Total Pembaca : 125
Dalam konteks hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia, telah banyak perjanjian / kesepakatan kerjasama yang dihasilkan; diantaranya perjanjian mengenai wilayah antar negara, seperti Border Cross Agreement (BCA). Perjanjian terakhir yang telah disepakati adalah Agreement Between the Government of the Republic Indonesia and the Government of Malaysia on Border Crossing, pada tanggal 12 Januari 2006 di Bukit Tinggi (Sumatera Barat – Indonesia); Dan sampai dengan saat ini perjanjian tersebut belum diratifikasi. Disamping itu, memasuki tahun 2012 ini berarti telah memasuki tahun ke-7 implementasinya.
Malinau
Dalam perjanjian BCA Tahun 2006 diatur beberapa ketentuan prinsip, terutama menyangkut aturan penerbitan pass lintas batas, entry/exit point (diterjemahkan pos lintas batas; PLB) dan cakupan border area yang diberlakukan bagi pemegang pass lintas batas. Seluruh ketentuan yang telah disepakati dalam BCA ini hanya berlaku selama 5 (lima) tahun, sesuai dengan pasal (article) XIV ayat (2), sehingga pada tahun 2012 lalu seharusnya sudah dilakukan peninjauan ulang beberapa aturan yang tidak relevan lagi. Aruran BCA Tahun 2006 bersifat normatif dan masih relevan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun kedepan berikutnya. Namun mengingat Kalimantan Timur memiliki wilayah perbatasan dengan Negeri Serawak dan Sabah (Malaysia) sepanjang 1.038 km; melewati 3 (tiga) Kabupaten, yaitu Nunukan, Malinau dan Kutai Barat serta 19 Kecamatan (setelah dimekarkannya Kecamatan di Kabupaten Nunukan), yang mencakup luas wilayah ± 47.930,85 km2 atau 24,15 % dari luas daratan Kalimantan Timur (± 198.441,17 km2). Ini berarti, Kalimantan Timur sangat berkepentingan terhadap keberadaan PLB dimaksud, tidak hanya untuk kepentingan menjaga kedaulatan wilayah NKRI (security), namun berkepentingan pula menciptakan kesejahteraan (prosperity) penduduk, melalui kegiatan formal pembukaan hubungan penduduk antar negara yang saling berbatasan.
A. Hubungan BCA dengan Border Trade Agreement
Ketentuan pasal 1 huruf c BCA Tahun 2006 disebutkan bahwa entry/exit point (PLB) adalah suatu lokasi masuk/keluar lintas batas antar negara yang telah disetujui kedua belah pihak; dan ini tidak diartikan semata-mata hanya sebagai penentuan lokasi PLB, namun akan terkait pula dengan cakupan wilayah lintas batas (area of access) yang masuk dalam ranah perdagangan lintas batas. Artinya, keberadaan BCA akan terkait dengan keberadaan Border Trade Agreement (BTA), dimana BTA yang terakhir adalah BTA Tahun 1970. Ranah BTA mengatur masalah prinsip terkait dengan pemberlakuan nilai perdagangan lintas batas, barang yang dapat diperdagangkan kedua belah pihak dan cakupan area perdagangan lintas batas, termasuk penduduk yang berhak mendapatkan fasilitas perdagangan lintas batas dari kedua belah pihak. Walaupun, dalam kaitan ini ranah BCA hanya sebatas mengklarifikasi cakupan area perdagangan, yang tidak lain adalah area of access lintas batas; Akan tetapi hal ini merupakan dasar yuridiksi berlakunya ketentuan BTA diihat dari cakupan wilayahnya (area of BTA). Entry/exit point (PLB) yang telah dibuka secara resmi, disatu sisi memberikan keuntungan tersendiri, yaitu lebih memformalkan pergerakan lintas batas antar penduduk kedua Negara; Hal sebaliknya adalah pemberlakuan hubungan dagang tidak dapat lagi bertumpu pada aturan BTA, khususnya penetapan nilai perdagangan lintas batas saat ini masih diberlakukan RM 600/orang/bulan; atau melalui laut dengan nilai yang sama untuk setiap perahu (tonase tidak lebih dari 20 m3) per setiap kali perjalanan. Selama kondisi keterbatasan akses transportasi dari dan menuju wilayah perbatasan masih merupakan kendala utama pembukaan isolasi wilayah perbatasan di Kalimantan Timur, maka ketergantungan relatif penduduk setempat terhadap pemenuhan kebutuhan barang olahan dari wilayah perbatasan Malaysia masih tetap tinggi.
B. PLB Dalam Perencanaan Wilayah Perbatasan
Dalam strategi perencanaan pembangunan wilayah perbatasan, keberadaan PLB erat kaitannya dengan keberadaan Pusat Kegiatan Strategi Nasional (PKSN) dari sudut pandang pertahanan dan keamanan, terutama terkait dengan nilai strategis dalam menjaga integritas wilayah NKRI. Merujuk ketentuan PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW; Penetapan PKSN diarahkan sebagai Pusat Kota Kawasan Perbatasan berdasarkan kriteria berikut ini :
1) Pusat perkotaan yang berpotensi sebagai pos pemeriksaan lintas batas pergerakan orang dan barang antar negara ;
2) Pusat perkotaan yang berfungsi sebagai pintu gerbang internasional yang menghubungkan antar negara tetangga, dengan tujuan utamanya adalah mendorong kegiatan perdagangan yang saling menguntungkan ;
3) Pusat Perkotaan yang merupakan simpul utama transportasi; menghubungkan (koneksitas) wilayah sekitarnya; dan/atau
4) Pusat perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi, untuk mendorong perkembangan kawasan lain disekitarnya ;
Menurut Prof. DR. Ikhwanuddin Mawardi, MSc dijadikannya PKSN sebagai pusat perkotaan; diharapkan dapat mendorong pengembangan kawasan perbatasan Negara 1). Sebelumnya aktifitas pembangunan fisik, ekonomi dan sosial budaya di wilayah perbatasan kurang mendapatkan perhatian intens dari pemerintah, sehingga secara prinsip berakibat terhadap rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk setempat. Saat ini; sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, perkembangan perdagangan bebas dan dampak globalisasi ekonomi serta perubahan paradigma yang menonjolkan keseimbangan aspek security dan prosperity, menyebabkan perhatian lebih intens terhadap upaya percepatan pelaksanaan aktifitas pembangunan wilayah perbatasan, guna mengeliminir timbulnya kondisi kerawanan dalam pelbagai dimensi, terutama terkait dengan kerawanan IPOLEKSOSBUD maupun HANKAM. Gejala kearah ini diindikasikan oleh munculnya kegiatan yang bersifat “illegal”, seperti pembalakan hutan (illegal logging), penyeludupan (illegal trading), perdagangan manusia, khususnya TKI illegal (human trafficking), arus migrasi illegal serta aneksasi wilayah untuk kepentingan pemanfaatan potensi SDA, dengan cara menggeser patok-patok pembatas wilayah antar Negara. Konsep dasar pengembangan