatasan, namun akibat masih dalam kondisi terisolasi dan terbatasnya akses transportasi, maka berimplikasi terhadap kendala utama didalam melakukan pengembangan perdagangan bebas. Dari aspek perencanaan wilayah, Pemerintah telah mengintrodusir kebijakan penetapan Pusat Kegiatan Strategi Nasional (PKSN) pada 10 lokasi 5) di sepanjang kawasan perbatasan darat Kalimantan (Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat) – Malaysia (Serawak dan Sabah), yang mencapai 2.004 km. Khususnya di Kalimantan Timur berada di 5 lokasi sepanjang 1.038 km, yaitu, (a) Kabupaten Nunukan – berada di Nunukan, Sei Manggaris dan Long Midang; (b) Kabupaten Malinau – di Long Nawang; dan (c) Kabupaten Kutai Barat – di Long Pahangai. Pusat Kegiatan Strategi Nasional (PKSN) 6) dimaksudkan sebagai kawasan pusat perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara, dengan kriteria :
a. Pusat perkotaan yang berpotensi sebagai pos pemeriksaan lintas batas (PPLB) dengan negara tetangga ;
b. Pusat perkotaan yang berfungsi sebagai pintu gerbang internasional yang menghubungkan dengan negara tetangga ;
c. Pusat perkotaan yang merupakan simpul utama transportasi yang menghubungkan wilayah sekitarnya; dan
d. Pusat perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan disekitarnya;
Dalam fungsi PKSN sebagai PPLB, akan diikuti dengan fungsi sebagai pintu gerbang internasional. Kedua fungsi inilah yang sebenarnya diharapkan menjadi cikal bakal tumbuhnya kegiatan perdagangan lintas batas dalam arti sebenarnya, tidak berlandaskan pada ketentuan BTA, yang membatasi kualitas dan kuantitas komoditi yang diperdagangkan, yaitu berkisar RM 600 perorang setiap bulannya. Perdagangan lintas batas dalam arti sebenarnya identik dengan kegiatan ekspor – impor komoditi/produk (barang dan jasa) antar negara. Untuk mewujudkan perdagangan bebas (ekspor – impor) antar negara dalam konsep PKSN, harus dilakukan pembukaan PPLB terlebih dahulu sebagai kunci utama, tanpa melakukan hal ini sebagai langkah awalnya, maka langkah-langkah prinsip berikutnya akan menjadi terkendala, yaitu :
a. Mengembangkan produk yang dapat diperdagangkan sebagai keunggulan komperatif wilayah, dan mampu diproduksi dalam skala cukup besar. Pengembangan ini didasarkan pada klaster produk yang telah disusun secara keseluruhan ;
b. Mengembangkan produk unggulan sejalan dengan perkembangan industrialisasi di Negara tetangga; dengan menjadikan produk tersebut sebagai bahan bakunya, sehingga industri dimaksud merupakan potensi pasar garapan yang sudah pasti, langkah ini berhubungan dengan kepastian jaringan distrubusi produk ;
c. Membuka akses jalan dari wilayah potensi pengembangan produk unggulan (hinterland) menuju lokasi PPLB (border trade zone) ;
d. Menumbuhkan kelembagaan ekonomi pedesaan yang dapat berperan didalam mendukung pergerakan ekonomi wilayah yang semakin berkembang.
Pada saat ini pihak Malaysia baru bersedia membuka pos lintas batas di Nunukan – Tawao (laut) dan Long Midang – Ba’kelalan (darat). Nunukan dan Long Midang ini berada di Kabupaten Nunukan, dan seperti telah diutarakan sebelumnya termasuk sebagai wilayah PKSN, sedangkan 3 (tiga) wilayah PKSN lainnya masih belum ada kepastian. Hal inilah yang menjadi kendala Pemerintah untuk mengembangkan perdagangan bebas yang mencakup kawasan perbatasan yang ada di 3 Kabupaten. Secara bertahap Pemerintah mengawali kegiatan perdagangan bebas pada PKSN di Nunukan dan Long Midang, dengan cara melakukan pembangunan PPLB dengan segala kelengkapan penunjangnya, terutama kawasan border trade zone (BTZ), dimana didalamnya dilakukan kegiatan perdagangan bebas lintas batas (tidak dibawah aturan BTA); Dan apabila memungkinkan didalam kawasan BTZ tersebut dapat dibangun dry port lengkap dengan fasilitas pergudangan (transit barang). Kelengkapan fasilitas ideal PPLB, yang tidak hanya menjalankan fungsi Costum – Imigration – Quarantine – Security (CIQS) saja, namun berfungsi pula sebagai BTZ, sangat membutuhkan cadangan lahan pengembangan yang cukup luas, termasuk biaya pembangunan fasilitasnya, sehingga untuk merealisasikan pembangunan PPLB (termasuk BTZ) harus memastikan produk unggulan yang dapat diperdagangkan.
