Press ESC to close

NETRALITAS PEGAWAI MENJELANG PILKADA 2024

Koran Kaltim Post tanggal 3 Mei 2024 lalu memberitakan potensi ASN di Kaltim tidak netral masih tinggi, bahkan judul pemberitaannya cukup membuat kita terkesima, yaitu ”Tim Sukses Gentayangan, Takut Hilang Jabatan”. Kita bersama mencoba sedikit mengulas kenapa hal ini bisa terjadi dan cenderung berulang pada setiap momen Pilkada. Sementara Pemerintah selalu mengingatkan para ASN untuk netral, seperti terbitnya Keputusan Bersama Menteri PANRB, Menteri Dalam Negeri, Kepala BKN, Ketua Komisi ASN dan Ketua Bawaslu; No. 2 Tahun 2022; No. 800-5474 Tahun 2022; No. 30 Tahun 2022; dan No. 1447.1/PM.01/K.1/09/2022, tanggal 22 September 2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai ASN Dalam Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan (“Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada”)

Keputusan Bersama diatas cukup tegas mengatur bentuk pelanggaran dan dasar hukum pengenaannya, serta penetapan sanksi mulai sanksi moral yang dilakukan secara tertutup/terbuka maupun sanksi tindakan disiplin, mulai dari tingkatan ringan, sedang hingga berat. Namun faktanya masih tetap saja terjadi dan mengapa bisa demiikian. Ada 2 skenario jawaban; Pertama, dilakukan secara sukarela atas nama perorangan tanpa melibatkan Instansi Induk-nya, dan karena adanya kesamaan kepentingan maka kelompok ASN tersebut bergabung dengan pihak-pihak lainnya dari kalangan Parpol pengusung maupun dari kalangan swasta, sehingga terbentuk Tim yang selama ini sikenal sebagai Tim Sukses (Timses).

Para ASN yang terlibat tanpa terstruktur, yaitu bisa dari kalangan pejabat pimpinan tinggi (PPT) daerah, pejabat administrator, pejabat pengawas hingga pelaksana administrasi/fungsional. Umumnya, apa yang ditengarai oleh Kaltim Post, yaitu takut kehilangan jabatan adalah salah satu alasan yang dapat dibenarkan; Atau berupaya untuk mendapatkan jabatan lebih tinggi melalui jalan pintas, tanpa ada keberanian untuk berkompetisi untuk mendapatkan jabatan berdasarkan kompetensi yang benar terutama kompetensi manajerial.

Kedua, dilakukan secara terstruktur dengan menjadikan ASN sebagai mesin politik dari jalur birokrasi. Hal  ini biasanya dapat dilakukan apabila Kepala Daerah (KDH) maju kembali dalam kontestasi Pilkada sebagai petahana, dengan melibatkan para PPT daerah bersangkutan. Pendekatan persuasip yang dilakukan adalah mempengaruhi penentuan pilihan pasangan calon KDH (“petahana”) melalui penyampaian informasi keberhasilan yang telah dicapai pasangan calon KDH tersebut.

Dalam banyak kasus, cara kedua ini  sudah dilakukan secara terstruktur 2 – 3  tahun sebelum dilakukannya Pilkada itu sendiri melalui pelaksanaan program pembangunan daerah, yaitu menselaraskan program pembangunan berdasarkan Renstra dengan program/kegiatan yang faktanya dibutuhkan masyarakat sebagai janji politik; Dan/atau menetapkan kebijakan yang dapat menimbulkan ketertarikan masyarakat. Ini merupakan modal politik yang dibentuk sejak dini, tanpa menimbulkan gesekan.

Para KDH yang melakukan cara diatas tidak dapat disalahkan, karena memang tidak ada penyalahgunaan wewenang mandatori. Biasanya, cara yang ditempuh adalah menetapkan pejabat pada perangkat daerah tertentu yang menjadi kepercayaannya, khususnya perangkat daerah yang program/kegiatan-nya relevan dengan pencapaian visi/misi, serta akumulasi program/kegiatan pada perangkat daerah bersangkutan menyerap pendanaan cukup besar.  Permasalahanya, banyak ASN yang telah memenuhi syarat sebagai PPT Pratama berkeinginan menempati posisi  pada perangkat daerah favorit tersebut, sehingga apabila proses perekrutannya dilakukan secara terbuka (open bidding) atau job fit tanpa rekayasa, maka hal ini sudah merupakan langkah yang benar.

Namun, apabila ke-2 proses perekrutan tadi direkayasa (“dikondisikan”) dari awal maka dapat dipastikan akan mendapatkan pejabat yang tidak kompeten. Para Timses berharap seperti ini proses perekrutannya, karena sadar lemah dalam kompetensi. Oleh karenanya, tidak mengherankan gerbong mutasi selalu bergerak, akibat ketidakpuasan KDH terhadap kinerja PPT bersangkutan. Dalam kasus terjadinya pecah perahu, yaitu KDH dan Wakil KDH tidak Bersatu lagi maka berimplikasi akan ada 2 kubu Timses dari kalangan ASN terutama bagi yang nekat. Pengalaman membuktikan bahwa dalam kondisi demikian sikap ASN mayoritas menjadi safety player, sikap tidak memihak atau menciptakan kesan kiri-kanan okey, yaitu sedikit bersandiwara yang penting aman.

Para ASN yang terdiri dari PNS dan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK), ditambah para tenaga honor (kontrak) jumlahnya cukup besar sebagai pencipta pundi-pundi suara, sehingga  tidak mengherankan mereka dijadikan mesin politik dari jalur birokrasi, dan ada pula ASN sebagai petualang politik tanpa Parpol. (//drs. Samarinda 22/05/2024)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *