A. Latar Belakang
Dalam sepekan ini Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal (BPKP2DT) Provinsi Kalimantan Timur, disibukan dengan 2 (dua) kegiatan; Pertama, menyelenggarakan rapat kerja terkait dengan usulan terhadap perubahan Border Crossing Agreement (BCA) di Samarinda, pada tanggal 2 April 2013; Dan kedua, menghadiri rapat kerja mengenai perdagangan lintas batas tradisional Indonesia – Malaysia dan Indonesia Philipina, yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), pada tanggal 3 April 2013 di Jakarta. Kegiatan disebutkan terakhir, terutama dalam kaitannya dengan perdagangan tradisional antara Indonesia – Malaysia dapat dikatakan masih dalam ranah Border Trade Agreement (BTA).
Kedua kesepakatan (agreement) ini; walaupun terdapat perbedaan ranah (domain) cakupannya, dimana BCA terkait dengan pengaturan pergerakkan lintas batas orang, sedangkan BTA ada hubungannya dengan pengaturan pergerakkan barang yang bersifat lintas batas antar Negara. Namun disisi lainnya terdapat persamaan dalam hal sama-sama sudah daluwarsa (out of date) – BCA terakhir yang telah disepakati (issued) antara Indonesia dan Malaysia adalah pada tanggal 12 Juni 2006 di Bukit Tinggi (Sumatera Barat), sehingga merujuk pasal (article) 14 ayat (2) BCA dimaksud; disebutkan bahwa 5 setelah ditetapkannya kesepakatan harus dilakukan peninjauan ulang (review). Berarti, pada tahun 2011 lalu BCA Tahun 2006 seharusnya sudah ditinjau ulang. Kenyataannya, sampai dengan tahun 2013 ini belum dihasilkan kesepakatan BCA yang baru – atau dengan kata lainnya sudah daluwarsa 2 tahun. Sementara BTA Indonesia – Malaysia lebih parah lagi, sejak disepakatinya pada tanggal 24 Agustus 1970 di Jakarta; sampai dengan saat ini belum pernah dilakukan peninjauan ulang, berarti sudah daluwarsa selama 43 tahun.
Walaupun BCA Tahun 2006 dan BTA Tahun 1970 sudah daluwarsa, akan tetapi masih tetap dijadikan rujukan oleh Indonesia – Malaysia; mungkin saja ini ada kaitannya dengan kesepahaman bahwa sebagai bangsa yang serumpun, semua masalah dapat dibicarakan secara informal, selama masalah tersebut tidak bersifat prinsip yang dapat mengganggu hubungan kedua Negara. Atau dapat dipersepsikan pula bahwa pada tataran implementasinya belum menunjukkan indikasi yang mendesak untuk dilakukan perubahan, semuanya masih berjalan dalam koridor yang dapat ditoleransi kedua belah pihak.
Tulisan ini, walaupun membicarakan tentang BCA, namun pokok pembahasan-nya lebih menekankan pada perdagangan lintas batas tradisional, yang selama ini sudah terjalin antara warga Negara Indonesia dan Malaysia yang berada di sekitar kawasan perbatasan, sebelum diberlakukannya BTA itu sendiri; disamping mengkaji beberapa aturan terkait dengan BTA Tahun 1970.
B. Hubungan BCA – BTA
Sebelumnya telah disebutkan bahwa BCA dan BTA ada keterkaitan erat, sehingga perubahan BCA memberikan pengaruh terhadap BTA, meskipun keduanya berbeda ranahnya (domain). Dalam ketentuan BCA, yaitu kesepakatan tentang exit/entry point (pos lintas batas; PLB), disebutkan pula cakupan area (access of area) yang ada pada setiap PLB. Cakupan area ini menjadi rujukan terhadap penetapan kawasan (area) yang berhak mendapatkan fasiltas perdagangan lintas batas antara Negara, yang diatur menurut ketentuan BTA. Dalam kawasan tersebut sudah terdefinisikan penduduk yang mendapatkan hak-hak melakukan perdagangan dengan nilai perdagangan sebesar RM 600/ orang/bulan, termasuk jenis barang yang dapat diperdagangkan.