2. Produk Unggulan Kawasan yang Dapat Diperdagangkan
Produk ekstraktif (tidak termasuk pertambangan mineral) yang menjadi keunggulan kawasan perbatasan di Kalimantan Timur pada saat ini masih dalam tataran identifikasi, sementara potensi kuantitatifnya belum diketahui secara pasti. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa dalam lingkup ekstraktif, yang mencakup pertanian, peternakan dan perikanan telah teridentifikasikan beberapa jenis produk yang dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai produk unggulan. Permasalahannya, sebagian besar produk diproduksi dalam skala terbatas yang disebabkan :
a. Potensi pemanfaatan pasar terhambat oleh kondisi keterbatasan sarana/ prasarana transportasi (isolasi wilayah), disamping permintaan pasar yang tidak konsisten;
b. Kurangnya penguasaan teknis perawatan dan penanganan pasca produksi, terutama produk yang tidak memiliki daya tahan lama (undurable good), sehingga tingkat produktifitas dan kualitas produksi belum optimal ;
c. Belum sepenuhnya memanfaatkan bibit unggul ;
d. Penguasaan terhadap sistem produksi yang menggunakan teknologi tepat guna belum dikuasai sepenuhnya, hal ini ada kaitannya dengan kurangnya tenaga penyuluh lapangan yang dapat bertindak sebagai motivator dalam memanfaatkan teknologi tepat guna maupun teknis perawatan dan penanganan pasca produksi ;
e. Dukungan pembiayaan relatif minim, mengingat kelembagaan ekonomi pedesaan belum berkembang sepenuhnya.
Untuk menjadikan produk ekstraktif kawasan perbatasan sebagai “unggulan kawasan” bersangkutan harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya yang paling menonjol adalah dilihat skala hasil/produksi, dan ini akan terkait dengan kebutuhan penyediaan lahan. Kendalanya adalah peluang untuk menambah lahan pengembangan berbenturan dengan aspek lingkungan, karena sebagian besar kawasan perbatasan Kalimantan Timur masuk dalam kawasan Hutang Lindung Kayan – Mentarang (Heart of Borneo); Sejak awal sudah ada pembatasan lahan perluasan produksi, sehingga optimalisasi pemanfaatan lahan yang ada sudah harus mempertimbangkan pilihan produk unggulan kawasan yang dianggap paling menguntungkan. Kesamaan kondisi alamiah antara kawasan perbatasan Kalimantan Timur dengan Sabah/Serawak, berdampak terhadap adanya kesamaan potensi produk yang dapat dikembangkan; homogeneusly product. Implikasinya berdampak terhadap adanya 2 (dua) opsi; Pertama, meningkatkan nilai tambah (value added) produk melalui proses produksi pasca produksi; Dan kedua, menjual dengan harga relatif lebih murah sampai pada tingkatan pembeli akhir (end off consumer). Penduduk kawasan perbatasan Kalimantan Timur yang selama ini sebagai produsen bahan mentah cenderung memilih opsi kedua, karena didukung biaya tenaga kerja yang relatif murah, sehingga berkorelasi terhadap harga jual produk, disamping cepat mendapatkan hasil, tanpa disela waktu pengolahan pasca produksi. Sisi lainnya adalah harga jual produk yang menggunakan mata uang ringgit Malaysia (RM); saat dikonversikan dalam mata uang rupiah (IDR), memberikan nilai kumulatif perolehan hasil masih relatif besar dibandingkan biaya produksi, sehingga ini merupakan faktor pendorong terhadap pilihan opsi kedua tadi; terlepas dari pilihan pasar yang tidak ada alternatif lain, selain ke Malaysia yang lebih dekat. Disamping itu, disekitar kawasan perbatasan antar negara, pembeli akhir dari pihak Malaysia lebih banyak sebagai pedagang perantara (broker) yang hanya menampung produk masih mentah dari pihak penjual (penduduk perbatasan Kalimantan Timur). Tentunya, keuntungan lebih besar dinikmati oleh broker.
Tabel 2
Produk Kawasan Perbatasan Provinsi Kalimantan Timur Yang Berpeluang Untuk Dijadikan Produk Unggulan
Sumber : Dihimpun dari masukan Pemerintah Kabupaten Nunukan, Malinau dan Kubar serta Dinas teknis lingkup Pemerintah Provinsi Kaltim.
