A. Latar Belakang
Otonomi daerah yang sudah berlangsung sejak duabelas tahun terakhir ini menunjukkan perkembangan positif dilihat dari aspek percepatan pelaksanaan pembangunan, karena bersamaan dengan pelaksanaan otonomi tersebut diikuti pula pemberlakuan kebijakan desentralisasi fiskal. Dalam kaitan ini, sering terjadi kesalahan persepsi bahwa desentralisasi sepenuhnya diartikan sebagai pelimpahan kewenangan untuk sepenuhnya mengatur pengelolaan keuangan, dengan pelbagai potensi sumber pendapatan yang menjadi hak daerah. Namun, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kemampuan Pemerintah Daerah dalam mengatur pengeluarannya, untuk membiayai pelbagai kegiatan/program pemerintahan dan pembangunan yang memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, sehingga bukan hanya sekedar percepatan realisasi pembangunannya saja, namun memperhatikan pula ketepatan sasaran dan pemerataan hasilnya.
Pemerintah Daerah sebagai unsur eksekutif berperan dalam domain pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, sedangkan unsur legeslatif sepenuhnya bertumpu pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dengan domain utama melakukan legeslasi terhadap produk hukum daerah dan menentukan hak budget. Kedua domain tadi secara politis sama-sama mengklaim pemenuhan terhadap kepentingan masyarakat, dari setiap tindakan/kebijakan yang diambil. Namun tumpuan akhirnya tetap berada pada domain pemerintahan sebagai pelaksana (eksekutor). Dalam posisi demikian, dan sekaligus mewujudkan sikap pemerintahan yang bertanggungjawab maka tuntutan terhadap tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu keharusan, sehingga tindakan untuk melakukan reformasi birokrasi tidak terhindarkan pula, termasuk diantaranya terkait dengan perubahan mendasar terhadap manajemen pemerintahan.
Dalam ranah Ilmu Manajemen kontemporer yang terus berkembang pemikirannya, sejalan dengan dunia yang sedang berubah saat ini dan pada perspektif waktu kedepan, maka timbul pertanyaan; Apakah reformasi birokrasi pemerintahan sudah sejalan dengan perkembangan pemikiran Ilmu Manajemen. Makalah ini mencoba melakukan tinjauan pragmatis antara teori dan realitas implementasi-nya dalam tataran pemerintahan daerah; Diawali dengan pembahasan mengenai perkembangan pemikiran Manajemen itu sendiri, kemudian dilanjutkan pada tataran implementasi secara pragmatis, dikaitkan reformasi birokrasi berdasarkan pemahaman “good governance”.
B. Perubahan peran Organisasi
Peter F. Drucker dalam bukunya Managing in a Time of Great Change (1997); telah menyebutkan beberapa kecenderungan sebagai paradigma yang mempengaruhi manajemen; Dikatakannya bahwa Negara-negara maju yang dipelopori Amarika Serikat sudah bergerak menuju masyarakat jaringan, terutama dalam kaitannya dengan hubungan organisasi dengan para individu yang bekerja didalamnya, yang menyebabkan keharusan penyesuaian manajemen terhadap perilaku, kecakapan dan sikap. Dalam konteks ini, contoh yang paling mudah dilihat adalah outsourcing (pelimpahan pekerjaan ke pihak luar). Organisasi pemerintahan maupun swasta melimpahkan sebagian atau bahkan keseluruhan dari sebuah aktivitas kepada suatu organisasi indipenden yang mempunyai spesialisasi pada jenis aktivitas tersebut. Pemahaman spesialisasi ini tidak hanya menyangkut spesialisasi bagi organisasi yang fokus aktvitas/bisnis tertentu saja (core bisnis), akan tetapi secara individual menciptakan para spesialis yang memiliki keahlian dibidang tertentu.