Untuk menentukan penduduk yang terdefinisikan dimaksud menjadi ranah BCA, yaitu dibuktikan dengan kepemilikan pas lintas batas, sehingga dengan bukti tersebut penduduk bersangkutan dapat melakukan pergerakkan lintas batas antar Negara, termasuk melakukan kegiatan perdagangan – membawa barang, tanpa dibebani bea keluar/masuk (duty); dan harus diingat bahwa pembebasan bea tadi pada tahun 1970 masih relatif tinggi tarif-nya, sehingga sudah sewajarnya pemenuhan barang-barang kebutuhan pokok bagi penduduk yang berada dikawasan perbatasan kedua Negara dibebaskan dari pungutan bea keluar/masuk. Hal-hal seperti ini telah diatur dengan baik dalam ketentuan BTA Tahun 1970.
Dinamika perkembangan hubungan Indonesia – Malaysia, pada prinsipnya tidak terdapat indikasi yang menyebabkan perubahan BCA, kecuali pada posisi Indonesia; Perubahan dimaksud hanya sekedar perubahan PLB dan cakupan area-nya – sebagai implikasi adanya pemekaran Kecamatan di kawasan perbatasan yang didefinisikan menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
Demikian pula mengenai BTA Tahun 1970, indikasi perubahannya yang paling prinsip hanya berkisar pada penentuan nilai perdagangan (threshold value for border trade) dan penggunaan nilai mata uang (lihat Diddy Rusdiansyah, 2013); serta apakah perdagangan di kawasan perbatasan laut – dan juga pulau kecil terluar, yang memiliki pebatasan laut dengan Negara lain (selain Malaysia); masih relevan menggunakan aturan BTA, karena pihak Malaysia sendiri – dalam hubungan perdagangan lintas batas dengan Indonesia, khususnya dengan Kalimantan Timur bagian utara (disekitar Nunukan), dan dengan Philipina bagian selatan; menggunakan “barter trade” (lihat Ramli Dollah et al, 2007). Bentuk perdagangan ini (barter trade) merupakan kesepakatan BIMP-EAGA, tidak tunduk pada aturan BTA; Mengingat kesepakatan BIMP-EAGA mengakomodir bentuk perdagangan tradisional yang telah lama dilakukan disekitar kawasan Kalimantan Timur bagian utara – Sabah – Philipina bagian selatan.
C. Perdagangan Lintas Batas Tradisional
Perdagangan lintas batas tradisional tidak dapat disamakan dengan BTA, karena BTA hanya mengatur jenis barang tertentu yang umumnya merupakan barang-barang hasil bumi (ekstraktif) dari pihak Indonesia, dan dari pihak Malaysia berupa barang-barang kebutuhan pokok hasil olahan, termasuk jenis barang untuk keperluan industri yang dapat dikatakan industri skala kecil. Demikian pula nilai perdagangannya sudah ditetapkan sebesar RM 600/orang/bulan atau menggunakan perahu dengan bobot 20 M3, dengan nilai RM 600 setiap kali jalan.
Sementara perdagangan lintas batas tradisional, walaupun cakupan wilayah-nya sama dengan BTA, yaitu kawasan perbatasan antar Negara, namun tidak merujuk pada batasan nilai perdagangan seperti disebutkan diatas (menurut BTA), demikian pula jenis barangnya dapat saja tidak sesuai daftar barang yang disepakati kedua belah pihak; sebagaimana diatur dalam ketentuan BTA, misalnya kayu (logging) – pihak Indonesia tidak memberlakukan barang ini sebagai produk dagangan (barter), sebaliknya pihak Malaysia mencantumkannya sebagai barang yang dapat diperdagangkan (barter). Ini pada dasarnya identik dengan bentuk “perdagangan bebas lintas batas antara Negara” yang saling berbatasan. Bentuk perdagangan disebutkan terakhir ini berlaku menurut ketentuan konvensi perdagangan internasional, yaitu dikenakan tarif (bea keluar/masuk) dan aturan perdagangan lainnya yang berlaku di Negara bersangkutan, termasuk pengaturan jenis barang yang dapat diperdagangkan.
Namun tetap diperlukan adanya pembatasan kawasan, yaitu hanya mencakup kawasan perbatasan (dan pulau kecil terluar) yang sudah ditentukan masing-masing Negara – maksudnya adalah barang-barang yang diperdagangkan hanya dapat beredar dalam kawasan perbatasan/pulau terluar; keluar dari kawasan tersebut sudah dianggap sebagai barang illegal, sehingga aparat pemerintah terkait dapat melakukan tindakan hukum. Dengan demikian bentuk perdagangan yang diatur dalam BTA, dipadankan dengan bentuk perdagangan tradisional (yang oleh Malaysia dikatakan sebagai barter trade) terdapat adanya kesamaan prinsip, yaitu dibatasinya cakupan kawasan perdagangannya.
Dikaitkan dengan akan terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community; AEC) pada tahun 2015 mendatang (Kompas, Selasa, 5 Maret 2013); mobilitas orang dan barang menjadi bebas, dan yang lebih penting lagi adalah hambatan tarif dan non tarif diminimalkan, sehingga pertanyaan mendasarnya; Apakah masih relevan menggunakan bentuk perdagangan yang diatur dalam BTA.
D. Perluasan BTA – Sebagai Perdagangan Bebas Lintas Batas
Menjawab pertanyaan diatas – memberikan indikasi perlu adanya modifikasi terhadap BTA, yaitu mengkombinasikan aturan BTA dengan perdagangan lintas batas tradisional, karena kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa kegiatan perdagangan tradisional ini terus mengalami peningkatan, akan tetapi data pasti jumlah ekspor-impor tidak diketahui secara pasti; terbentur pada dasar hukumya yang belum jelas; disamping peluang terjadinya kegiatan perdagangan illegal, terutama di kawasan perbatasan laut, akibat banyaknya pintu keluar/masuk dan luasnya kawasan yang relatif sulit dipantau secara kontinyu oleh aparat pemerintah.
Dalam kerangka modifikasi ini, maka jenis barang yang telah ditetapkan dalam aturan BTA tetap digunakan sebagai rujukan barang yang dapat dibawa (hand carry) oleh penduduk pemegang pas lintas batas maupun paspor, yang melakukan pergerakkan lintas batas antar Negara – tidak dikenakan bea keluar/masuk (duty). Sedangkan barang-barang lainnya, selama tidak termasuk dalam daftar negatif (negative list) di masing-masing Negara, dapat dikategorikan sebagai barang dagangan bernilai komersial – mengadopsi perdagangan tradisional.
Sebagai barang dagangan yang bernilai komersial dapat saja ditempuh kebijakan; Pertama, membatasi jenis barang yang dapat diperdagangkan – walaupun merupakan sedikit perluasan cakupan barang yang sebelumnya tidak masuk dalam kategori jenis barang menurut ketentuan BTA. Kedua, tidak memberikan batasan jenis barang, karena pada akhirnya batasan tersebut akan berakhir dengan sendirinya, apabila AEC berlaku efektif tahun 2015.
Pada penyelenggaraan Lokakarya Perdagangan Bebas di Kawasan Perbatasan, yang dilaksanakan di Nunukan, tanggal 5 Desember 2012 – oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Provinsi Kalimantan TImur (lihat Diddy Rusdiansyah, 2013), salah satu hasil kesimpulannya adalah memandang perlu untuk dilakukannya kajian terhadap kemungkinan penerapan perdagangan bebas lintas batas antara Nunukan – Tawao. Bentuk perdagangan ini dapat dijadikan bentuk baru pola perdagangan pada kawasan perbatasan (darat dan laut) – seperti dikatakan sebelumnya, yaitu mengakomodir BTA dan perdagangan tradisional.
Pada skema 1 diatas dapat dilihat bahwa kawasan diberlakukannya perdagangan bebas lintas batas hanya pada kawasan perbatasan dan pulau terluar – perbatasan darat dan laut; Kawasan tersebut memiliki arti strategis dari aspek sistem pertahanan sebagaimana disebutkan dalam dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Sementara untuk pulau-pulau terluar (termasuk yang berbatasan laut dengan Negara lain) diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pulau-Pulau Kecil Terluar. Keseluruhan aturan tadi mengisyaratkan perlunya dilakukan pengelolaan kawasan yang menseimbangkan antara aspek kesejahteraan (properity) dan pertahanan/keamanan (security). Khususnya mengenai pulau kecil terluar ini; Mohammad Ikhwanuddin Mawardi (2009; 238), menyebutkan pulau-pulau ini memiliki potensi ekonomi untuk dikembangkan sebagai wilayah bisnis potensial yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya (resource based industry), seperti industri perikanan dan pariwisata.
Salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar (sebagaimana disebutkan Mohammad Ikhwanuddin Mawardi) adalah mengoptimalisasikan pemanfaatan potensi setempat melalui kegiatan ekonomi – perdagangan; dan ini tidak perlu dikhawatirkan, karena sudah ada pembatasan, yaitu :
a. Batasan cakupan kawasan diberlakukannya perdagangan, dimana rujukannya adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 dan BCA Indonesia – Malaysia.
b. Batasan jenis barang, terutama bawaan yang diprioritaskan untuk kebutuhan pokok penduduk kawasan perbatasan yang relatif lebih murah harganya, karena rantai distribusi yang lebih pendek.
c. Batasan pembebasan bea keluar/masuk hanya untuk jenis barang untuk kebutuhan pokok, dengan nilai (threshold value of border trade) yang sudah ditentukan.
d. Diberlakukannya bea keluar/masuk (duty) atas barang dagangan yang bernilai komersial, termasuk barang kebutuhan pokok yang sudah melebihi nilai yang ditentukan.
e. Penggunaan alat angkutan, khususnya di laut tidak dibatasi tonase-nya (gross tonnage) – namun harus terdaftar di kedua Negara yang berbatasan.
Keseluruhan pembatasan diatas sejalan dengan prinsip memprioritaskan penggunaan produksi dalam negeri – akibat kendala sistim logistik nasional dan mata rantai distribusi yang cukup panjang hingga ke kawasan perbatasan/pulau terluar, menyebabkan harga yang harus dibayarkan penduduk setempat menjadi lebih mahal, dibandingkan harga barang yang sama dari Negara lain yang berbatasan langsung. Dari sudut pandang ekonomi, sangat wajar bagi penduduk perbatasan untuk melakukan kegiatan perdagangan secara langsung, guna mendapatkan harga lebih murah – sepadan dengan tingkat penghasilannya, yang sebagian besar tergerus dengan beban hidup yang cukup tinggi – Peran Pemerintah (“Negara”) adalah melakukan “regulasi” agar tuntutan ekonomi yang berkembang dikawasan perbatasan tidak mengarah pada tindakan illegal; dan kenyataan dilapangan seringkali membuktikan masalah ini.
Regulasi dimaksud sifatnya adalah memformalkan realitas yang terjadi dilapangan, dimana rencana peninjauan ulang BTA Tahun 1970 menjadi momentum untuk dapat mensepakati bentuk perdagangan yang sudah mengantisipasi berlakunya AEC – perdagangan bebas kawasan ASEAN. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat bersama dengan Uni Eropa sudah menjajaki pembentukan kawasan perdagangan bebas transatlantik (trans pasific partnership; TPP); untuk keperluan tersebut akan segera dilakukan langkah kerjasama bilateral, dalam rangka menjajaki kemungkinan menghilangkan tarif dalam perdagangan barang, menghapus atau mengurangi hambatan dalam perdagangan barang, jasa dan investasi, mengharmonisasikan aturan dan standar dalam perdagangan serta investasi (Kompas, Jum’at, 5 Pebruari 2013). Demikian pula, Negara Jepang berminat untuk bergabung dalam TPP ini, karena langkah liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas diprediksikan akan mampu menggerakkan perekonomian Jepang (Kompas, Sabtu, 9 Maret 2013). Langkah yang dilakukan Negara-negara maju tersebut tidak bedanya dengan kerjasama ekonomi – perdagangan diinternal ASEAN – AFTA (Asean Free Trade Area), dimana komoditi tertentu beban tarifnya dijadikan nol persen. Hasil studi Feridhanusetyawan dan Pangestu pada tahun 2002 (dalam Prof. DR. Tulus T.H Tambunan, 2011; 341); menjelaskan adanya manfaat peningkatan kesejahteraan dalam lingkungan Negara-negara ASEAN.
Gambaran diatas – sedikit mengilustrasikan bahwa kekhawatiran untuk menerapkan perdagangan bebas lintas batas; tidak perlu ada, selama regulasinya dapat diatur dengan baik, dengan beberapa implikasi dijelaskan berikut ini.