Dalam skala produksi yang masih terbatas opsi kedua bukan merupakan permasalahan ekonomi yang berdampak besar, namun apabila skala produksinya sudah besar dan atau produk yang diperdagangkan sudah cukup banyak (diversification product), maka upaya peningkatan daya saing dengan melakukan opsi pertama sudah merupakan keharusan, dengan cara mengolah produk mentah menjadi produk setengah jadi, misalnya kakao diperdagangkan sudah dalam bentuk fermentasi atau karet sudah berupa lateks. Proses penanganan pasca produksi masih dalam jangkauan kemampuan penduduk setempat; cukup menggunakan teknologi tepat guna, sehingga mampu menciptakan produk unggulan yang kompetetif, menggunakan kombinasi biaya murah dan sentuhan nilai tambah. Keunggulan kompetitif ada 2 (dua) tipe 7). Tipe pertama, kompetitif statis yang umumnya merujuk pada faktor keunggulan geografis setempat, seperti daya dukung alam yang kondusif untuk mengembangkan produk tertentu, dimana ditempat lainnya dapat dikembangkan dengan sentuhan buatan (kamuflase). Tipe kedua, kompetitif dinamis yang berhubungan dengan faktor-faktor kemampaun SDM setempat untuk melakukan tindakan inovasi. Saat ini, diakui bahwa di kawasan perbatasan Kalimantan Timur kompetitif statis relatif lebih dominan dibandingkan kompetetif dinamis. Namun ini sudah cukup menjadi dasar pijakan menciptakan keunggulan produk pada tahap awal. Perkembangan berikutnya pembenahan terhadap faktor SDM penduduk kawasan perbatasan harus dilakukan, searah dengan peningkatan kompetitif dinamis. Kombinasi kompetitif statis dan dinamis baru sebatas meningkatkan keunggulan produk, belum menyentuh pada upaya percepatan perdagangan bebas di kawasan perbatasan. Ketergantungan terhadap peranan broker masih tetap diperlukan, sehingga mata rantai keberadaan broker ini diformalkan melalui kegiatan perdagangan bebas lintas batas di kawasan BTZ – PPLB. Transaksi ekspor – impor terjadi dalam kawasan BTZ – PPLB ini, sehingga jumlah kumulatif transaksi tersebut tercatat dengan baik, tidak penting berapa besar nilai transaksinya, yang lebih penting lagi adalah kesetaran hubungan dagang timbal balik, karena perdagangan lintas batas berlandaskan BTA relatif kurang menguntungkan bagi Indonesia; banyak akses negatif berlindung dibalik ketentuan BTA, yang mengarah pada tindakan illegal trading dari oknum kedua belah pihak. Pertanyaan berikutnya; apakah kondisi ideal untuk menjadi BTZ – PPLB sebagai perdagangan bebas lintas batas dapat dilakukan pada semua lokasi PKSN yang berjumlah 5 lokasi di Kalimantan Timur.
3. Prospek Pengembangan Perdagangan Bebas Kawasan
Untuk menjawab pertanyaan ini dilihat skala waktunya, maka dalam jangka pendek perdagangan bebas lintas batas negara melalui pembentukan BTZ – PPLB, lebih dimungkinkan di kawasan perbatasan laut (pesisir), mencakup Nunukan dan sekitarnya. Dalam jangka panjang secara bertahap PKSN yang berada dikawasan perbatasan darat dikembangkan kegiatan perdagangan bebas lintas batas. Kawasan perbatasan laut (pesisir) yang mencakup 5 Kecamatan di Pulau Sebatik, 2 Kecamatan di Pulau Nunukan dan wilayah pesisir Kecamatan Sei Manggaris, sejak awal telah dipersiapkan infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung pergerakan lalu lintas orang dan barang. Infrastruktur transportasi berupa bandar udara Nunukan dan pelabuhan laut Tunon Taka, untuk melayani kapal melakukan bongkar muat barang dalam jumlah besar sudah tersedia. Demikian pula PPLB Lamijung akan segera difungsikan sebagai lalu lintas keluar – masuk orang dari Nunukan ke Tawao atau sebaliknya. Model pengembangan Kawasan Perbatasan Laut 8) yang merupakan pilihan tepat untuk mengembangkan Nunukan dan sekitarnya membutuhkan keberadaan Kawasan Berikat dan Kawasan Pelabuhan Bebas. Dalam pemahaman yang sama, Menteri Dalam Negeri selaku Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) telah mencanangkan Pulau Sebatik sebagai Kawasan Pengembangan Agroindustri dan Jasa Maritim, pada 28 Mei 2012 lalu. Sebagai kawasan pengembangan agroindustri lebih realistis untuk segera direalisasikan dalam jangka pendek, dibandingkan dengan pembentukan kawasan berikat; Mengingat Kabupaten Nunukan cukup memiliki potensi agroindustri berbasis perkebunan. Selain daripada itu, pembentukan kawasan berikat membutuhkan banyak infrastruktur pendukung lainnya. Sementara kawasan pelabuhan bebas, saat ini masih merupakan feeder biasa yang berkembang sejalan dengan aktifitas ekonomi wilayah hinterland-nya, belum merupakan pelabuhan bebas yang dapat menampung kapal besar dan rute pelayaran ke mancanegara, sehingga lebih tepat dikatakan sebagai kawasan jasa kemaritiman. Namun demikian, pilihan model pengembangan diatas sudah mengisyaratkan peluang untuk dilakukannya kegiatan perdagangan bebas dikawasan perbatasan, walaupun perdagangan bebas dimaksud tidak dalam skala besar pada tahap awalnya. Ketersediaan fasilitas kepelabuhan, seperti dermaga, terminal penumpang, lahan penumpukan barang (kontainer), gudang, perkantoran, fasilitas CIQ serta pengamanan harus sudah disiapkan. Kenyataannya seluruh fasilitas dimaksud sudah tersedia pada pelabuhan laut Tunon Taka; hanya saja status pelabuhan tersebut belum sebagai Pelabuhan ekspor – impor. Rencana Pemerintah kedepan adalah akan segera memindahkan lalu lintas pergerakan orang dari Nunukan menuju Tawao atau sebaliknya, yang semula berada di Tunon Taka, dialihkan ke Lamijung yang nantinya akan menjadi PPLB Laut (dilengkapi CIQS) Keberadaan Tunon Taka dan Lamijung ini dalam jangka pendek sudah relevan untuk mendukung terwujudnya perdagangan bebas lintas batas, karena selama ini antara Nunukan dan Tawao sudah terjadi kegiatan ekspor – impor melalui mekanisme perdagangan lintas batas berdasarkan ketentuan BTA (lihat Tabel 3). Ekspor Nunukan lebih bertumpu pada hasil bumi (ekstraktif) terutama kelapa sawit. Sementara impor dari Tawao terdiri atas pelbagai jenis produk olahan (manufacture), yang merupakan hasil pencatatan atas barang bawaan para pelintas batas. Idealnya, pemanfaatan perdagangan lintas batas akan meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan tingkat pendapatan perkapita yang tercakup dalam area lintas batas. Sementara data yang tersaji pada Tabel 3 menunjukan hasil yang tidak konsisten. Faktor penyebabnya ada 2 (dua) kemungkinan; Pertama, kurang validnya sistem pencatatan di lapangan atau kurang terbukanya penyampaian laporan atas barang bawaan oleh para pelintas batas. Kedua, kemungkinan terjadinya tindakan lllegal (penyeludupan), mengingat aturan perdagangan lintas batas sudah memberikan pembatasan nilai transaksi hanya sebesar RM 600/orang/bulan atau dengan menggunakan kapal bermotor dengan bobot 20 m3 untuk setiap kali pengangkutan.