Dalam buku lainnya, Peter Drucker (1997; hal 75); menyebutkan para pekerja berpengetahuan tidak menghasilkan produk, namun menghasilkan berbagai ide, informasi dan konsep. Pekerja dimaksud adalah spesialis, yang telah belajar untuk mengerjakan sesuatu dengan baik, Namun spesialisasi sendiri adalah suatu hal yang menjemukan; Outputnya perlu digabungkan dengan output spesialis lainnya, sebelum spesialisasi ini bisa menghasilkan. Perubahan lainnya dapat dilihat pada kecenderungan kearah aliansi sebagai sarana untuk pertumbuhan bisnis, sehingga struktur dan cara menjalankan bisnis tidak lagi didasarkan pada kepemilikan, tetapi bergeser pada kemitraan, yaitu usaha bersama (joint venture).
Tanggungjawab sosial merupakan issue mendasar lainnya; organisasi moderen harus mempunyai kekuatan sosial, bahkan untuk organisasi non bisnis kekuatan sosialnya lebih kuat. Milton Friedman (ekonom terkemuka dan pemenang hadiah nobel) mengemukakan pendapatnya bahwa merupakan suatu kesia-sia belaka, apabila organisasi bisnis hanya memiliki orientasi pada pencapaian kinerja ekonomi. Namun ini, tidak salah, asalkan kinerja ekonomi menjadi dasar pijakan untuk melakukan tanggungjawab sosial, karena tidak mungkin bagi organisasi bersangkutan melakakukan tanggungjawab sosial-nya, tanpa mendapatkan laba terlebih dahulu.
Kemajuan teknologi menyebabkan perubahan dalam kehidupan masyarakat, menjadi masyarakat yang pengetahuan dengan berbasis pada pemanfaatan jaringan teknologi informasi. Masyarakat akan selalu selalu memiliki preferensi yang berubah dengan cepat, Oleh Kenichi Ohmae (2005; hal 293), setiap gelombang teknologi baru akan mempunyai korbannya masing-masing, yaitu mereka (“organisasi’) yang tidak mampu mengikuti perubahan zaman (maksudnya “perkembangan teknologi’), sehingga setiap organisasi harus mengerahkan segala kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Implikasinya terhadap pendekatan manajemen adalah keharusan mengikuti 3 (tiga) praktek yang sistematis; (1) peningkatan berkelanjutan pada segala sesuatu yang dilakukan organisasi, oleh masyarakat Jepang disebut “Kaizen”, yang tujuan utamanya adalah meningkatkan sebuah produk/layanan menjadi benar-benar berbeda dalam dua atau tiga tahun (memperpendek life cycle); (2) kemampuan mengeksploitasi pengetahuan yang dimiliki; dan (3) terus belajar untuk berinovasi.
Ketiga hal disebutkan diatas, menyebabkan dampak ikutan terhadap kebutuhan untuk melakukan perubahan struktur organisasi (“khususnya lingkup bisnis”); desentralisasi, untuk segera mengambil keputusan dengan cepat, karena pertimbangan kedekatan dengan pencapaian kinerja, tuntutan pasar, kemajuan teknologi dan banyak hal lainnya.
Dalam tulisan James A. Champy pada buku The Organization of the Future; Frances Hesselbein et all (1997; hal 9-10); untuk mencapai tujuan organisasi pada perspektif waktu kedepan ada kecenderungan untuk melakukan reengineering, yaitu melakukan perubahan pola kerja organisasi yang tidak harus mengikuti fungsi, tetapi mengikuti proses hingga seringkali melewati batas-batas fungsional. Perubahan mendasar terhadap pencapaian tujuan organisasi, kadangkala berdampak terhadap upaya untuk membangun kembali bidang usaha (reinventing), ditandai dengan perubahan dalam berbagai unsur organisasi sekaligus. Kombinasi dari tindakan reengineering dan reinventing tadi, maka bagi organisasi bersangkutan akan melakukan; setiap prosedur dilakukan desain ulang, beberapa kesempatan dan strategi baru akan dimunculkan, struktur organisasi dan hubungan kerja akan terjadi pergeseran, baik kedalam maupun keluar organisasi, pekerjaan para manajer disesuaikan kembali dan perubahan terhadap tingkah laku karyawan. Keseluruhan perubahan tadi membutuh proses relatif lama, karena terkait dengan perubahan budaya organisasi, namun tetap harus dilakukan apabila ingin tetap bertahan (survive) ditengah ketatnya persaingan bisnis.
Penulis lainnya; Riq Duques Paul Gaske, dalam buku yang sama (hal 41-51), mengatakan bahwa organisasi besar di masa depan akan melakukan strategi-strategi sebagai berikut; (1) Bertindak seperti perusahaan kecil ; (2) Menciptakan prioritas yang tinggi untuk inovasi; (3) Menciptakan fungsi organisasi yang ramping dan bernilai tambah; serta (4) Menciptakan budaya semangat kerja.
C. Reformasi Birokrasi & Implementasinya
Sebelum membicarakan penerapan Manajemen secara praktis dilingkungan pemerintahan daerah, terlebih dahulu dibicarakan reformasi birokrasi, dimana menurut Michael Dugget (lihat Asmawi Rewansyah; 2010, hal 123), disebutkan bahwa reformasi birokrasi adalah proses yang dilakukan secara kontinyu untuk mendesain ulang birokrasi, yang berada dilingkungan pemerintah dan partai politik, sehingga berdaya guna dan berhasil guna ditinjau dari aspek hukum dan politik.
Adapun dasar pemikiran perlunya dilakukan upaya reformasi ini di Indonesia, ditentukan oleh; Pertama, perubahan paradigma sistem pemerintahan, yaitu perubahan dari sistem pemerintahan yang otoriterian-sentralis ke sistem pemerintahan demokratis-desentralisasi. Kedua, kondisi obyektif birokrasi pemerintahan yang dirasakan sudah tidak relevan lagi, diantaranya terdapat fakta-fakta; (1) Kelembagaan pemerintahan yang gemuk; (2) tidak didukung SD – Aparatur yang memiliki etos kerja, karena lemahnya perhatian pada aspek kesejahteraan; (3) sistem administrasi yang rumit dan berkonotasi berbiaya ekonomi tinggi; (4) budaya kerja kurang berdisiplin, bahkan cenderung terjadinya KKN; dan (5) kejenuhan masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diberikan pemerintah.
David Osborne dan Peter Plastrik (2001; hal 21); menegaskan bahwa dalam dunia yang berubah dengan cepat, revolusi teknologi, persaingan ekonomi global, pasar yang mengalami demassalisasi, masyarakat yang semakin terdidik dan kritis, pelanggan (“masyarakat yang dilayani”) semakin menuntut dan keterbatasan pembiayaan publik, maka penerapan birokrasi yang bersifat monopoli atas ke bawah yang tersentralisasi, akan terjadi terlalu lamban, tidak responsif dan tidak mampu menampung perubahan (inovasi).
Dari banyak pemikiran untuk mengatasi hal tersebut, salah satunya merujuk pada langkah-langkah reformasi mendasar yang diajukan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1999), dimana reformasi yang relevan untuk dibahas lebih lanjut adalah menjadikan Pemerintahan yang Kompetitif – Orientasi pada Persaingan Kedalam Pemberian Pelayanan & Berjiwa Entrepreneur, dimana perbedaan dengan sistem birokrasi adalah sebagai berikut :
Disalin ulang dari Syafuan Rozi Soebhan (2000; hal 5).
Merujuk pada pemikiran diatas, penerapan praktis yang saat ini menjadi tren dilingkungan pemerintahan daerah adalah pembentukan unit pelayanan satu atap (terpadu), yang semula diawali dengan pembentukan Sistem Administrasi Manunggal Dibawah Satu Atap (SAMSAT) dalam hal pengurusan STNK dan BPKB, yang didalamnya terdiri 3 (tiga) Instansi berbeda, yaitu Dinas Pendapatan Daerah, Satlantas Polda dan PT (Persero) Asuransi Jasa Raharja. Perkembangan selanjutnya sistem pelayanan satu atap ini sudah mencakup jenis pelayanan lainnya, seperti; (1) pengurusan perizinan berupa IMB, SITU dan SIUP; (2) pembuatan KTP, Kartu Keluarga dan Akte Kelahiran; serta (3) pelayanan kesehatan.
Dalam Good Governance Brief (2009; hal 3); USAID melalui Local Governance Support Program (LGSP), mendefinisikan pelayanan satu atap adalah beberapa pelayanan Pemerintah Daerah yang disatukan dalam sebuah lokasi, dimana tujuan utamanya adalah peningkatan efisiensi dengan menggabungkan proses pelayanan yang berkaitan, mengurangi waktu perjalanan, waktu tunggu pelanggan serta biaya yang harus dikeluarkan.