E. Implikasi Perdagangan Bebas Lintas Batas
Perdagangan bebas lintas batas antar Negara; walaupun dalam skala kecil tetap membutuhkan fasilitas pendukung berupa exit/entry point (pos lintas batas; PLB) – untuk menampung pergerakkan orang dan barang dalam satu pintu yang dapat dipantau. Idealnya PLB tersebut memiliki fasilitas CIQS dan untuk melancarkan kegiatan perdagangan ada kawasan yang ditetapkan sebagai zona perdagangan (trade zone), di darat maupun laut. Melalui forum KK/JKK Sosek Malindo Provinsi Kalimantan Timur – Peringkat Negeri Sabah sudah pernah ada kesepakatan untuk membentuk Free Trade Zone (FTZ) di Nunukan dan Tawau. Namun sampai dengan saat ini belum ada realisasi, akibat dari belum siapnya infrastruktur dikedua belah pihak.
Pembentukan FTZ di Nunukan (ataupun Sebatik) sudah sejalan dengan model pengembangan kawasan di perbatasan laut/pesisir, yaitu Model Kawasan Perbatasan Laut (Bappenas, 2003). Salah satu fasilitas yang harus disediakan berdasarkan model ini adalah kawasan berikat (bounded area), atau disebut pula sebagai FTZ. Menurut Syarip Hidayat et al (2010; 27); dikatakan bahwa secara umum FTZ (dapat diidentikan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus) memberikan perlakukan khusus dibidang kapabeanan, perpajakan, perizinan, keimigrasian dan ketenagakerjaan.
Ramli Dollah et al (2007), menyebutkan bahwa kelancaran pelaksanaan barter trade didukung oleh penyediaan fasilitas pergudangan (werehousing) sebagai transshipment barang yang akan diekspor/diimpor – demi kemudahan dalam menarik bea keluar/masuk barang (duty) melalui perusahaan (syarikat) yang ditunjuk oleh Kastam Diraja Malaysia. Pelabuhan barter trade, seperti di Sandakan. Tawau dan Lahad Datu merupakan miniatur dari FTZ skala besar yang ada di Labuan. Kedepannya, direncanakan untuk menjadikan Sebatik sebagai kawasan yang akan menerapkan barter trade (FTZ).
Untuk mengimbangi perolehan atas manfaat barter trade ini (dalam istilah Indonesia – identik dengan perdagangan tradisional antar Negara), seharusnya ada pelabuhan untuk transshipment dari Nunukan/Sebatik menuju Tawau atau sebaliknya – kendala yang dihadapi adalah Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 83/M-DAG/PER/12/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu, khususnya pasal 6 ayat (1) yang hanya menetapkan beberapa pelabuhan, termasuk Pelabuhan Tarakan untuk impor produk tertentu, dimana pada ayat (2); produk tertentu dimaksud adalah makanan dan minuman.
Merujuk aturan Kementrian Perdagangan ini, jelas mengindikasikan pembatasan terhadap jenis barang – hanya makanan dan minimum, sedangkan dalam aturan BTA masih ada toleransi impor barang-barang untuk keperluan industri, demikian pula dalam perdagangan tradisional, jenis barang yang diperdagangkan lebih dari itu (makanan dan minuman). Sementara pasal 7 Peraturan yang sama tidak menyebutkan kawasan perbatasan/pulau terluar sebagai kawasan yang mendapatkan perlakuan khusus.
Permasalahan inilah yang perlu mendapatkan perhatian utama sebelum membicarakan lebih lanjut mengenai bentuk perdagangan bebas lintas batas – ini merupakan tugas BNPP untuk mencari solusi yang terbaik, yang jelas perdagangan bebas lintas batas masih ada batasan, terutama cakupannya hanya pada kawasan perbatasan/pulau terluar. Perlu diantisipasi perkembangan yang ada, agar tidak mengarah pada tindakan illegal, sehingga menghilangkan manfaat yang seharusnya dapat diterima; Memformalkan tindakan illegal dengan regulasi yang dapat dibenarkan menurut ketentuan berlaku adalah lebih baik, dibandingkan membiarkan tindakan illegal terus berlangsung – karena sesuatu yang illegal pasti ada pihak lain yang menjadikannya sebagai keuntungan pribadi.