Tabel 3
Perkembangan Perdagangan Lintas Batas Nunukan – Tawao
Tahun 2004 – 2011
Keterangan :
1) Ekspor dari Nunukan ke Tawao.
2) Impor dari Tawao ke Nunukan.
Sumber : Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Provinsi Kalimantan Timur.
Permasalahan diatas menjadikan posisi Nunukan (“Indonesia”) tidak menguntungkan; bukan hanya pada aspek “defisit perdagangannya” saja, namun juga dirugikan atas hilangnya pemasukan devisa, karena hal yang tidak mungkin dipungkiri lagi adalah produk olahan dari Malaysia sudah membanjiri pasaran retail di Sebatik dan Nunukan, bahkan sudah merambah Tarakan; dan belum tentu produk tersebut sesuai dengan standar laik sehat yang telah ditetapkan Pemerintah Indonesia (SNI). Dihadapkan pada kondisi demikian, maka langkah yang terbaik adalah memformalkan kegiatan perdagangan lintas batas ini, menjadi perdagangan bebas lintas batas, sehingga langkah pertama Pemerintah adalah mempertimbangkan perubahan status Pelabuhan Tonan Taka menjadi pelabuhan ekspor – impor; atau pelabuhan lainnya di Pulau Sebatik dalam rangka menjadikan Sebatik sebagai kawasan perkotaan 9), dengan basis agroindustri dan jasa maritim. Keberadaan pelabuhan ekspor – impor ini adalah sebagai pintu keluar – masuk tunggal kegiatan perdagangan bebas, tidak hanya untuk perdagangan bebas lintas batas, namun lebih luas dari itu, yaitu dipersiapkan untuk perdagangan luar negeri. Langkah kedua; segera merealisasikan Lamijung sebagai PPLB (CIQS), untuk keperluan lalu lintas orang antar Negara. Pergerakan pelintas batas ini, baik menggunakan passport atau pass lintas batas tidak menutup kemungkinan akan membawa barang, baik untuk keperluan pribadi maupun dagang. Adanya PPLB ini keluar masuknya orang/barang dapat lebih dipantau dengan baik. PPLB lainnya ditempatkan di Pulau Sebatik. Keberadaan kedua PPLB tersebut, apabila sudah berfungsi dengan baik, maka pelbagai pos lintas batas tradisional yang ada harus ditutup secara bertahap, mengingat selama ini kegiatan perdagangan illegal banyak melalui pos tradisional dimaksud, yang sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Langkah ketiga, beranjak dari pengalaman sebelumnya, yaitu banyaknya hasil bumi (ektraktif) dari wilayah Nunukan dan sekitarnya masuk ke wilayah Malaysia (Tawao) menjadi produk bahan mentah (primer) yang legal, maka sejak dini sudah harus dikaji pembentukan border trade zone (BTZ) dalam kawasan PPLB. Konsepsi BTZ ini identik dengan perluasan marketing point. Dalam kawasan ini dipertemukan penjual – pembeli, dengan memperdagangkan produk ekstratif dan dilengkapi fasilitas gudang untuk transit (penyimpanan sementara) produk yang diperdagangkan; Didukung sistem pengelolaan profesional, transaksi perdagangan (ekspor) dapat diselesaikan secepatnya, serta langsung dapat dikapalkan atau sementara menunggu proses administratifnya, produk tersebut dapat dititipkan di gudang transit) sebelum diekspedisikan menuju pelabuhan ekspor – impor (kapal). Inilah yang dimaksudkan dengan perluasan dari marketing point, yaitu disamping cakupan perdagangannya adalah berupa transaksi ekspor – impor, juga didukung oleh penerapan sistem pengelolaan yang professional. Langkah keempat, memastikan produk yang diperdagangkan merupakan produk unggulan kawasan; unggul dari segi harga jual akhir atau unggul karena kualitas fisik produk, baik oleh faktor pembudidayaannya yang didukung kondisi alamiah setempat (kompetitif statis) dan/atau oleh faktor penanganan pasca produksi; sudah ada sentuhan teknologi (kompetitif dinamis). Produk unggulan diproduksi dalam skala besar, sehingga ini hanya dimungkinkan oleh perusahaan yang memiliki modal besar dan lahan usaha yang luas. Sementara produksi yang dilakukan secara individual terutama penduduk lokal, harus dihimpun terlebih dahulu dalam suatu lembaga “koperasi”. Produk ekstraktif yang dihasilkan Nunukan dan wilayah sekitarnya, seperti kelapa sawit, kakao, pisang, rumput laut serta ikan perikanan tangkap, dipasarkan secara langsung ke Tawao masih berupa bahan mentah; tidak mengikuti aturan BTA atau bahkan aturan perdagangan luar negeri yang berlaku. Produk-produk inilah yang seharusnya menjadi produk yang diperdagangkan secara formal didalam kawasan BTZ-PPLB; Permintaannya terus mengalami peningkatan, namun dari segi harga dipatok secara sepihak oleh para cukong (broker), yang tidak menggambarkan harga pasaran di Malaysia. Dalam arti kata lain, cukong-lah yang mendapatkan keuntungan lebih atas pola perdagangan yang tidak sehat ini. Dalam banyak kasus, cukong sudah memberikan “panjar” (modal kerja) terlebih