PKSN adalah melaksanakan aktifitas sektoral dan spasial pembangunan yang terintegrasi, dengan melibatkan pelbagai pemangku-kepentingan, baik dari tingkat pusat hingga daerah; diarahkan untuk mampu menciptakan pusat-pusat pelayanan, jaringan infrastruktur terutama jalan dan pengaturan pemanfaatan ruang, melalui 3 (tiga) pendekatan. Pendekatan pertama; pendekatan kesejahteraan, upaya yang dilakukan mengarah pada pengembangan kegiatan ekonomi dan perdagangan berbasis pemanfaatan potensi (“komoditi unggulan”) lokal, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Kegiatan yang menonjol untuk mendukung pencapaiannya adalah: (a) mengembangkan satuan-satuan pemukiman berbasis potensi lokal, dengan melengkapi pelbagai fasilitas pelayanan, terutama pelayanan dasar; (b) pengembangan usaha perkebunan (agroindustri); (c) peningkatan akses transportasi, berupa jaringan jalan (primer) skala regional, yang dapat menghubungkan arus transportasi antar wilayah; dan skala lokal berupa jaringan jalan (sekunder) dalam wilayah bersangkutan. Dalam konteks ini, pengembangan transportasi udara, berupa pembangunan bandara perintis dengan kelengkapan fasilitas penunjangnya tetap diperlukan, untuk keperluan percepatan mobilitas angkutan orang dan barang. Pengembangan jaringan transportasi tersebut selaras dengan pengembangan moda angkutan yang terkoneksikan dengan baik; (d) pengembangan SDM lokal, untuk keperluan penyiapan tenaga kerja maupun menumbuhkan tenaga kewirausahaan (entrepreneur); dan (e) kumulatif dari seluruh kegiatan tadi akan bermuara pada pengembangan kegiatan perdagangan lintas batas (border trade). Kedua, pendekatan keamanan; menjadikan kawasan perbatasan sebagai wilayah strategis bagi kepentingan menjaga pertahanan dan keamanan Negara, sehingga dalam rangka mendukung pengembangan ekonomi dan perdagangan kawasan, maka pembangunan PLB dengan segala kelengkapannya merupakan suatu keharusan, disinergikan dengan strategi pengembangan pengamanan perbatasan (Pamtas) TNI. Terakhir, pendekatan lingkungan; menekankan arti pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, sehingga pembangunan dan pengembangan potensi ekonomi berbasis SDA lokal di kawasan perbatasan, harus memberikan dampak minimal terhadap keberlanjutan daya dukungan lingkungan setempat. Dari ketiga pendekatan tadi, khususnya pendekatan pertama dan kedua dapat dirunut bahwa menjadikan kawasan perbatasan sebagai PKSN ada relevansinya dengan pembangunan PLB dan pengamanan perbatasan TNI. Keberadaan PLB tidak hanya sebagai pos pemeriksaan lintas batas saja, namun berperan pula sebagai pintu gerbang Negara. Selanjutnya keberadaan PKSN dijadikan rujukan dalam penetapan Lokasi Prioritas (Lokpri) oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) 2). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya; penetapan PKSN dalam suatu kawasan diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kawasan lain disekitarnya, mengingat dengan pilihan model pengembangan kawasan yang relevan 3), PKSN dijadikan kawasan aktifitas ekonomi utama melalui penyiapan infrastruktur fisik pendukungnya dan fasilitas pelayanan yang sudah direncanakan tata ruangnya; kawasan sekitarnya sebagai hinterland, yang merupakan pengembangan aktifitas ekonomi lanjutan dan saling terkait, baik secara horizontal maupun vertikal. Sementara Lokpri lebih menekankan pada pemerataan pembangunan Kecamatan di wilayah perbatasan, dengan mendorong setiap Instansi Pmerintah, baik tingkat Pusat maupun Daerah (Kabupaten/Kota) terkait; untuk mengalokasi pembiayaan pada sektor-sektor pembangunan yang relevan di Kecamatan bersangkutan sebagai basis Lokpri. Strategi yang ditempuh berupa penetapan tahapan Lokpri pada setiap Kabupaten sebagai Wilayah Konsentrasi Pembangunan (WKP). Pada setiap tahapan tadi, setiap Lokpri (“Kecamatan”) akan mendapatkan prioritas pembiayaan pembangunan.
Tabel 1
Pusat Kegiatan Strategi Nasional (PKSN) & Lokasi Prioritas (Lokpri) di Wilayah Perbatasan Provinsi Kalimantan Timur yang Menjadi Fokus Penanganan Tahun 2012-2014
Sumber :
1) RPJM Nasional 2010 – 2014, publikasi BAPPENAS.
2) Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara & Kawasan Perbatasan, publikasi BNPP.
Keberadaan PLB dalam kawasan PKSN terutama dalam fungsi PKSN sebagai pusat pertumbuhan diharapkan dapat lebih mendorong percepatan pertumbuhan kawasan, dengan alasan mendasarnya; Pertama, akan membuka perluasan peluang pasar timbal balik (reciprocal) antar Negara. Dalam konteks ini, pihak Indonesia berpeluang untuk memasarkan hasil pertanian; Kedua, kerjasama pengembangan kawasan yang saling menguntungkan penduduk antar negara, khususnya pengembangan kawasan agropolitan 4). Adapun posisi PKSN di Provinsi Kalimantan Timur ada di 5 (lima) lokasi; (1) Kabupaten Nunukan ada di Nunukan, Sei Manggaris dan Long Midang; (2) Kabupaten Malinau ada di Long Nawang; dan (3) Kabupaten Kutai Barat di Long Pahangai. Khususnya PKSN di Long Pahangai saja yang tidak memiliki PLB, namun dilihat dari strategi pengembangan kawasan, pilihan terhadap Long Pahangai sebagai PKSN lebih tepat, karena akses transportasinya ke Long Bagun lebih dekat. Apalagi dikaitkan dengan rencana pembentukan Kabupaten Mahakam Hulu, dengan ibukotanya ada di Long Bagun. Dampak positif dari keterbukaan akses inilah diharapkan lebih mempercepat pengembangan kawasan Long Pahangai, yang selanjutnya dapat memberikan dampak multipiler pada pengembangan kawasan Long Apari, dengan menerapkan model pengembangan kawasan pusat pertumbuhan. 5)
C. Posisi PLB di Kalimantan Timur