F. Langkah Tindaklanjut – Simpulan
Kawasan perbatasan dihadapkan pada banyak kendala dalam upaya pengembangannya; Namun, disisi lainnya mengandung banyak potensi ekonomi yang dapat dikembangkan melalui kegiatan perdagangan, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk. Bentuk perdagangan BTA memberikan pembatasan; dan dalam kasus tertentu, seperti kegiatan perdagangan Nunukan – Tawau; Sangihe – General Santos; Riau – Malaka; dan Kepulauan Riau – Johor Bahru; Perkembangan perdagangan tradisional (atau menurut Malaysia diistilahkan sebagai barter trade) telah berkembang cukup pesat, baik nilai perdagangannya maupun jenis barang yang diperdagangkan.
Bentuk perdagangan bebas lintas batas dapat menjadi solusi, yaitu mengkombinasikan BTA dan perdagangan tradisional – hanya saja dasar regulasinya perlu ada kesepakatan, peninjauan ulang terhadap BTA tahun 1970 dapat menjadi momentum untuk mengkaji format perdagangan bebas lintas batas ini. Kita perlu menghindari agar tidak terjadi dualisme bentuk perdagangan dikawasan perbatasan/pulau terluar.
O l e h :
Diddy Rusdiansyah AD, SE., MM
Kepala Bidang Pembinaan Ekonomi & Dunia Usaha Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman & Daerah Tertinggal
Referensi Pendukung
Buku Teks/Makalah/Handout
1) Bappenas. 2003. Strategi dan Model Pengembangan Wilayah Perbatasan Kalimantan. Cetakan Pertama. November 2003. Diterbitkan Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal – Deputi Bidang Otda dan Pengembangan Regional. Jakarta.
2) Dollah, Ramli dan Ahmad Mosfi Mohammad. 2007. Perdagangan Tukar Barang Malaysia – Indonesia : Potensi dan Cabaran (sebuah makalah). Jati Vol 12. Desember 2007.
3) Hidayat, Syarip dan Agus Syarip Hidayat. 2010. Quo Vadis Kawasan Ekonomi Khusus. Cetakan ke-I, Agustus 2010. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
4) Mawardi, Mohammad Ikhwanuddin. 2009. Membangun Daerah yang Berkemajuan, Berkeadilan, dan Berkelanjutan. Cetakan Pertama. November 2009. Penerbit IPB Press. Bogor.
5) Rusdiansyah. Diddy, SE, MM. 2013. Prospek Perdagangan Bebas Lintas Batas Di Kawasan Perbatasan Kalimantan Timur – Malaysia; Saat ini dan Kedepannya Berdasarkan Pendekatan Pragmatis (makalah). http://diddyrusdiansyah.blogspot.com/.
6) Rusdiansyah. Diddy, SE, MM. 2013. Perdagangan Lintas Batas Di Kawasan Perbatasan Indonesia – Malaysia; Sebuah Kajian Terhadap Implementasi Border Trade Agreement (BTA) Tahun 1970 Di Kalimantan Timur (makalah). http://diddyrusdiansyah.blogspot.com/.
7) Tambunan, Prof. DR. Tulus T.H. 2011. Perekonomian Indonesia Kajian Teoritis dan Analisis Emperis. Juli 2011. Penerbit Ghalia Indonesia. Bogor.
Aturan/Ketentuan Hukum
8) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
9) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
10)Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
11)Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pulau-Pulau Kecil Terluar.
12)Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 83/M-DAG/PER/12/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.
13)Agreement on Border Trade Between the Government of the Republic Indonesia and the Government of the Malaysia, 24 Agustus 1970.
14) Agreement Between the Government of the Republic Indonesia and the Government of the Malaysia on Border Crossing, 12 Juni 2006.
Majalah/Harian Umum
15)Kompas, Harian Umum. Rubrik Ekonomi, terbit Jum’at, 5 Pebruari 2013.
16)Kompas, Harian Umum. Rubrik Ekonomi, terbit Selasa, 5 Maret 2013.
17)Kompas, Harian Umum. Rubrik Utama, terbit Sabtu, 9 Maret 2013.
Leave a Reply