Press ESC to close

MEMERANKAN SMKN DI KALTIM : Best Practice Dari Pengalaman SMKN 6 Yogyakarta **)

(Tulisan ke-1 dari 3 tulisan bersambung)

O l e h :

Diddy Rusdiansyah A,D

P e n g a n t a r

Saat ini sudah ada 15 SMKN di Kaltim yang telah ditetapkan sebagai unit kerja daerah yang menerapkan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Diharapkan pada awalnya dapat memformalkan penerimaan fungsional yang diterima SMKN dapat digunakan secara langsung tanpa harus menyetorkannya ke Kas Daerah (Rekening Bendaharawan Umum Daerah), sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No 79 Tahun 2018 tentang BLUD. Seharusnya penerapan BLUD ini dilandasi dengan penerapan Teaching Factory (TEFA) terlebih dahulu dalam mewujudkan SMK Pusat Keunggulan, dan sekaligus pembuktian dari kemampuan kompetensi siswa terkait dengan statusnya sebagai LSP P1 SMK.

Diprediksikan beberapa tahun mendatang akan terus bertambah SMKN di Kaltim yang akan menerapkan BLUD. Pertanyaannya; apakah ini merupakan fakta yang diharapkan. Jawabannya bisa iya atau sebaliknya tidak, mengingat sebagai BLUD harus dilandasi adanya barang/jasa yang dihasilkan, dimana SMKN harus memastikan terlebih dahulu Teaching Factory (TEFA) dapat diterapkan.

Teaching Factory : Pemahaman Seklias & Dasar Hukumnya

Penerapan Teaching Factory (TEFA) dilingkungan SMK merupakan konsep yang sebelumnya dikenal dengan istilah link & match, atau sederhananya adalah lulusan SMK memiliki kompetensi sesuai kebutuhan industri. Kalaupun ada pelatihan berikutnya yang diimplementasikan oleh industri, sifatnya hanya sekedar melengkapi pengetahuan/ keterampilan sesuai kebutuhan spesifik industri bersangkutan, namun secara umum lulusan SMK telah siap pakai

Untuk itulah TEFA merupakan suatu keharusan dalam proses pembelajaran dilingkungan SMK saat ini, yaitu sebagai model pembelajaran berbasis produk berbentuk barang atau jasa, melalui penciptaan sinergi antara SMK dengan industri untuk menghasilkan lulusan yang kompeten, yaitu lulusan yang memiliki kesetaraan pengetahuan (knowledge)  atas kompetensi keahlian tertentu dengan  keterampilan (skill) dan sikap (attitude) yang menjadi tuntutan dunia usaha/industri maupun tenaga kerja (dudika).

Artinya, kompetensi keahlian tersebut tidak bersifat normatif, namun menjadi lebih produktif serta adaptip. Tentunya, kewajiban SMK mampu menterjemahkan kurikukum merdeka guna mengakomodir kepentingan “dudika”, pastikan siswa lulusan SMK dapat  bekerja setelah lulus sekolah, paling tidak mampu menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri sebagai langkah awal, sebelum menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.

Teaching Factory menjadikan interaksi SMK dengan kalangan pelaku usaha/industri harus lebih intensif lagi, karena faktanya dinamika perkembangan “dudika” lebih cepat dibandingkan perubahan kurikulum itu sendiri. Oleh karenanya sebagai lembaga pendidikan vokasi  para guru selaku pendidik tidak hanya menguasai teori  (knowledge) dari mata pelajaran yang diampunya, namun menguasai pula  implementasinya sebagai keterampilan (soft/hard skill) bagi anak didik. Inilah makna sesungguhnya kesetaraan dimaksud, sehingga tidak perlu gengsi bagi seorang guru untuk melakukan magang, agar penguasaan ilmu dan keterampilannya berimbang, sehingga apa yang diajarkan kepada siswa tidak sekedar teori semata.

Hotel EDOtel Kenari yang berada dalam lingkungan SMKN 6 Yogyakarta

Implementasi TEFA didasarkan atas UU No. 20 Tsnun 2003 tentang Pendidikan Nasional, dimana penjabarannya merujuk pada INPRES No. 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK Dalam Rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing SDM Indonesia, dan PERMENDIKBUD No. 103 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembelajaran.