dahulu, yang bersifat mengikat. Keempat langkah diatas merupakan upaya-upaya yang sebaiknya dilakukan Pemerintah, baik oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur maupun Pemerintah Kabupaten Nunukan, dalam rangka merealiasikan percepatan perdagangan bebas lintas batas dalam jangka pendek; Dan dapat segera dilakukan, mengingat langkah pertama hingga ketiga sudah didukung keberadaan institusional-nya, sehingga untuk pengembangan kapasitas (capacity building) berikutnya hanya diperlukan pembenahan terhadap sistem kerja dan penyediaan SDM serta komitmen bersama semua pemangku kepentingan (stakeholder). Sementara untuk langkah keempat masih diperlukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat, mengingat apa yang berlaku saat ini sudah menguntungkan bagi mereka; (a) uang diterima secara tunai dan langsung tanpa disela waktu; (b) adanya kepastian pembeli yang sudah dikenal/dipercaya; dan (c) tidak direpotkan urusan pengiriman produk, sebab pihak cukong sudah mengatur sepenuhnya masalah ini. Kesepakatan Sosek Malindo 10) sudah mengisyaratkan hal ini, disamping ada indikasi dari pihak Malaysia untuk membatasi perdagangan lintas batas laut, terkait adanya penyimpangan pemanfaatan perdagangan ini, serta dilihat dari kumulatif nilai perdagangannya sudah layak sebagai perdagangan ekspor konvensional, yang dapat memberikan tambahan pendapatan Negara (“Malaysia”), seperti bea ekspor. Keberatan pihak Malaysia merupakan hal yang wajar, karena sejalan dengan berkembangnya jumlah penduduk serta meningkatnya pendapatan perkapita, khusus-nya di sekitar Nunukan, maka pemanfaatan perdagangan lintas batas ini akan meningkat pula, sehingga perlu dllakukan pengaturan antisipatif sejak dini. Bagi pihak Indonesia menjadi peluang untuk duduk bersama dengan pihak Malaysia; membicarakan solusi terbaik dan menguntungkan semua pihak. Dalam kerangka Sosek Malindo dimungkinkan dilakukannya perjanjian perdagangan bilateral, yaitu perdagangan bebas lintas batas, dengan dasar aturan yang tidak menyimpang terhadap ketentuan masing-masing Negara. Selanjutnya, bagaimana pemberlakuan perdagangan bebas lintas batas kawasan perbatasan darat; apakah keempat langkah yang telah diutarakan diatas dapat diterapkan pula. Jawaban mendasarnya adalah terletak pada ketersedian infrastruktur pendukungnya. Realitas saat ini mengindikasikan bahwa dukungan infrastruktur dimaksud belum tersedia, sehingga kalau diperbandingkan dari aspek waktu, realisasi perdagangan bebas lintas batas di kawasan perbatasan darat membutuhkan waktu relatif lama (panjang). Namun demikian tetap diperlukan langkah-langkah kearah tersebut. Terdapat 5 (lima) langkah strategis yang seharusnya dilakukan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, bersama dengan ke-3 Kabupaten yang memiliki kawasan perbatasan; Nunukan, Malinau dan Kutai Barat. Diawali dengan langkah pertama yang bersifat mendasar adalah pembukaan pos lintas batas (PLB) darat, dengan melengkapi fasilitas penunjangnya. PLB tidak identik dengan PPLB, karena PLB hanya merupakan pos yang memantau lalu lintas pergerakan orang antar Negara, sedangkan kegiatan perdagangan hanya sebatas pemenuhan kebutuhan pokok. Akan tetapi ini merupakan cikal bakal terjadinya perdagangan yang lebih luas, karena pihak Malaysia sangat ketat untuk bersepakat membuka PLB-nya 11), yang ada sekarang ini lebih banyak PLB tradisional. Kesepakatan pembukaan PLB berimplikasi tidak hanya pada formilitas pergerakan orang lintas batas antar Negara, namun berimplikasi pula terhadap terjadinya formilitas lalu lintas barang dalam ranah BTA. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pembukaan PLB dalam wilayah PKSN akan dikembangkan sebagai pusat perkotaan yang melaksanakan fungsi pemeriksaan lintas batas dan pintu gerbang internasional dengan Negara tetangga. Maknanya adalah kombinasi konsepsi PKSN – PLB darat akan diarahkan sebagai strategi pengembangan kawasan perbatasan darat. Oleh karennya penyediaan fasilitas minimal PLB, seperti gedung administrasi, pintu masuk – keluar yang terpisah, dengan dilengkapi loket pemeriksaan, kawasan steril, tempat peristirahatan dan perumahan dinas bagi petugas, harus disediakan. Selain itu, jalan lingkungan yang menghubungkan kawasan potensi (produksi) dengan lokasi PLB sudah terkoneksikan dengan baik. Pengembangan kawasan berhubungan dengan upaya memanfaatkan potensi ekonomi sesuai dengan keunggulan komperatifnya, hal ini merupakan langkah kedua, yaitu strategi pengembangan produk unggulan yang dapat dijadikan komoditas perdagangan kawasan perbatasan; Dari hasil pengembangan akan dapat diketahui klaster produk (product cluster) untuk setiap kawasan perbatasan. Pengklasteran ini sendiri merupakan pengelompokan geografis atas produk yang paling dominan di suatu kawasan, sesuai dengan daya dukung alamiahnya. Sebagaimana klaster industri 12) ; salah satu manfaat yang akan didapatkan dalam hal klaster produk ini adalah terjadinya spesialisasi produk, sehingga arah pembinaan dan kebijakan pengembangan produk menjadi lebih fokus. Spesialiasasi produk berdampak terhadap berkembangnya kegiatan sektor ekonomi penunjang lainnya. Bersamaan dengan langkah kedua tadi, dalam implementasi teknisnya harus disinkronkan dengan langkah ketiga; menyusun peta jaringan distribusi pemasaran produk, untuk memberikan kepastian terhadap penyerapan hasil produksi. Potensi pasar terbesar adalah dari kalangan industri, sehingga peta jaringan ditsribusi tadi sudah memperhitungkan industri yang berkembang di Malaysia. Identifikasi awal terhadap jarak dari wilayah penghasil produk menuju pasar potensi maupun penggunaan jalur pemasarannya akan memberikan pengaruh terhadap biaya akhir 13). Untuk menciptakan kemampuan bersaing dipasaran, dimana diperkirakan terjadinya homogeneously product dari pesaing (produsen lainnya di Malaysia), maka permasalahan harga patut menjadi perhatian. Potensi alamiah suatu wilayah produksi merupakan endowment factor yang tidak dapat mudah digeser, dan ini merupakan keunggulan komperatif apabila produk yang dihasilkan memiliki kualitas lebih baik dibandingkan produk sama dari kawasan lainnya (termasuk dari Negara lain). Dalam kaitan ini, beberapa produk hasil perkebunan Indonesia – Malaysia di kawasan perbatasan bersifat homogen, sehingga peningkatan daya saing untuk kepentingan ekspor tidak hanya menekankan aspek kualitas produk, namun harus mampu menekan biaya produksi menjadi relatif murah, akibat adanya ekstra biaya transportasi, karena mempertimbangkan faktor jarak antara wilayah produksi dengan wilayah potensi pasar, dalam hal di wilayah Malaysia. Langkah keempat adalah menyusun rencana aksi pengembangan produk; setelah diyakini sepenuhnya produk unggulan dan peta jaringan distribusi pemasaran (terutama pasaran ekspor). Langkah ini sudah memasuki tahapan pembudiyaan produk unggulan, Beberapa hambatan teknis dalam pengembangan produk unggulan di kawasan perbatasan sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, sudah dapat ditangani; khususnya pemanfaatan teknologi tepat guna dan kegiatan penyuluhan penanganan pasca produksi. Dalam rencana aksi sudah harus dipastikan kurun waktu antara masa tanam dan masa mulai dilakukannya produksi secara berkala. Produk unggulan yang merupakan tanaman perkebunan membutuhkan masa pembudiyaan relatif lebih lama dan biaya yang besar. Dalam konsepsi pengembangan PKSN terbuka peluang untuk dilakukannya kerjasama agrobisnis pada sektor perkebunan ini, dengan menggunakan “model kawasan kawasan agropolitan” 14) Model ini memungkinkan antar pihak yang bekerjasama (Indonesia – Malaysia) melakukan pembukaan lahan lintas Negara dalam mengembangkan usaha agrobisnis. Keurtungannya adalah pasaran atas hasil produksi sudah pasti serta banyak menyerap tenaga kerja lokal dari kawasan perbatasan kedua belah pihak. Langkah kelima, pengembangan kelembagaan; kelembagaan dimaksud adalah lembaga ekonomi pedesaan yang berkembang sejalan dengan tumbuhnya aktifitas ekonomi kawasan. Seperti telah diutarakan sebelumnya, pengembangan produk unggulan kawasan berdampak positif terhadap berkembangnya kegiatan sektor ekonomi lainnya (out of farm), seperti sektor jasa dan perdagangan. Jasa keuangan diperlukan sebagai mediasi terhadap pemenuhan kebutuhan permodalan yang selama ini sangat kurang dirasakan oleh penduduk kawasan perbatasan. Kegiatan produktif yang menjadi basis pembiayaan, yaitu eksplorasi dan ekspoitasi produk perkebunan; merupakan peluang penyaluran dana bagi pihak yang membutuhkan. Koperasi diharapkan menjadi lembaga pioneer untuk bertindak sebagai lembaga mediasi permodalan kawasan perbatasan. Pada tahapan selanjutnya, sejalan bertambahnya penyediaan fasilitas pelayanan dasar, terutama jalan dan pasokan tenaga listrik, akan membuka peluang masuknya lembaga perbankan. Menumbuhkan koperasi di kawasan perbatasan tidak hanya sebatas memberikan bantuan permodalan, namun lebih dari itu, yaitu merubah pola pikir (mind set) penduduk, yang semula beranggapan modal sebagai bantuan menjadi modal sebagai alat produktif. Tentunya upaya sosialiasi yang terprogram dan berkelanjutan oleh Instansi Pemerintah terkait diperlukan dalam hal ini.
4. Skala Waktu Prospektif Perdagangan Bebas – Kesimpulan
Akhir dari apa yang telah dibahas sebelumnya adalah pertanyaan terhadap skala waktu terhadap upaya percepatan implementasi perdagangan bebas lintas batas di kawasan perbatasan Kalimantan Timur (lihat Skema 1). Dari penjelasan diatas dalam jangka pendek upaya percepatan dimaksud dapat direaliasikan pada kawasan perbatasan laut, yang mencakup wilayah pesisir Kabupaten Nunukan. Skala waktu jangka pendek dalam istilah manajemen stratejik berkisar pada putaran waktu kurang dari 5 tahun. Hal yang paling prinsip berupa dukungan infrastruktur dari kelembagaan terkait sudah tersedia, hanya diperlukan pembenahan sistem dan SDM. Aturan hukum yang melandasinya- pun sudah tersedia serta munculnya keinginan yang sama dari pihak Malaysia (Sabah) merupakan faktor pendukung kearah tersebut. Sementara dalam jangka panjang, perwujudan perdagangan bebas dapat diimplementasikan pada kawasan perbatasaan darat di Kabupaten Nunukan (pedalaman), Kabupaten Malinau dan Kabupaten Kutai Barat, terutama pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai PKSN, sehingga disini ada kombinasi PLB – PKSN dalam strategi pengembangan kawasan perbatasan, yaitu menjadikannya sebagai kawasan perkotaan yang melaksanakan fungsi pemeriksaan lintas batas dan pintu gerbang internasional (identik dengan perdagangan) terhadap Negara tetangga. Langkah awalnya adalah adanya kesepakatan untuk segera membuka pos lintas batas, selanjutnya diikuti dengan kegiatan lain yang bersifat pengembangan produk unggulan yang dapat dijadikan sebagai komoditi perdagangan bebas lintas batas (lihat Skema 2). Tentunya, untuk skala waktu jangka panjang ini akan berkisar pada putaran waktu 5 s/d 10 tahun kedepan.
Skema 1
Tahapan Dalam Jangka Pendek Terhadap Upaya Meendorong Perdagangan Bebas Lintas Batas Antar Negara di Kawasan Perbatasan Laut/Pesisir
Dalam kisaran waktu tersebutlah pelbagai langkah teknis implementatif dilaksanakan sebagai cikal bakal persiapan perdagangan bebas lintas batas, sebagai berikut :
Skema 2
Tahapan Dalam Jangka Panjang Terhadap Upaya Mendorong Perdagangan Bebas Lintas Batas Antar Negara di Kawasan Perbatasan Darat
Diantara kedua kawasan perbatasan tersebut, selain berbeda waktu dalam merealisasikan perdagangan bebas lintas batas; terdapat pula perbedaan dalam hal cakupan perdagangannya. Untuk kawasan perbatasan laut dimungkinkan melakukan perdagangan bebas tidak hanya lintas batas, dengan Malaysia, namun terbuka untuk melakukan perdagangan bebas pada kawasan lainnya. Sementara, untuk kawasan perbatasan darat, sifatnya hanya perdagangan bebas lintas batas antara Kalimantan Timur – Malaysia (Sabah dan Serawak), sehingga pemahaman perdagangan bebas ini merupakan peningkatan dari ketentuan BTA. Keberhasilan dalam merealisasikan perdagangan bebas sangat ditentukan oleh konsistensi dalam mewujudkan langkah-langkah strategis, yang melibatkan semua pemangku kepentingan; Oleh karenanya, untuk keperluan memudahkan koordinasi antar Instansi dan mengukur pencapaian hasil kegiatan, perlu adanya road map yang dipersiapkan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Provinsi Kalimantan Timur.
P e n g a n t a r :
Makalah ini disajikan pada Lokarya kesiapan Koperasi & UMKM dalam melaksanakan Perdagangan Bebas di Kawasan Perbatasan, yang dilaksanakan di Nunukan pada tanggal 5 Desember 2012, oleh Dinas Peindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Provinsi Kalimantan TImur. Makalah ini merupakan pembanding terhadap penyajian makalah yang disampaikan Bupati Nunukan dan K/L Pemerintah Pusat, yang tujuan utamanya adalah mencari format perdagangan pada kawasan perbatasan antar negara, khususnya antara Kalimantan Timur dengan Malaysia (Sabah dan Serawak). Makalah yang disajikan ini pada kesempatan ini lebih menekankan pada format perdagangan lintas batas antar Negara, namun untuk mencapai format perdagangan tersebut beberapa pendekatan pragmatis harus dilakukan terlebih dahulu oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sebagaimana uraian disajikan berikut ini.
O l e h :
Diddy Rusdiansyah A.D, SE., MM
Kepala Bidang Pembinaan Ekonomi & Dunia Usaha Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman & Daerah Tertinggal Provinsi Kaltim
______________________________________________
1) Drs. Dumairy, MA. 1997. Perekonomian Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta; Penerbit Erlangga. Hal 10.
2) Joseph E. Stiglitz 2003. Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional. Editor Adi Susilo, SE, MM. Jakarta; PT. Ina Publikatama.
3) Tullus Tambunan. 2005. Implikasi dari Globalisasi/Perdagangan Bebas Dunia Terhadap Ekonomi Nasional (sebuah makalah). Disampaikan pada Seminar Penataan Ruang & Pengembangan Wilayah Departemen PU pada tanggal 1 Juli 2010. Hal 13. Diunduh tanggal 30 Desember 2010. http:/www. kadin.indonesia.or.id.
4) Ramli Dollah dan Ahmad Mosfi Mohammad. 2007. Perdagangan Tukar Barang Malaysia – Indonesia : Potensi dan Cabaran. Jati Vol 12. Desember 2007; menyebutkan bahwa format barter trade ini cukup menguntungkan bagi Malaysia, khususnya pada lingkup kegiatan perdagangan (ekspor – impor) antara Sabah dengan Indonesia – Brunai – Fhilipina. Barter trade ini merupakan tindaklanjut dari kesepakatan BIMP-EAGA.
5) Sesuai PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Negara (RTRWN), terdapat 26 PKSN di kawasan perbatasan darat di 4 Provinsi (Kalbar, Kaltim, NTT dan Papua).
6) Prof. DR. Ir. Ikhwanuddin Mawardi, M.Sc. 2010. Strategi Pengembangan Pusat Kegiatan Strategi Nasional di Kawasan Perbatasan Darat Sebagai Pintu Gerbang Aktifitas Ekonomi dan Perdagangan Dengan Negara Tetangga. Makalah yang disampaikan pada Seminar Menggagas Format Ideal Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan sebagai Halaman Depan NKRI. Jakarta. Tanggal 8 Desember 2010.
7) Direktorat Pengembangan KKT BAPPENAS. 2004. Kajian Strategi Pengembangan Kawasan Dalam rangka Mendukung Akselerasi Peningkatan Daya Saing Daerah – Studi Kasus Kelompok Rotan – Cirebon, Logam – Tegal, Batik – Pekalongan. Jakarta. Hal 9.
8) Direktorat Pengembangan KKT BAPPENAS. 2003. Strategi dan Model Pengembangan Wilayah Perbatasan Kalimantan. Cetakan Pertama. November 2003. Jakarta. Hal 41 – 42.
9) Studi yang dilakukan oleh Universitas Airlangga Surabaya menyatakan bahwa Sebatik layak dijadikan Kota, untuk mendukung percepatan pembangunan daerah. Secara administratif sudah didukung dengan keberadaan 5 Kecamatan.
10) Termaktub dalam Risalah Persidangan Sosek Malindo Nasional ke 29, tanggal 18 s/d 21 Oktober 2011 di Denpasar (Bali) ; dan Kertas Kerja Sosek Malindo Provinsi Kalimantan Timur – Peringkat Negeri Sabah pada Persidangan ke 16, tanggal 18 s/d 21 Juil 2011, di Makassar (Sulawesi Selatan).
11) Dalam Border Cross Agreement (BCA) tahun 2006, disepakati pembukan 10 lokasi PLB di sepajang perbatasan Kaltim dengan Serawak dan Sabah.
12) Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D. 2007. Ekonomika Industri Indonesia Menuju Negara Industri Baru 2030. Yogyakarta; CV. Andi Ooofset. Hal 163.
13) Prof. DR. Robinson Tarigan, M.R.P. 2009. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi. Cetakan Keempat. Juni 2007. Jakarta. Penerbit Bumi Aksara. Hal 96 – 101. Hubungan jarak antara lokasi produksi dengan potensi pasar dapat menggunakan pendekatan Lokasi Biaya Minimum (Weber) dari sisi produksi atau pendekatan Pasar (Losch) dari sisi pasar sasaran. Keduanya sama-sama memperhitungkan peran konsumen akhir terhadap pertimbangan biaya.
14) Direktorat Pengembangan KKT BAPPENAS. 2003. Loc cit. Hal 39 – 41.
Leave a Reply