Pos lintas batas yang telah disepakati dalam BCA Tahun 2006, khususnya di Provinsi Kalimantan Timur ada pada 10 lokasi PLB di 3 (tiga) Kabupaten, namun apabila dirinci lebih lanjut terhadap PLB dari sisi Malaysia, maka jumlah PLB antara Indonesia (Kalimantan Timur) dengan Malaysia (Serawak dan Sabah) ada pada 13 lokasi. Kondisi ini terjadi; sebagai akibat adanya satu lokasi (wilayah) di Indonesia ataupun di Malaysia, terdapat lebih dari satu lokasi PLB yang telah disepakati bersama. Sebagai contoh, di Long Nawang (Kecamatan Kayan Hulu), terdapat PLB pada lokasi di Long Nawang – Long Busang (Serawak) dan di Long Nawang – Long Singut (Serawak). Atau posisi PLB di Pegatungan (Sabah), terdapat 3 posisi PLB di pihak Indonesia (Kabupaten Nunukan dan Kutai Barat), yaitu di; (1) Labang (Kecamatan Tullin Onsoi) – Pegatungan; (2) Tau Lumbis (Kecamatan Tullin Onsoi) – Pegatungan; dan (3) Lasan Tuyan (Kecamatan Long Apari) – Pegatungan. Kondisi seperti ini terjadi sebagai implikasi dari luasnya bentang wilayah (area of acces) yang tercakup dalam setiap lokasi PLB yang telah disepakati bersama, sehingga tidak memungkinkan hanya membuka 1 lokasi PLB, sementara penduduk Kecamatan perbatasan Kalimantan Timur tersebar dalam beberapa Desa, dengan tingkat kepadatan penduduk relatif tipis. Fakta inilah, dalam perkembangan selanjutnya muncul keinginan penduduk setempat untuk membuka lokasi PLB baru, guna mempersingkat waktu tempuh menuju wilayah perbatasan Negara tetangga maupun kemudahan akses. Adapun ke-13 lokasi PLB dimaksud; dipilah berdasarkan lokasi PLB di Malaysia, yaitu Serawak dan Sabah, maka :
1) berbatasan dengan Negara Bagian Serawak, berjumlah 5 lokasi ;
2) berbatasan dengan Negara Bagian Sabah 6 lokasi; dan
3) selebihnya, terdapat 1 lokasi di pihak Indonesia (Nunukan) yang bersinggungan dengan Malaysia (Serawak dan Sabah) di 2 lokasi, yaitu di Long Midang (Kecamatan Krayan); pada lokasi di Long Midang – Ba’kelalan (Sabah) dan di Long Midang – Long Pasia (Serawak) ;
Ke-13 lokasi tersebut sudah termasuk 5 PLB yang keberadaannya terkait dengan PKSN. Dalam BCA Tahun 2006 ke-13 lokasi yang merupakan PLB dimaksud dapat dilihat pada Tabel 2. Permasalahannya; Pertama, hanya ada 2 (dua) PLB yang berjalan efektif, yaitu di Pos Pengawasan Lintas Batas Laut (PPLB) di Nunukan – Tawao (“masih dalam proses menjadi PPLB”) dan Pos Lintas Batas (PLB) Laut di Sei Pancang – Tawao, sedangkan rencana pembukaan PLB lainnya belum dapat direalisasikan; atau dengan kata lainnya masih merupakan PLB tradisional, kecuali PLB Darat di Long Midang – Ba’Kelalan yang saat ini sudah ada kesepakatan untuk segera menentukan zero point, sebelum dilakukan pembukaan PLB. Pada saat ini, di Long Midang sudah ada petugas imigrasi (Tempat Pemeriksaan Imigrasi). Pada PLB Darat lainnya, selain masih bersifat tradisional, tidak ada pula petugas formal yang seharusnya berperan untuk itu; dan tanpa mengenyampingkan peran formal Instansi Pemerintah terkait, harus kita akui bahwa keberadaan TNI – AD dalam misi menjaga keamanan/pertahaanan wilayah perbatasan, sangat berarti didalam melakukan pemantauan wilayah, termasuk memantau pergerakan lintas batas penduduk antar kedua Negara. Kedua, realitas dilapangan penduduk setempat melakukan inisiasi pembukaan lintas batas informal (“diluar kesepakatan”), sebagai konsekuensi adanya kebutuhan penduduk untuk melakukan lintas batas secara tradisional dan turun menurun, baik untuk urusan dagang maupun menjaga ikatan pertalian kekeluargaan antar penduduk yang terpisah status kewarnegaraannya, namun masih dalam satu suku (etnis). Beranjak dari kedua permasalahan tadi mengharuskan bagi Pemerintah Pusat dan Provinsi Kalimantan Timur untuk melakukan kajian terhadap keberadaan PLB yang telah disepakati dalam BCA Tahun 2006, dengan konsekwensi menyebabkan perubahan lokasi PLB dan cakupan wilayah (area of acces) lintas batas. Usulan peninjauan ulang PLB harus sejalan dengan kebijakan penetapan suatu wilayah sebagai PKSN, dan didukung oleh keberadaan Pos Pengamanan Perbatasan (Pamtas) TNI AD, terutama pada PLB tradisional; di Kalimantan Timur terdapay 42 Pos Pamtas (lihat Lampiran I); untuk menciptakan sinergi aspek pertahanan dan sekaligus aspek pengembangan potensi ekonomi (prosperity) wilayah perbatasan. Namun, tidak berarti usulan penduduk setempat diabaikan, mengingat usulan tersebut bersifat pragmatis dan realistis, atas dasar pemikiran :
1) Dari azas pemanfaatannya lebih dibutuhkan, terbukti dari intensitas kegiatan lintas batas yang dilakukan penduduk setempat ;
2) Keberadaan jumlah penduduk setempat, baik di pihak Indonesia maupun Malaysia yang relatif banyak pada suatu Desa (Sub Divisi dalam istilah Malaysia) merupakan faktor utama yang mendorong kuatnya intensitas pergerakan penduduk untuk melakukan lintas batas timbal balik ; dan
3) Kemudahan akses menuju wilayah perbatasan negara tetangga, baik untuk keperluan perdagangan maupun sekedar kunjungan kekerabatan.
Tabel 2
Entry/Exit Point (Pos Lintas Batas) Provinsi Kalimantan Timur (Indonesia) – Serawak & Sabah (Malaysia)
Sumber :
Annexure C Agreement Between the Government of the Republic Indonesia and the Government of Malaysia on Border Crossing, pada tanggal 12 Januari 2006 di Bukit Tinggi (Sumatera Barat – Indonesia)
Oleh karena itulah, kajian secara mendalam perlu untuk segera dilakukan. Kajian dimaksud relevan dengan Risalah Persidangan ke-29 KK/JKK Pembangunan Sosial Ekonomi Perbatasan Malaysia – Indonesia, di Bali pada tanggal 19 Oktober 2011, dimana pada kesepakatan butir 3.3.2 huruf b. Kertas Kerja II.2 – Kerjasama Bidang Pembangunan Pos Lintas Batas Darat, pada ayat (i) disepakati untuk mengadakan kunjungan bersama antara pihak Indonesia dan Sabah. Kajian yang dilakukan antara pihak Indonesia (Provinsi Kalimantan Timur) dan Malaysia (Sabah dan Sarawak), sudah mengatur secara jelas tahapan pembukaan PLB berdasarkan skala prioritas, dengan indikator yang telah disepakati bersama. Hasil kajian harus mengikat kedua belah pihak, tanpa kecuali, sehingga konsistensi pembukaan PLB secara bertahap dapat direalisasikan. Intinya terletak pada kesepakatan penggunaan indikator pembukaan PLB, yaitu harus terukur secara kuantitatif maupun kualitatif. Selama ini kesepakatan BCA, menjadi mentah pada saat memasuki tataran implementatif, karena pertimbangan politis; Seharusnya masalah politis ini sudah tuntas pada saat disepakatinya BCA. Untuk tidak mengulangi lagi kasus pembatalan sepihak pembukaan Sei Manggaris – Serudong oleh pihak Malaysia (Sabah), maka hasil revisi BCA Tahun 2006 nantinya, pihak KK/JKK Sosek Malindo dari pihak Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, perlu duduk bersama dengan pihak Negeri Sarawak dan Sabah, dengan agenda tunggal menyusun “road map pembukaan PLB”. Sementara menunggu hasil peninjauan ulang BCA dimaksud, langkah strategis lainnya yang perlu dilakukan adalah menyiapkan usulan PLB.
D. Usulan PLB
Beberapa lokasi yang diusulkan masyarakat melalui Pemerintah Kabupaten Nunukan, Malinau dan Kutai Barat, terkait dengan usulan pembukaan PLB, terdapat beberapa hal yang patut menjadi perhatian kita bersama, yaitu :
1) Usulan yang diajukan pada dasarnya masih sama dengan lokasi yang tertuang dalam BCA Tahun 2006. Hal ini dapat dipretensikan bahwa penduduk setempat sangat membutuhkan keberadaan PLB tersebut dalam rangka lebih memformalkan identitas pergerakan lintas batas antar negara, agar tidak terkesan sebagai pelintas batas ilegal; Realitasnya, pergerakan penduduk perbatasan Indonesia menuju Malaysia (Serawak/Sabah) cukup tinggi intensitasnya, terutama untuk keperluan perdagangan, yaitu menjual hasil pertanian yang selanjutnya dibelanjakan kembali untuk pemenuhan kebutuhan pokok olahan. Sisi lainnya, menggambarkan bahwa kebutuhan pokok olahan penduduk perbatasan dipasok dari wilayah perbatasan Malaysia, sebagai implikasi keterbukaan akses terdekat hanya ke Negara tetangga.
2) Intensitas pergerakan penduduk yang cukup tinggi tadi, selain terkait dengan jumlah penduduk setempat, terkait pula dengan adanya keunggulan sektor pertanian yang bernilai ekonomis; sebagai komoditi dagang dalam skala terbatas terhadap penduduk negara tetangga. Logikanya, penduduk perbatasan Kalimantan Timur sudah melakukan kegiatan produktif untuk mendukung kehidupannya, walaupun dari skala produksinya masih bersifat ekonomi subsisten, namun masih ada nilai lebih produksi yang dapat diperdagangkan, hanya saja peluang pasarnya terbuka di negara tetangga untuk saat ini. Pada Tabel 3, sedikit memberikan gambaran jumlah penduduk di Kecamatan perbatasan yang ada pada ke-3 Kabupaten, sebagai pemicu terhadap kebutuhan pembukaan PLB.
Tabel 3
Jumlah Penduduk Kecamatan Perbatasan di Kabupaten Perbatasan Provinsi Kaltim Tahun 2006 – 2011
Sumber :
Kabupaten Dalam Angka dari masing-masing Kabupaten, publikasi Bappeda & BPS tahun bersangkutan.
3) Usulan pembukaan PLB yang lebih banyak memasuki wilayah/divison Negara Bagian Serawak, implementasi teknisnya harus dibicarakan pada tingkat KK/JKK Sosek Malindo Provinsi Kalimantan Barat – Peringkat Negeri Serawak. Dalam rapat kerja penyusunan kertas kerja tahun 2012 ini pada KK/JKK dimaksud, telah diusulkan untuk menjadi materi pembahasan delegasi Indonesia (Provinsi Kalimantan Barat) – Malaysia (Serawak), sekaligus memberikan penegasan pasti terhadap tindak lanjut kesepakatan kertas kerja Sosek Malindo Nasional tahun 2011 lalu (lihat Tabel 4), terutama kesiapan pihak Malaysia untuk segera membuka PLB Long Midang – Ba’Kelalan dan PLB Lembudud – Bario. Bahkan untuk PLB Long Midang – Ba’Kelalan sudah dicadangkan lahan 1,25 Ha oleh Negara Bagian Serawak. Implikasinya, bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Kabupaten Nunukan harus mencadangkan alokasi lahan pada kedua PLB tadi, termasuk kerjasama dengan pihak Instansi Pemerintah, untuk segera mempersiapkan petugas bea cukai, imigrasi, karantina dan pengamanan (sekuriti).
Memperhatikan usulan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ke-8 usulan pembukaan PLB yang diajukan berada di wilayah/division Kapit Division dan Miri Division (Sarawak). Selain itu, tidak terdapat perubahan prinsip lokasi yang diusulkan, kecuali adanya usulan :
a) Perubahan PLB di Long Layu – Bario, digeserkan (dan/atau “ditambahkan”) di Lembudud – Bario. Di Desa Lembudud ini sendiri tidak terdapat Pos Pamtas TNI – AD, sementara di Long Layu ada Pos Pamtas-nya.
b) Perubahan PLB di Long Midang – Long Pasia digeserkan (dan/atau “ditambahkan”) di Long Bawan – Long Pasia. Di Desa Long Bawan ini terdapat Pos Pamtas TNI – AD.
Pergeseran (dan/atau penambahan) lokasi tersebut perlu dikaji secara mendalam terutama terhadap aspek pemanfaatannya oleh penduduk setempat, karena dilihat dari jumlah penduduk di Long Layu relatif lebih besar dibandingkan Lembudud. Selain itu, keberadaan Desa Long Layu dan Lembudud adalah berdekatan, sehingga pembukaan PLB di Lembudud – Bario, akan terdapat 2 (dua) PLB dalam wilayah/Division yang sama di Serawak, yaitu Miri Division, melalui PLB di Long Layu – Bario dan PLB di Lembudud – Bario. Demikian pula usulan pembukaan PLB di Long Bawan – Long Pasia, perlu dikaji pula secara mendalam, karena dalam BCA 2006 PLB dimaksud berada di lokasi Long Midang – Long Pasia, dimana Long Bawan merupakan cakupan wilayah PLB bersangkutan. Dihadapkan pada kondisi demikian Pemerintah perlu menentukan skala prioritas, dengan memperhatikan lokasi PLB yang sangat diperlukan keberadaannya, terutama dilihat dari prospek pengembangan kedepan terkait dengan kebijakan PKSN. Selain itu, dilihat pula dari intensitas pemanfaatannya oleh penduduk setempat. Lokasi PLB yang saling berdekatan adalah tidak efisien, karena masalah ini dapat diatasi dengan membangun akses jalan lingkungan yang menghubungkan Desa-desa berdekatan menuju lokasi PLB.
Tabel 4
Usulan Pembukaan Entry/Exit Point (Pos Lintas Batas) di Provinsi Kalimantan Timur
Sumber :
1) Usulan pada KK/JKK Sosek Malindo Provinsi Kalbar – Peringkat Negeri Sarawak Tahun 2012.
2) Hasil kesepakatan persidangan ke 16 Sosek Malindo Provinsi Kaltim – Peringkat Negeri Sabah, di Makassaar tahun 2011.
Adanya pemekaran Kecamatan di kabupaten Nunukan, yang semula hanya terdiri 8 Kecamatan perbatasan, berubah menjadi 12 Kecamatan perbatasan; memberikan dampak terhadap area of acces (area cakupan) lintas batas, terutama di Kecamatan Lumbis, yang sudah menjadi Kecamatan Lumbis Ogong. Artinya area cakupan lintas batas tidak lagi berada Kecamatan Lumbis ini, akan tetapi sudah beralih ke Lumbis Ogong. Demikian pula di Sebatik, area cakupan-nya adalah Sei Pancang dan sekitarnya. Pemahaman “dan sekitarnya” ini dapat diterjemahkan termasuk 4 Kecamatan lainnya, mengingat saat ini di Sebatik ada 5 kecamatan, dimana Sei Pancang merupakan ibukota Kecamatan Sebatik Utara. Pos Lintas Batas di Nunukan – Tawao yang saat ini cukup intens pemanfaatannya oleh penduduk terutama para TKI yang akan menuju wilayah Malaysia lainnya melalui Tawao, perlu untuk dikaji keberadaan area cakupan-nya (area of acces), karena dikaitkan dengan ketentuan BTA Tahun 1970 maka area dimaksud dapat diberlakukan ketentuan perdagangan lintas batas, dimana dengan jumlah penduduk ± 65.881 jiwa (sensus 2010) akan berdampak besar terhadap akumulatif nilai perdagangan lintas batas. Sementara pasokan produksi barang olahan dalam negeri (nasional), khususnya bahan kebutuhan pokok ke Nunukan relatif lancar, sehingga pemanfaatan perdagangan lintas batas ini lebih menonjol unsur komersialnya, dibandinghkan dengan hakekat sebenarnya diberlakukan ketentuan BTA, yaitu membantu penduduk setempat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Peningkatan nilai perdagangan lintas batas melalui PLB Nunukan – Tawao, sejalan dengan perkembangan penduduk di Nunukan dan wilayah sekitarnya merupakan suatu keniscayaan; Bahkan, tidak menutup kemungkinan nilai perdagangan tersebut sudah seharusnya dikategorikan sebagai impor, sehingga sudah sewajarnya diberlakukan sebagai perdagangan bebas lintas batas. Lokasi PLB yang berada di Lamijung (sedang dipersiapkan menjadi Pos Pemeriksaan Lintas Batas Laut) dijadikan sebagai kawasan perdagangan bebas lintas batas (border trade zone), sedangkan pelabuhan lautnya “Tunon Taka” menjadi pelabuhan ekspor – impor. Pada tahapan awal perdagangan bebas lintas batas lebih diarahkan pada kegiatan ekspor – impor antara Nunukan – Tawao; Namun untuk perspektif waktu kedepan peluang peningkatan kawasan perdagangan sangat dimungkinkan, terutama dalam kerangka ACFTA ataupun APEC. Pembukaan PLB di Krayan, yaitu Long Midang – Ba’kelalan, merupakan PLB relatif intens pergerakan pelintas batasnya dibandingkan yang PLB darat lainnya, sehingga pihak Malaysia memiliki persepsi yang sama untuk segera merealisasikannya. Di Kecamatan Krayan ini sendiri terdapat komoditas unggulan berupa padi adan, garam gunung dan kerbau krayan. Jumlah penduduknya cukup besar, yaitu 7.240 jiwa (Sensus penduduk 2010), dengan tingkat kepadatan penduduk 3,94 jiwa/km2. Long Midang, termasuk salah satu PKSN di Kabupaten Nunukan, dan terdapat pula keberadaan Pos Pamtas TNI-AD serta petugas Imigrasi, sehingga terdapat Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Ini merupakan kondisi ideal untuk dilakukan pembukaan PLB darat. Pemerintah seharusnya sudah mencadangkan lahan untuk pembukaan PLB ini. Pergerakan lintas batas antar penduduk masing-masing Negara sudah berorientasi ekonomi (perdagangan). Penduduk Long Midang dan sekitarnya mendapatkan pasokan kebutuhan bahan pokok dari wilayah Malaysia, sebaliknya penduduk Malaysia mendapatkan kebutuhan hasil pertanian yang relatif murah dari wilayah Indonesia. Kendala utamanya adalah jalan dari dan menuju lokasi PLB (“PLB tradisional”) masih berupa badan jalan, termasuk belum adanya pos pemeriksaan yang permanen. Penggunaan telpon seluler sudah dapat dilakukan saat ini, sehingga komunikasi antar penduduk lokal maupun dengan penduduk wilayah lainnya bukan merupakan permasalahan lagi. Kesepakatan pembangunan PLB antara pihak Indonesia dan Malaysia, disamping berimplikasi terhadap penyedia infrastruktur jaringan jalan, harus dilengkapi pula dengan beberapa fasilitas, minimal harus tersedia ;
– bangunan utama untuk pengurusan administrasi ;
– pintu masuk yang dilengkapi loket pemeriksaan ;
– pemisahan jalur masuk dan keluar ;
– kawasan steril ;
– tempat peristirahatan (tersedia toilet) ; dan
– perumahan petugas PLB ;
Keseluruhan fasilitas diatas luasannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan riil dilapangan; Untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut sudah selayaknya dicadangkan luasan lahan yang mencukupi. Ketersediaan lahan ± 2 ha sudah cukup layak, mengingat pihak Malaysia mencadangkan lahan yang sama di wilayah perbatasannya ± 1,25 ha pada tahun 2012.
E. Mencermati Sikap Malaysia
Merujuk pada PPLB/PLB yang telah dan akan dibuka atas dasar kesepakatan dengan pihak Malaysia, dapat kita ketahui bersama bahwa pihak Malaysia sangat memperhitungkan; Pertama, jumlah penduduk antar wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia yang akan dibuka PLB-nya adalah relatif besar dan memiliki prospek pengembangan lebih lanjut berdasarkan indikator pemenuhan pelayanan dasar, seperti fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, ketersediaan komunikasi, pasokan energi dan jalan lingkungan. Akumulasi atas terpenuhinya jumlah penduduk dan ketersediaan pelayanan dasar menjadi barometer terhadap intensitas pergerakan lintas batas yang cukup tinggi. Idealnya, lokasi PLB yang berada dalam wilayah yang sudah ditetapkan sebagai PKSN; fasilitas-fasilitas diatas tadi sudah dipenuhi. Konsep PKSN adalah menjadikan kota dalam suatu wilayah perbatasan, sehingga dapat berperan menjadi pusat pertumbuhan bagi kawasan lain disekitarnya. Sebagai suatu kawasan yang akan dijadikan kota, walaupun tidak se-ideal kota dalam artian sebenarnya; Pemerintah Daerah bersama Pemerintah Pusat sudah seharusnya melakukan pengembangan pemukiman; melengkapi kebutuhan infrastruktur dasar terutama jalan, pelayanan dan penataan ruang pemukiman; sesuai dengan pendekatan kesejahteraan yang telah disinggung sebelumnya. Oleh karenanya langkah strategis kedepan adalah memprioritaskan pengembangan PKSN sejalan dengan rencana pembukaan PLB. Kedua, mempertimbangkan manfaat ekonomi yang didapatkan pihak Malaysia relatif lebih tinggi, terutama dilihat dari pertukaran perdagangan (term of trade), karena penduduk di pihak Indonesia lebih bertumpu pada produk pertanian yang bersifat masih mentah (belum diolah). Sebaliknya penduduk Malaysia menjual produk olahan (sudah ada nilai tembahnya), dengan konsekwensi harga relatif lebih mahal. Dalam tataran ekonomi subsisten yang sebagian besar masih berlaku di Kecamatan perbatasan, menjadikan perdagangan timbal balik ini kurang menguntungkan, paritas daya beli (purchasing power parity) penduduk Indonesia lemah, karena mengandalkan komoditas primer (ektraktif) akan selalu dihadapkan pada kondisi elastisitas permintaan bersifat inelastik 6) dan ada peluang substitusi yang besar, sehingga dapat membatasi jumlah permintaan dari pihak Malaysia. Kecuali komoditas dimaksud merupakan komoditas yang dperlukan untuk bahan baku industri olahan makanan; dihasikan dalam jumlah relatif besar dan dapat dijadikan keunggulan komparatif wilayah, karena diuntungkan oleh “endowment factor” yang tidak hanya mengandalkan pada murahnya biaya tenaga kerja, namun kondisi alamiahnya menjadikan kualitas komoditas tersebut relatif lebih baik. Implikasinya, pengembangan komoditas unggulan wilayah harus sejalan dengan perkembangan industri di wilayah perbatasan Malaysia. Pengembangan komoditi (“produk”) unggulan wilayah perbatasan dapat meningatkan produksi yang diharapkan berdampak efek berganda terhadap peningkatan kesejahteraan penduduk setempat. Oleh karenanya, strategi pembangunan wilayah berorientasi pada pelbagai aktifitas ekonomi yang dapat mendorong peningkatan produktivitas komoditi ini, melalui 7) penetapan komoditi unggulan bernilai strategis, prospektif untuk dikembangkan dan memiliki keunggulan komperatif; Disamping melakukan pengembangan informasi dan penghimpunan database. Kelemahan mendasar dalam hal penyiapan strategi pengembangan komoditi unggulan wilayah perbatasan Kalimantan Timur adalah minimnya data mengenai jumlah produksi komoditi dominan di wilayah bersangkutan. Padahal merujuk pada kriteria produk unggulan yang dikembangkan oleh Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, terdapat 17 kriteria yang harus dipenuhi dalam hal penetapan produk unggulan, salah satunya adalah skala usaha/produksi saat ini. Dan ketiga, PLB/PPLB yang akan dibuka oleh pihak Malaysia sudah mempertimbangkan kelengkapan fasilitas yang diperlukan, mencakup urusan kepabean (Customs), keimigrasian (Imigration), karantina (Quarantine) dan pengamanan (Secutity) – CIQS. Disamping pencadangan luasan lahan yang mencukupi untuk pengembangan selanjutnya. Namun aspek ketiga ini sifatnya relatif, karena fasilitas CIQS dapat dilakukan secara bertahap, sesuai keperluan; Tidak semua lokasi PLB harus berstatus sebagai PPLB atau bahkan CIQS. Di Kalimantan Timur hanya di Lamijung – Nunukan, yang dapat dijadikan PPLB laut (CIQS). Selain ditunjang ketersediaan fasilitas fisik, juga frekuensi kegiatan lintas batasnya cukup intens, khususnya para TKI. Penundaan kesepakatan pembukaan PLB Sei Manggaris – Serodong, walaupun dari pihak Indonesia telah mempersiapkan akses jalan trans Kaltim dan mengembangkan wilayah tersebut sebagai kawasan agroindustri (perkebunan), seperti kelapa sawit yang saat ini telah berkembang cukup pesat, namun tidak mendorong pihak Malaysia untuk merealisasikannya, karena ketiga pertimbangan tersebut diatas, walaupun alasan yang tersurat adalah besarnya kebutuhan biaya pembukaan PLB, yang keputusannya ditentukan oleh Kerajaan (Majelis Keselamatan Negara). Berdasarkan ketiga faktor tadi, dapat dirunut bahwa kedepan diperkirakan pihak Malaysia akan bersedia membuka PLB berikutnya di Lembudud – Bario serta PLB di Long Nawang – Long Busang, sehingga mensikapi hal ini pihak Indonesia, khususnya Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur serta Kabupaten Nunukan dan Malinau mengambil langkah-langkah strategis untuk mempersiapkan infrastruktur fisik yang diperlukan, seperti lahan, bangunan PLB lengkap dengan rumah dinas, alat komunikasi berbasis IT, pasokan energi yang menggunakan peralatan tepat guna serta akses jalan dari dan menuju PLB; Dan tidak kalah pentingnya adalah mempersiapkan SDM pengelola PLB. Sementara Pos lintas batas lainnya dipersiapkan secara bertahap, bekerjasama dengan pihak TNI-AD, memanfaatkan keberadaan Pos Pamtas setempat sebagai pemantau pergerakan lintas batas.
F. Road Map Pembukaan PLB
Peninjauan ulang BCA Tahun 2006 diharapkan dapat mengakomodir kepentingan penduduk wilayah perbatasan Kalimantan Timur; PLB ditetapkan pada lokasi yang diharapkan, sehingga perlu ada “road map” pembukaan PLB, yang didasarkan atas hasil kajian bersama antara pihak Indonesia – Malaysia. Substansi road map dimaksud mencakup :
1) Zero point pada setiap lokasi PLB;
2) Tahapan pembukaan, dengan menyebutkan tahun pembukaan PLB berdasarkan kriteria yang telah disepakati bersama;
3) Fasilitas minimal yang harus disediakan kedua belah pihak pada setiap PLB; dan
4) Strategi pengembangan wilayah sekitarnya.
Dipihak Indonesia, pembukaan PLB lebih tepat memprioritaskan pada lokasi, dimana sudah terdapat keberadaan PKSN dan Pos Pengamanan Perbatasan (Pamtas) TNI – AD. Dalam artian lokasi PLB tidak harus berdekatan dengan Pos Pamtas; paling tidak masih dalam satu wilayah. Keberadaan Pos Pamtas lebih ditekankan pada aspek menjaga security belt wilayah operasional, sedangkan aspek pengembangan wilayah sesuai dengan konsepsi PKSN; Ini merupakan 2 (dua) aspek yang terpisah, akan tetapi sifatnya saling melengkapi. Pembangunan PLB tidak hanya sekedar memformalkan kegiatan lintas batas pergerakan orang dan barang saja; Sebaliknya lebih dari itu, karena keberadaan PLB berfungsi sebagai pintu gerbang internasional dengan Negara tetangga, sehingga penataan wilayah sekitarnya harus dilakukan. Penataan wilayah disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah, dengan melengkapi pelbagai fasilitas pelayanan dasar. Didalam road map inilah strategi pengembangan wilayah yang merupakan kombinasi konsepsi PKSN – PLB – Pos Pamtas diimplementasikan. Khususnya kombinasi PKSN – PLB, strateginya diarahkan sebagai kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai pemeriksaan lalu lintas pergerakan orang dan pintu gerbang internasional yang dapat dikembangkan menjadi lalu lintas aktifitas perdagangan lintas batas. Fungsi terakhir inilah mengharuskan kawasan perbatasan dijadikan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Dalam penentuan tahapan pembukaan PLB patut menjadi perhatian bersama bahwa lokasi PLB yang berdekatan dipihak Indonesia, yang dapat diatasi dengan pembukaan koneksitas jalan penghubung, diupayakan untuk dapat dihindari; berikan prioritas pada lokasi PLB yang tingkat intensitas pergerakan pelintas batasnya cukup intens. Indikator awalnya dapat dilihat pada jumlah penduduk dimasing-masing wilayah perbatasan dan ketersediaan fasilitas infrastruktur pelayanan dasar. Peluang pengembangan perdagangan lintas batas merupakan faktor utama lainnya yang harus menjadi perhatian, mengingat keberadaan PLB dapat difungsikan sebagai pintu keluar-masuk kegiatan perdagangan antar Negara. Di pihak Indonesia, produk unggulan yang diperdagangkan memiliki keunggulan komperatif dan dibutuhkan sebagai bahan baku industri di Malaysia, sehingga ini perlu menjadi bagian dari strategi pengembangan berbasis pada pengembangan produk unggulan. Fasilitas PLB sebagaimana telah diutarakan sebelumnya perlu dipertegas dalam road map, karena terkait dengan kebutuhan pembiayaan yang relatif besar, disamping pembagian beban biaya antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Provinsi/ Kabupaten). Salah satu fasilitas dimaksud adalah Pos Pemeriksaan lintas batas, dimana fungsi pemeriksaan ini melekat pada Imigrasi. Ini berarti, pihak Imigrasi sudah melakukan langkah antisipasi untuk mempersiapkan SDM yang diperlukan. Proses perekrutan SDM sebaiknya melibatkan penduduk lokal.
G. Keberlanjutan PLB Sei Manggaris – Serodong
Penundaan pembukaan PLB Sei Manggaris – Serodong bukan merupakan akhir dari upaya untuk merealisasikannya; Bahkan, menjadi motivasi untuk segera mengambil langkah strategis lainnya, diawali dengan melakukan konsolidasi internal berupa tindakan nyata melakukan pengembangan kawasan Sei Manggaris, yang saat ini sudah menjadi Kecamatan Sei Manggaris, dengan cakupan jumlah Desa sebanyak 4 Desa, yaitu Desa Srinanti (ibukota Kecamatan), Desa Tabur Lestari, Desa Simaenre Samaja dan Desa Sekaduyantaka. Adapun luas wilayah Kecamatan-nya adalah 850,48 km2. Sebagai kawasan yang telah ditetapkan menjadi PKSN memiliki keuntungan tersendiri sebagai kawasan aktifitas ekonomi utama untuk wilayah sekitarnya. Atau dapat dikatakan sebagai pusat pertumbuhan dan sekaligus menjadi simpul transportasi antar wilayah, karena berada dalam jalur utama trans Kaltim di wilayah utara. Demikian pula rencana untuk menjadikan Sei Manggaris sebagai Kota Terpadu Mandiri (KTM) harus tetap dilanjutkan. Kombinasi strategi perwilayahan pembangunan, yaitu pengembangan kawasan sebagai PKSN dan KTM ini akan lebih memacu pertumbuhan kegiatan ekonomi, yang saling terintegrasikan berbasis agroindustri. Model pengembangan kawasan yang relevan untuk ini adalah menjadikan Sei Manggaris sebagai “kawasan agropolitan” 8), sehingga terbuka peluang kerjasama pemanfaatan lahan lintas batas negara; Atau kerjasama pengelolaan usaha yang melibatkan investor dari masing-masing negara, tanpa harus menyatukan lahan usaha dalam suatu badan hukum bisnis (dari salah satu negara). Bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur; model tersebut berdampak terhadap kewajiban untuk mempersiapkan infrastruktur pendukung yang mampu menggerakan tumbuhnya investasi. Keterbukaan akses jalan trans Kaltim sebagai jalan primer, dilanjutkan dengan pembangunan jalan dan jembatan sekunder yang menghubungkan antar Kecamatan/Desa. Infrastruktur dasar lainnya seperti kelancaran pasokan listrik dan tidak adanya blank spot komunikasi serta kemudahan mendapatkan siaran audio visual (televisi dan radio nasional) dilengkapi secara bertahap. Demikian pula kebutuhan infrastruktur pelabuhan dan air bersih harus diperhatikan sepenuhnya. Keberadaan infrastruktur dasar sebagaimana disebutkan diatas, dengan dilengkapi pula fasillitas pendidikan sampai jenjang SLTA, pelayanan kesehatan yang ditunjang keberaradaan Rumah Sakit minimal pada tingkat Pratama serta adanya kelembagaan ekonomi, baik berupa perbankan, koperasi maupun pasar yang melayani kebutuhan sandang pangan penduduk. Apabila keseluruhan infrastruktur diatas dapat dipenuhi, maka keberadaan sektor ekonomi agrobisnis akan menjadi motor penggerak, yang mampu menarik sektor ekonomi terkait lainnya untuk berkembang secara bersama; dan dinamika aktifitas ekonomi produktif akan bergerak dengan sendirinya, sehingga kawasan Sei Manggaris akan menjadi penyangga pertumbuhan wilayah lain disekitarnya. Dampak ikutan positif lainnya, yaitu wilayah disekitar Serudong (Malaysia), terutama penduduk setempat akan tergerak untuk mendapatkan manfaat ekonomi yang ada di Sei Manggaris, sehingga akan terjadi pergerakan lintas batas penduduk. Dalam intensitas yang cukup tinggi pergerakan dimakud tidak ada alasan bagi Malaysia untuk menunda pembukaan PLB di Sei Manggaris – Serodong. Namun hal ini memerlukan proses panjang dan kebijakan yang konsisten. Konsistensi kebijakan berhubungan dengan kejelasan perencanaan pengembangan kawasan pada tataran implementasi (action plan). Dibentuknya Kecamatan Sei Manggaris, sebagai pemekaran dari Kecamatan Nunukan merupakan suatu keuntungan tersendiri, mengingat adanya kejalasan batasan wilayah, yang memungkinkan Pemerintah Kabupaten Nunukan menyiapkan action plan pengembabangan Kecamatan Sei Manggaris secara komprehensif, dengan menerapkan pembagian biaya (sharing cost) antara APBD Kabupaten, APBD Provinsi dan APBN (DAK dan Tugas Pembantuan), terhadap pembiayaan pembangunan yang merupakan kewenangan pemerintah secara berjenjang. Pembiayaan pembangunan yang merupakan beban swasta (termasuk investor), terkait dengan pembagunan investasi fisik dan memiliki prospek cost recovery menguntungkan, dibebankan sebagai investasi swasta. Konsekwensi-nya harus ada langkah-langkah strategis untuk menciptakan iklim investasi dalam action plan tersebut. Untuk keperluan memangkas birokrasi dan percepatan pelayanan administrasi bagi para investor yang berminat melakukan investasi, sangat relevan bagi Pemerintah Kabupaten Nunukan membentuk “otorita pengembangan kawasan Sei Manggaris”.
H. Rangkuman Akhir – Simpulan dan Saran
Berdasarkan apa yang telah diutarakan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal terkait dengan masalah pembukaan PLB, yaitu :
1) Kesepakatan PLB yang telah ditetapkan dalam BCA 2006 belum keseluruhannya dapat direalisasikan bersama, sehingga pada peninjauan ulang BCA tersebut tetap diusulkan lokasi PLB yang sama, karena sudah didukung dengan kebijakan penetapan kawasan sebagai PKSN dan ditunjang keberadaan Pos Pamtas TNI-AD, serta memperhatikan usulan yang diajukan oleh penduduk setempat.
2) Usulan yang diajukan oleh penduduk melalui Pemerintah Kabupaten perlu dilakukan kajian secara mendalam sebelum diajukan secara resmi kepada pihak Kementrian Dalam Negeri cq. Ditjen Pemerintahan Umum.
3) Berdasarkan pengalaman emperik selama ini dan belajar dari sikap pihak Malaysia didalam merealisasikan pembukaan PLB, maka Pemerintah Pusat bersama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten terkait, menyusun tahapan penyiapan pelbagai aspek terkait dengan rencana pembukaan PLB.
4) PLB di Long Midang – Ba’kelalan dan PLB di Lembudud – Bario yang telah menjadi kesepakatan pihak Negara Bagian Sarawak melalui KK/JKK Sosek Malindo Provinsi Kalimantan Barat – Peringkat Negeri Sarawak, perlu segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, dengan menyiapkan lahan dan infrastruktur penunjangnya, termasuk pembukaan jalan akses dari dan menuju PLB.
Menindaklanjuti penyiapan usulan PLB dalam rangka peninjauan ulang terhadap BCA Tahun 2006, maka disarankan :
1) Perlunya dibentuk Tim Kajian yang melibatkan Instansi terkait dilingkungan Provinsi Kalimantan Timur maupun Kabupaten Nunukan, Malinau dan Kutai Barat, untuk melakukan kajian terhadap usulan PLB yang direncanakan.
2) Mengadakan kunjungan lapangan dalam rangka mengevaluasi keberadaan PLB yang telah dan akan diusulkan.
3) Menyusun rencana kerja (action plan) terkait dengan pembangunan PLB yang akan diusulkan pada peninjauan ulang BCA 2006. Khususnya untuk rencana kerja pembangunan PLB Sei Manggaris – Serodong, dikaitkan dengan pengembangan kawasan Kecamatan Sei Maggaris secara komprehensif.
P e n g a n t a r
Tulisan ini disajikan pada rapat kerja yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Kementrian Dalam Negeri pada tanggal 12 Pebruari 2013, dalam rangka menghimpun masukan terkait dengan Border Cross Agreement (BCA), dimana BCA antara Indonesia dan Malaysia yang terakhir disepakati adalah pada tahun 2006, dan didalam perkembangannya di Kalimantan Timur, baru dilaksanakan secara efektif hanya pada exit/entry point (pos lintas batas; PLB) antara Nunukan – Tawao dan Sebatik (Sungai Pancang) – Tawao, itupun masih merupakan PLB Laut, sedangkan PLB Darat belum ada yang direalisasikan sepenuhnya, kecuali PLB antara Long Midang – Ba’Kelalan sudah ada kesepakatan untuk menentukan zero point, dengan pihak Negeri Serawak. Tulisan yang dikemukan dalam kesempatan ini, memberikan sedikit gambaran terkait dengan beberapa usulan yang diajukan oleh penduduk kawasan perbatasan di Kalimantan Timur, yang berkeinginan untuk dibukanya secara efektif PLB Darat pada beberapa lokasi, baik di perbatasan dengan Negari Serawak maupun Sabah.
O l e h :
Diddy Rusdiansyah A.D, SE., MM
Kepala Bidang Pembinaan Ekonomi & Dunia Usaha Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman & Daerah Tertinggal Provinsi Kaltim.
________________________________________
1) Prof. DR. Ir. Ikhwanuddin Mawardi, MSc. 2010. Strategi Pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional di Kawasan Perbatasan Darat Sebagai Pintu Gerbang Aktifitas Ekonomi dan Perdagangan Dengan Negara Tetangga (makalah). Disampaikan dalam Seminar tanggal 8 Desember 2010. Jakarta.
2) Termaktub dalam Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, sesuai Peraturan BNPP No. 2 Tahun 2001 tanggal 7 Januari 2011.
3) Direktorat Pengembangan KKT BAPPENAS. 2003. Strategi dan Model Pengembangan Wilayah Perbatasan Kalimantan. Cetakan Pertama. November 2003. Jakarta.
4) Direktorat Pengembangan KKT BAPPENAS. 2003. op cit.
5) Idem.
6) Meminjam istilah Ekonomi Mikro, diartikan bahwa elastisitas permintaan yang bersifat inelastik dapat ditentukan oleh 2 (dua) faktor, yaitu pendapatan dan harga. Perubahan salah satu faktor tidak menyebabkan perubahan signifikan terhadap perubahan permintaan produk. Bahkan ada peluang untuk bergeser (substitusi) pada produk lainnya, apabila terjadi perubahan salah satu faktor tadi (rujukan Buku Mikro Ekonomi Edisi Keempat, karangan Dominick Salvatore, Ph.D – 2007).
7) Mohammad Ikhwanuddin Mawardi. 2009. Membangun Daerah yang Berkemajuan, Berkeadilan dan Bekelanjutan. Cetakan Pertama. November 2009. Penerbit IPB Press. Bogor. Hal. 44 – 49.
8) Direktorat Pengembangan KKT BAPPENAS. 2003. Loc cit. Hal 39 – 40.
Lampiran I.
Pos Pengamanan Perbatasan (Pamtas) TNI-AD di Provinsi Kalimantan Timur
Keterangan : Dibawah Komando Utama KODAM VI/Mulawrman.
Sumber : Diolah dari pelbagai sumber.
Leave a Reply