Implementasi TEFA : Best Pracrice SMKN 6 Yogyakarta

Sebagai salah satu SMK Pusat Keunggulan di Kota Yogyakarta maka keunggulan dimaksud adalah Kuliner, dan memiliki Hotel EDOtel Kenari yang masih terletak didalam lingkungan SMKN 6 di Jl. Kenari, dengan fasilitas 20 kamar tidur, masing-masing 10 kamar di lantai 2 dan di lantai 3, serta memiliki fasiltas meeting room di lantai 2.

Walaupun keunggulannya adalah Kuliner, sementara keberadaan hotel dimaksud merupakan ranah dari kompetensi keahlian Perhotelan sebagai domain-nya, karena terkait 3 layanan mendasar yang harus ada, yaitu front office (FO), hausekeeping dan food & baverage service (F & B) adalah mata pelajaran utama perhotelan. Namun demikian, Kuliner dan kompetensi keahlian lainnya tetap berperan dalam mengelola hotel sebagai bagian dari pembelajaran

Unutk kompetensi keahlian Kuliner, TEFA-nya adalah  coffee shop, catering dan layaan meal Hotel EDOtel, sedangkan TEFA Perhotelan adalah Pengembangan Lobby EDOtel sebagai galeri produk busana, kecantikan, kewiraswastaan serta PKK. Dapat ditembahkan pula layanan tiket dan kerjasama lainnya, seperti penempatan produk SMKN lain.

Semua kompetensi keahlian selain mewajibkan siswa mengikuti TEFA, diberikan pula pembelajaran khusus terkait kewiraswastaan (entrepreneurship), sehingga semua siswa produktif dilatih untuk mampu memasarkan hasil produksinya, baik dilingkungan internal sekolah maupun dilungkungan eksternal terutama Instansi Pemerintahan maupun dikalangan swasta. Keberhasilan penerapan TEFA sesungguhnya terletak pada kondisi dimana banyaknya pesanan (order) berasal dari pihak eksternal.

Penerapan TEFA pada tahapan produksi untuk kepentingan internal, dapat dikatakan implementasi TEFA tingkat pertama, dan apabila sudah menerima pesanan secara rutin dari pelbagai kalangan atau mensuplai produk pada outlet (tenan) tertentu secara rutin yang melayani masyarakat umum,  maka ini sudah dapat dikatakan implementasi TEFA tingkat kedua. Ini sudah merupakan kondisi ideal bagi SMK.

Namun, diperlukan upaya pemasaran (marketing), mulai dari promosi door to doorr hingga mengikuti pelbagai even pameran di Kota Yogyakarta. Upaya yang ditempuh SMKN 6 ini merupakan pembentukan sikap (attitude) diselaraskan dengan sikap yang dibutuhkan industri, yaitu berani (tampil meyakinkan); mampu membaca peluang pasar dan sigap dalam melayan.

Implementasi TEFA Tingkat Ketiga : Mungkinkah ?

Apabila SMK dapat menjadi pemasok kebutuhan industri berupa bahan baku dan atau barang setengah jadi (working in process), maka dapat dikatakan sebagai implementasi TEFA tingkat ketiga. Untuk mencapainya diperlukan kerja keras, akan tetapi bukan merupakan suatu keniscayaan untuk mencapainya, dibutuhkan modal kerja dan peralatan modal (aset) cukup besar serta guru-guru yang terampil (ahli).

Tahap kedua dari penerapan TEFA sebagaimana dilakukan SMKN 6 sudsh dapat menjadi best practice, mengingat beberapa upaya terobosan sangat mungkin diadopsi oleh SMK lainnya, yaitu menumbuhkan jiwa kewiraswastaan, penerapan PKL dan sistem blok dengan segala konsekwensinya terutama faktor kepemimpinan Kepala Sekolah yang didukung segenap guru-guru yang ada. Faktanya, Kepala SMKN 6 Yogyakarta (Wiwik Indriyani, S.Pd, M.Si) sudah menjadi Kepala Sekolah sejak tahun 2018 hingga saat ini, serta telah  menorehkan banyak prestasi.

Kewiraswastaan

Mental berwiraswasta fidak hanya ditentukan oleh bakat, tapi dapat ditumbuhkan sebagaimana diterapkan SMKN 6 Yogyakarta, siswa dibekali teori dan motivasi dalam proses pembelajaran, serta dilatih untuk melakukan kegiatan praktek secara langsung selling promotion on the spot, guna melatih kemampuan pemasaran (marketing). Kerjasama Tim dibentuk dan secara bersamaan ditumbuhkan semangat bersaing yang sehat. Langkah ini sudah dikondisikan sejak awal, sebagai bekal saat  memasuki kondisi sesungguhnya kelak.

Penerapan PKL

Praktek Kerja Lapangan (PKL) idealnya diterapkan pada saat siswa memasuki semester 5 di kelas 12, dimana  pilihannya adalah masuk ke dunia usaha/industri maupun lapangan kerja lainnya (dudika) sesuai kompetensi keahliannya. Dalam pelaksanaan PKL para siswa dihadapkan fakta dilapangan untuk dapat menerapkan ilmu yang didapatkan selama proses pembelajaran terutama saat masih berada di kelas 10 dan 11.

Terdapat 3 opsi PKL di SMKN 6 Yogyakarta yang dapat dipilih siswa; Pertama, masuk ke industri sesuai dengan latar belakang keahliannya. Kedua, terlibat langsung dalam kegiatan project work, yang umumnya atas permintaan langsung selama kurun waktu tertentu; Dan ketiga, menjadikan usaha yang digeluti selama ini sebagai locus PKL, atau dalam arti kata lainnya melanjutkan usaha pribadi/keluarga (wiraswasta).

Umumnya para siswa SMK cenderung memilih masuk ke dunia usaha (industri) atau instansi pemerintahan. Sementara pilihan ketiga merupakan terobosan yang patut menjadi perhatian, mengingat ada siswa yang bekerja paruh waktu guna membantu/menopang ekonomi keluarga atau sebagai wiraswasta dalam menjalankan usaha keluarga, sehingga apabila mengikuti PKL akan mempengaruhi penghasilan yang didapatkan. Ini merupakan solusi cerdas, karena penilaiannya melibatkan pihak asosiasi industri.

Permintaan terhadap siswa SMKN 6 Yogyakarta untuk terlibat dalam project work, dihadapkan pada kendala batas waktu yang kadangkala melampaui batas waktu PKL. Namun memberikan nilai tambah bagi siswa, karena berpeluang untuk direkrut setelah lulus sekolah. Sementara PKL dilingkungan dunia usaha/industri, sudah banyak permintaan langsung dari perusahaan setiap tahunnya, sebagai indikasi bahwa kompetensi siswa sesuai harapan dunia usaha/industri,

Kerjasama dengan Pihak Ketiga

Pihak ketiga dimaksud adalah asosiasi dari kalangan dunia usaha, yaitu Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Provinsi DIY. Salah satu bentuk kerjasama SMKN 6 dengan IWAPI adalah mentoring serta evaluasi/penilaian atas PKL siswa yang mengambil jalur PKL dengan locus tempat usahanya sendiri (wiraswasta).

Mentoring dimaksud menjelaskan bagaimana praktek-praktek bisnis seharusnya dilakukan dari para pelaku usaha, yang dilakukan secara langsung (face to face) maupun secara virtual (zoom) pada waktu dan tempat tertentu yang disepakati bersama.  Evaluasi/penilaian oleh mentor bersifat netral sesuai praktek bisnis.

Sistem Blok Dalam Penerapan TEFA : Sistem Penilaian

Memasuki kelas 10 para siswa setiap kompetensi keahlian dilibatkan dalam kegiatan TEFA  dengan sistem blok, yaitu siswa diwajibkan secara bergilir  masuk kelas untuk mengikuti pembelajaran sebagaimana mestinya, dan secara bersamaan siswa yang lain masuk kelas produksi (TEFA) di sekolah selama 3 bulan. Selanjutnya masuk kelas bergantian dengan siswa yang sebelumnya telah berada dalam kelas mengikuti pembelajaran.