Secara teoritis, sistem pelayanan satu atap ini sudah menerapkan prinsip-prinsip sistem pemerintahan entrepreneur, yaitu mengendepankan pelayanan (services), dimana didalamnya terdapat beberapa unsur menonjol berupa kerjasama tim lintas fungsional, persaingan tim dan pengendalian oleh pelanggan (“masyarakat”) sebagai obyek pelayanan. Oleh James A. Champy, “reengineering” suatu organisasi mengharuskan dilakukannya perubahan pola kerja yang ditentukan oleh proses, sehingga didalam sistem pelayanan satu atap sudah diklasifikasikan sebagai reengineering, mengingat tim yang terlibat merupakan gabungan beberapa organisasi yang berbeda fungsi pokoknya, sehingga disini terjadi pola kerja bersifat lintas fungsional.
Merujuk pada pemikiran Peter Drucker, pelayanan satu atap yang menggabungkan beberapa organisasi yang berbeda fungsi untuk melaksanakan proses pekerjaan (“pelayanan”) tertentu, dapat diidentikan sebagai penggabungan “spesialisasi keahlian” yang berbeda. Sebagai contoh SAMSAT, pihak Dinas Pendapatan Daerah memiliki keahlian dalam hal penentuan perpajakan, Satlantas Polda memiliki keahlian identifikasi kendaraan dan PT (Persero) Asuransi Jasa Raharja dalam hal keahlian penentuan besaran asuransi. Kombinasi keahlian (spesialisasi) ini-lah, yang menurut Peter Drucker akan menghasilkan produk (“jasa layanan”) yang lebih baik.
Kerjasama tim terjadi persaingan yang sehat, karena pola kerja yang ditentukan oleh proses, masing-masing anggota tim melaksanakan tugas menurut fungsi pokok-nya dalam satu rangkaian proses yang saling terkait. Identifikasi masalah dapat segera ditentukan; kelihatan dengan jelas fungsi mana sebagai pemicu masalah. Kondisi seperti ini-lah yang memberikan nilai positif terhadap terjadinya persaingan yang sehat, karena setiap anggota tim akan berusaha tidak membuat kesalahan. Pengendalian oleh pelanggan dipersepsikan sebagai rujukan dalam mengukur tingkat kepuasan pelanggan disatu sisi, dan disisi lainnya akan menjadi indikator penilaian kinerja organisasi. Kepuasan pelanggan berkorelasi positif terhadap peningkatan kinerja organisasi.
Tindakan “reinventing” dalam hal sistem pelayanan satu atap ini belum menjadi prioritas, karena tidak diperlukan perubahan struktur organisasi. Sesuai dengan pemikiran Kenichi Ohmae; setiap organisasi yang tergabung didalamnya cukup hanya mendesentralisasikan fungsi-fungsi teknis operasional, keputusan yang bersifat taktis diberikan kewenangan sepenuhnya kepada anggota tim sesuai fungsinya masing-masing. Tuntutan pelayanan dalam masyarakat yang berpengetahuan, baik oleh Kenichi Ohmae maupun Riq Dugues Paul Gaske, sama-sama merekomendasikan perlunya dilakukan inovasi. Dalam lingkup pelayanan satu atap ini, upaya inovasi tidak berorientasi pada produk, tapi lebih ditekankan pada pola kerja dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, guna lebih mempercepat proses pelayanan.
Implementasi lainnya yang dapat dijadikan rujukan dalam penerapan sistem pemerintahan entrepreneur adalah diberlakukannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2007 tentang Badan Layanan Umum (BLU). Konsepsi BLU ini pada prinsipnya pemberian desentralisasi pengelolaan keuangan bagi organisasi pemerintahan yang ditetapkan menjadi BLU, baik oleh Presiden bagi organisasi Pemerintah Pusat maupun Gubernur/Bupati/Walikota untuk organisasi pada tingkat pemerintahan provinsi/ kabupaten/kota.
Desentralisasi dimaksudkan dapat berdampak terhadap terjadinya “reinventing”, karena organisasi bersangkutan secara fungsional dapat melakukan perombakkan bidang usaha-nya dalam rangka meningkatkan pelayanan, tanpa menimbulkan perubahan struktur organisasi yang berlaku menurut ketentuan pemerintah. Umumnya, perombakkan tersebut mengarah pada pembentukan Strategic Bussiness Unit (SBU), dan sesuai dengan pemikiran Riq Duques Paul Gaske, maka SBU tadi sesuai dengan kecenderungan strategi organisasi masa depan, yaitu bertindak seperti perusahaan kecil dan menciptakan fungsi organisasi yang ramping dan bernilai tambah tinggi.
Dilingkungan jasa layanan kesehatan, khususnya RSUD; pembentukan SBU dilakukan pada Instalasi Rawat Inap (IRNA), yang orientasinya sudah mengarah pada fungsi ekonomi (profit oriented), tanpa melepaskan fungsi sosial-nya. Konsepsi dasarnya adalah pelanggan (“pasien”) sebagai pengendali (pencipta pasar), dimana pelanggan yang memiliki latar belakang ekonomi yang kuat menghendaki kualitas pelayanan medik lebih baik, dan tarif sepadan dengan fasilititas dan tindakan medik yang diberikan. Berdasarkan konsepsi tadi, maka pembentukan SBU dilakukan dengan membentuk Paviliun, yang dapat diidentikan dengan perusahaan kecil, dengan struktur organisasi yang ramping dan lebih menekankan pada pelaksanaan fungsi, keputusan operasional dilimpahkan sepenuhnya, sehingga pelayanan dapat dilaksanakan dengan profesional, cepat dan tepat waktu. Aliansi strategis terjadi dalam skala internal, berupa kemitraan antar Instalasi, misalnya dari Instalasi Penunjang Medik berupa Unit Laboratorium dan Radiologi, akan akan berperan menyediakan layanan uji lab dan foto rontgen yang diperlukan untuk diagnosis medik lanjutan, tanpa SBU bersangkutan membentuk unit kerja tersendiri untuk keperluan tersebut.
Tanggungjawab sosial diwujudkan dalam bentuk subsidi silang (cross subsidiary), keuntungan SBU (“Paviliun”) digunakan untuk menutup kekurangan biaya operasional kesehatan bagi pasien tidak mampu (kelas ekonomi). Bukankah ini landasan pemikirannya dapat dibenarkan oleh Milton Friedman, sebagaimana disadur oleh Peter Drucker; tidak mungkin peran sosial dikedepankan tanpa terlebih dahulu mewujudkan kinerja ekonomi (profit).
Dari gambaran diatas, pembentukan SBU dilingkungan RSUD mengandung banyak pemenuhan prinsip-prinsip sistem pemerintahan entrepreneur, antara lain :
1. Memberdayakan (empowering) semua potensi yang ada untuk memberikan pelayanan melalui kerjasama tim (team work), dengan melakukan kemitraan dan sekaligus menjadikan adanya persaingan yang sehat (competion) diantara unit kerja yang ada ;
2. Menghasilkan dana (funding outcomes), sehingga mampu memberikan subsidi silang bagi pasien tidak mampu ;
3. Menjadikan pelanggan sebagai faktor kendali (customer driven) dan menjadikan pasar (market) sebagai peluang untuk memberikan pelayanan terbaik.
D. Kesimpulan
Reformasi birokasi yang orientasi-nya bergeser dari sistem pemerintahan birokratis manjadi sistem pemerintahan entrepreneur, menyebabkan perubahan mendasar, diantaranya terhadap struktur organisasi pemerintahan, yang tanpa sadari sudah sejalan dengan perkembangan pemikiran organisasi kedepan. Dalam skala kecil dan faktual diwujudkan dengan pembentukan unit kerja pelayanan sistem satu pintu (terpadu) dan Badan Layanan Umum (BLU), yang hasilnya dapat dibuktikan, dan dapat dijadikan inisiasi bagi kegiatan pemerintah lainnya.
Perubahan-perubahan yang dicontohkan diatas merupakan positifisme dan normatifisme Ilmu Manajemen dalam ranah pemerintahan, yang saat ini memasuki tahap reformasi.
P e n g a n t a r
Tanpa disadari bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang sudah berlansung dalam duabelas tahun terakhir ini, sejalan dengan beberapa perubahan mendasar dibidang ilmu manajemen, terutama dalam kaitannya dengan perubahan organisasi sebagai dampak daripada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Organisasi dimasa depan, baik dalam lingkup pemerintahan maupun swasta (bisnis), cenderung akan mengarah pada spesialiasi dan pembentukan sistem jaringan kerja, disamping melakukan desentralisasi pengambilan keputusan. Di Indonesia, kecenderungan tadi diwujudkan dengan keinginan bersama untuk melakukan reformasi birokrasi, yaitu menjadikan pemerintahan yang kompetitif, berorientasi pada pemberian pelayanan. Dalam konteks ini beberapa pengalaman praktis (best practice) dapat dijadikan rujukan, seperti pemberian pelayanan terpadu sistem satu pintu dan penerapan Badan Layanan Umum (BLU). Kedua contoh tadi telah membuktikan bahwa organisasi pemerintahan dapat lebih efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, tanpa dihambat sistem birokrasi yang kaku. Diharapkan keberhasilan ini dapat merambah pada pelbagai aspek pelayanan birokrasi lainnya, diawali dengan perubahan pola pikir (mind set) para pelaku birokrasi itu sendiri, yaitu mampu memposisikan diri sebagai entrepreneur. Tulisan ini mencoba memberikan sedikit gambaran tentang perubahan manajemen dimaksud, yang memiliki relevansi terhadap pelaksanaan otonomi daerah, khususnya dalam lingkup optimalisasi pemberian pelayanan kepada masyarakat, sejalan dengan keinginan menjadikan birokrasi pemerintahan yang efisien dan efektif.
Oleh
Diddy Rusdiansyah A.D, SE., MM., M.Si
Dosen Tetap Pada Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda
Daftar Pustaka
1) Drucker, Peter F. 1997. Managing in a Time of Great Change. Alih Bahasa Agus Teguh Handoyo. Jakarta; PT. Elex Media Komputindo.
2) Drucker, Peter F. 1997. The Effective Executive. Alih Bahasa Agus Teguh Handoyo. Jakarta; PT. Elex Media Komputindo.
3) Hesselbein, Frances, Marshal Goldsmith & Richard Bechard (editor). 1997. The Organization of the Future. Alih Bahasa Ahmad Kemal. Jakarta; PT. Elex Media Komputindo.
4) Ohmae, Kenichi 2005. The Next Global Stage – Tantangan dan Peluang di dunia yang Tidak Mengenal Batas Kewilayahan. Alih Bahas Achmad Fauzi, S.S. Jakarta; PT. Indeks.
5) Osborne, David dan Ted Gaebler. 1999. Mewirausahakan Birokrasi – Mentrasformasi Semangat Wirausaha kedalam Sektor Publik. Penerjemah Abdul Rosyid. Cetakan Kelima, Mei 1999. Jakarta; PT. Pustaka Binaman Pressindo.
6) Osborne, David dan Peter Plastrik. 2001. Memangkas Birokrasi – Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. Penerjemah Abdul Rosyid dan Ramelan. Cetakan Kedua (revisi), Febuari 2001. Jakarta; Penerbit PPM.
7) Rewansyah, DR. Asmawi, MSc. 2010. Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Good Governance. Cetakan Pertama. Perbruari 2010. Jakarta; PT. Yusaintanas Prima.
8) Soebhan, Syafuan Rozi. 2000. Model Reformasi Birokrasi Indonesia (sebuah paper). Diunduh tanggal 30 Desember 2010. PPM LIPI. http://www.bpkp.go.id/ Unit/sutra/reformasi.pdf.
9) Usaid. 2009. Pembaharuan dalam Manajemen Pelayanan Publik Daerah – Tantangan dan Peluang Dalam Desentralisasi di Indonesia. Publikasi Local Governance Support Program (LGSP). Juli 2009. http://www.usaid.ksap.gov/ pdf.docs/PNADQ133.pdf.
Leave a Reply