Pada awal penerapannya tetap ada resistensi dari para guru terutama dari para guru yang memegang mata ajar umum, khususnya dalam pengaturan jadual. Idealnya harus ada 2 kelas pada kompetensi keahlian tertentu yang sama, sehingga jadual mudah diatur berdasarkan kelas. Masalah akan terjadi apabila hanya ada 1 kelas, dimana yang dibagi adalah jumlah siswanya secara berimbang. Ini berarti, para Guru umum akan mengajar 2 kali untuk 1 kelas.

Penilaian : Menerapkan On Line System

Para guru  dapat melakukan pemantauan pelaksanaan PKL berdasarkan portofolio aktifitas (jurnal) yang di-entry secara mandiri oleh siswa bersangkutan, dengan melengkapi pembuktian yang relevan. Entry jurnal dlakukan secara harian, sehingga Guru pembimbing dapat memantau perkembangannya untuk keperluan penilaian. On line system ini dikembangkan oleh SMKN 6, dan cukup membantu dilihat dari aspek efisiensi waktu, karena siswa tidak perlu menyampaikan jurnal secara fisik ke sekolah.

Penerapan Marketing Communication : Branding Institution

Branding kelembagaan SMKN 6 diaktulisasikan dengan penggunaan media teknologi informatikan dan komunikasi (TIK) serta menggerakkan semua potensi yang ada terutama menjadikan para guru dan siswa sebagai ujung tombak Marketing Communication (Marcom), yaitu secara personal melakukan interaksi langsung pada sasaran kelembagaan dan individual yang dapat memberikan nilai tambah terhadap eksistensi SMKN 6, dengan cara menyampaikan informasi relevan tentang pencapaian hasil dan rencana kegiatan yang dapat memberikan manfaat simbiosis mutualisme.

Dalam pelaksanaan Markom ini berimplikasi terhadap keaktifan bagi SMKN 6 untuk mengikuti pelbagai even pameran/promosi, termasuk kerjasama dengan banyak pihak, khususnya kalangan dunia usaha/industri. Faktanya, bahwa Markom dapat menjadikan SMKN 6 lebih dikenal dan lulusannya banyak terserap di lapangan kerja.

Best Practice Dari Pengalaman SKMN  6 Yogyakarta : Mengadopsi Pengalaman

Hasil dari kunjungan ke SMKN 6 Yogyakarta ini tentunya dapat menjadi rujukan best practice dalam pengembangan SMKN di Kaltim, yang saat ini sedang melakukan pembenahan atas penerapan TEFA, yang selaras dengan statusnya sebagai SMK Pusat Keunggulan dan sekaligus sebagai LSP P1 SMK.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Pemerintah Provinsi Kaltim sedang mendorong penerapan BLUD terhadap SMKN yang memiliki potensi. Namun belajar dari pengalaman SMKN 6 ini maka pemahaman terhadap pembentukan BLUD harus dilakukan pembenahan TEFA yang memungkinkan adanya barang/jasa yang dihasilkan.

Artinya, kelengkapan administratif yang harus dipenuhi SMKN setelah tuntasnya pemenuhan persyaratan substansi dan teknis terpenuhi, maka harus dapat dipastikan dalam rencana bisnis-nya menjadikan TEFA sebagai strategi bisnis. Pada tulisan ke-3 berikutnya akan dibahas mengenai implementasnyai di Kaltim, khususnya bagi SMKN yang memiliki hotel, seperti diantaranya SMKN 3 Samarinda, SMKN 4 Samarinda, dan SMKN 4 Balikpapan.

**)    Tulisan ini merupakan hasil diskusi saat kunjungan komparasi ke SMKN 6 Yogyakarta pada tanggal 29 Januari 2024 dan ke SMKN 6 Surabaya pada tanggal 30 Januari 2024 lalu, dimana dalam komparasi tersebut lebih difokuskan pada pengelolaan hotel yang dimiliki dikaitkan dengan statusnya sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).

Direncanakan ada 3 tulisan bersambung yang akan disajikan. Tulisan ke-1 ini merupakan best practice dari pengalaman SMKN 6 Yogyakarta. Tulisan ke-2 merujuk best practice SMKN 6 Surabaya, selanjutnya tulisan ke-3 akan membahas tindaklanjut yang relevan bagi SMKN di Kaltim.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *