A. Latar Belakang Masalah
Kalimantan Timur (Kaltim) adalah provinsi di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA), baik yang dapat diperbaharui (renewable resources) maupun yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Potensi SDA tersebut memberikan nilai tambah tersendiri terhadap pembentukan PDRB, yang menjadi indikator ekonomi makro tingkat regional. Selama kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir, yaitu 2006-2008; rata-rata pencapaian posisi PDRB Kaltim adalah PDRB migas sebesar Rp 246.05 T dan PDRB non migas sebesar Rp 103.04 T. Apabila hal ini dikaitkan dengan jumlah penduduk yang ada, maka selama kurun waktu tersebut pendapatan perkapita penduduk Kaltim relatif besar, yaitu mencapai Rp 79,84 juta/kapita atas dasar PDRB migas, atau Rp 33,41 juta/kapita atas dasar PDRB non migas.
Namun besarnya posisi PDRB yang didukung dengan pelbagai kekayaan potensi SDA tidak menjadi jaminan bagi Kaltim untuk bebas dari kemiskinan, terbukti dari publikasi BPS Pusat yang menyebutkan bahwa sampai dengan Maret 2010, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta orang (13,33 %), walaupun angka tersebut dikatakan mengalami penurunan sebesar 1,51 juta orang, dibandingkan Maret 2009 yang mencapai 32,53 juta orang (14,15 %). Dalam konteks Kaltim, jumlah penduduk miskin per Maret 2010 mencapai 243 ribu orang (7,66 %); dan ini sebenarnya sudah mengalami penurunan, karena pada Maret 2009 sebelumnya mencapai 239,22 ribu orang (7,77 %).
Dibandingkan provinsi lainnya, angka kemiskinan tersebut masih relatif tinggi, mengingat beberapa provinsi dapat mencapai dibawah angka kemiskinan Kaltim, yaitu :
Catatan :
– Prosentase tersebut mencakup penduduk miskin kota & desa.
– Rangking didasarkan pencapaian angka kemiskinan terendah.
Keterangan :
1) Provinsi yang dipilih adalah angka kemiskinan-nya dibawah Provinsi Kaltim.
2) Provinsi DKI Jakarta, angka kemiskinan-nya hanya mencakup penduduk perkotaan.
Sumber : Berita Resmi Statistik BPS No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010.
Berdasarkan penyajian data diatas bebarapa provinsi mengalami laju penurunan kemiskinan yang signifikan, sehingga berdampak terhadap pencapaian rangking terendah, yaitu Bali, Banten dan Bangka Belitung. Sementara untuk Kaltim sendiri tidak mengalami perubahan (tetap bertahan pada posisi ke-7). Hal ini berarti ada permasalahan mendasar terhadap kebijakan pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah, sementara potensi ekonomi yang ada masih memungkinkan penciptaan peluang pasar (“penyerapan”) tenaga kerja, yang dapat menjadi salah satu faktor untuk menggeser gini ratio menjadi lebih baik lagi, sehingga mampu menekan angka kemiskinan.
B. Garis Kemiskinan & Angkatan Kerja
Garis kemiskinan dapat diartikan sebagai tingkat minimum pendapatan yang dianggap dapat memenuhi syarat hidup layak pada suatu daerah setiap bulannya, sehingga penduduk dapat dikatakan “miskin” apabila memiliki rata-rata pengeluaran perbulan berada dibawah garis kemiskinan (minuman pendapatan). Dalam konteks ini, setiap daerah akan berbeda tingkat minimum pendapatannya, yang dipengaruhi tingkat kemahalan (harga) komoditas, baik berupa kelompok makanan dan kelompok bukan makanan.
Khususnya untuk Kaltim, garis kemiskinan tahun 2009 berada pada posisi minimum pendapatan Rp 269.275,-/kapita/bulan, dan pada tahun 2008 sebelumnya adalah Rp 224.084,-/kapita/bulan. Sementara itu, dikaitkan dengan rata-rata pengeluaran penduduk dalam periode waktu bersamaan menunjukkan hal yang bersifat kontradiktif, yaitu ± 50 % diatas garis kemiskinan; Kondisi seperti ini idealnya tidak akan ada penduduk miskin, namun realitasnya menunjukkan kondisi sebaliknya.
Sumber : Kaltim Dalam Angka Tahun 2009, publikasi BAPPEDA & BPS Provinsi Kaltim.
Gini rasio, yang menjadi dasar pengukuran adanya ketimpangan pendapatan, menunjukkan bahwa 40 % penduduk yang berpenghasilan rendah menikmati 23,8 % (2008) dan 22,5 % (2009) pembentukan pendapatan regional (PDRB); dan ini dikategorikan sebagai kesenjangan lunak (> 17 %), sehingga dapat disimpulkan di Kaltim distribusi pendapatan (PDRB) dianggap cukup merata (Dumairy; hal 55). Ini berarti, kemiskinan yang terjadi tidak disebabkan adanya ketidakmerataan pendapatan, namun disebabkan oleh faktor-faktor lainnya.
Kemiskinan dapat terjadi, karena tidak ada pekerjaan atau kalaupun berkerja tidak bersifat permanen, dan menghasilkan pendapatan yang tidak layak. Berdasarkan jumlah penduduk di Kaltim selama periode 2005-2009, menunjukkan laju pertumbuhan rata-rata 2,32 %/tahun, sementara jumlah angkatan kerja mencapai laju pertumbuhan rata-rata 5,24 %/tahun (2005-2008), akan tetapi proporsi angkatan kerja terhadap jumlah penduduk secara keseluruhan hanya mencapai rata-rata 43,22 %/tahun selama 2005-2008. Berarti, secara kasar terdapat ± 56,78 % penduduk bukan angkatan kerja, atau tidak bekerja dengan berbagai alasan, seperti masih mencari pekerjaan, sekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya.
Proporsi relatif angkatan kerja yang lebih besar dibandingkan bukan angkatan kerja akan memberikan pengaruh positif terhadap penciptaan daya beli (kemampuan belanja) atau penghimpunan pendapatan menjadi lebih besar. Sebaliknya, apabila proporsi bukan angkatan kerja yang lebih besar dibandingkan angkatan kerja, maka ini akan menekan daya beli/penghim- punan pendapatan. Secara teoritis peningkatan daya beli/penghimpunan pendapatan yang disebabkan banyaknya penyerapan tenaga kerja, akan menjadi salah satu faktor yang dapat mengurangi penduduk miskin.
Keterangan :
1) Angka proyeksi
2) Belum ada data
Sumber : Kaltim Dalam Angka Tahun 2009 & 2007, publikasi BAPPEDA & BPS Provinsi Kaltim.
C. Tinjauan Teoritis
Lembaga Demografi FE UI (2010; hal 81) menyebutkan beberapa faktor signifikan yang dapat mengurangi jumlah penduduk miskin, yaitu; (1) inflasi umum yang stabil; (2) penurunan harga beras yang merupakan kebutuhan pokok penduduk miskin; (3) perbaikan kondisi penduduk miskin di pedesaan yang bekerja di sektor pertanian; dan (4) berkurangnya pengangguran karena terbukanya lapangan kerja, terutama disektor informal, dimana porsi penduduk miskin dominan berada disektor ini.
Muhammad Yunus (2008); menyebutkan bahwa upaya mengatasi kemiskinan adalah dengan memberikan kemudahan bagi penduduk miskin mengakses pasar keuangan, untuk mendapatkan “modal usaha” tanpa dibelenggu aturan keuangan konvensional yang tidak berpihak kepada penduduk miskin. Pendapat ini jelas merekomendir perlunya dukungan permodalan bagi penduduk miskin; Di Indoensia konsep ini diwujudkan dengan mengintrodusir Kredit Usaha Rakyat (KUR) berbasis pembiayaan APBN, sementara di Bangladesh diwujudkan dengan pembentukan bisnis sosial (“salah satunya Grameen Bank”), berbasis kemandirian penduduk miskin itu sendiri (mungkin masih ada pengaruh ajaran Mahatma Gandhi “swadeshi”).
Faisal Basri dan Haris Munandar (2009; hal 53); mencontohkan keberhasilan mengatasi kemiskinan di Negara Kamboja, Vietnam dan Laos, dengan hanya menerapkan pendekatan ekonomi yang sederhana, namun manusiawi, yaitu memacu produksi sektor riil, khususnya pertanian dan industri ringan, disamping memberikan bantuan sederhana bagi penduduk miskin yang berpenghasilan kurang dari US $ 1/kapita/hari. Hasilnya secara signifikan mampu mengurangi angka kemiskinan secara konsisten setiap tahunnya. Berbeda dengan Negara Indonesia, angka kemiskinan perkembangannya berfluktiatif. Pada tahun 2005; akibat kenaikan harga BBM mencapai ± 100 % mengakibatkan kenaikan drastis angka kemiskinan, disisi lainnya pemberian BLT pada tahun 2008, ada kemungkinan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan angka kemiskinan.
Sejalan dengan pemahaman Faisal Basri, oleh Mudrajad Kuncoro (2007; 363), dikatakan bahwa menumbuhkembangkan industri kecil dan rumah tangga (IKRT) akan memberikan keuntungan terhadap penyerapan tenaga kerja serta penggunaan sumber daya alam lokal, terutama dipedesaan. Penyerapan tenaga tersebut dimensi manfaatnya akan berdampak terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, pengurangan kemiskinan, pemerataan distribusi pendapatan dan pembangunan ekonomi pedesaan.
Simon Kuznets (Mudrajad Kuncoro; hal 105); ketidakmerataan pendapatan menurun sejalan dengan peningkatan GNP perkapita (“PDRB per kapita” pada tingkatan regional) pada tahapan pembangunan selanjutnya. Ada 3 (tiga) faktor penyebab terjadinya kemiskinan (hal 107), yaitu; Pertama, secara mikro kemiskinan muncul karena adanya ketidakseimbangan kepemilikan sumber daya, yang menimbulkan distribusi pendapatan yang tidak berimbang; Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia, yang berimplikasi terhadap rendahnya tingkat produktifitas, dan ini selanjutnya berdampak terhadap perolehan upah yang rendah; Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam akses modal.
Perwakilan Bank Dunia di Indonesia (2006; hal xi), menyebutkan hampir 42 % penduduk Indonesia hidup diantara garis kemiskinan US $ 1 – US $ 2. Kemiskinan dari segi non pendapatan adalah masalah yang lebih serius dibandingkan dengan kemiskinan dari segi pendapatan; Apabila kita memperhitungkan semua dimensi kesejahteraan – konsumsi yang memadai, kerentanan yang berkurang, pendidikan, kesehatan dan akses terhadap infrastruktur dasar. Hampir sebagian besar penduduk Indonesia diperkirakan pernah mengalami paling tidak satu jenis kemiskinan, bila dilihat dari segi kemiskinan non pendapatan ini.
Bank Dunia merekomendasikan 3 (tiga) cara untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu; (1) membuat pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi rakyat miskin; (2) membuat layanan sosial bermanfaat bagi rakyat miskin; dan (3) membuat pengeluaran pemerintah bermanfaat bagi rakyat miskin.
D. Permasalahan & Kebijakan Mengatasi Kemiskinan
Kemiskinan yang terjadi di Kaltim Timur penyebab utamanya tidak terletak pada ketidakmerataan pendapatan, namun lebih disebabkan oleh rendah penyerapan tenaga kerja; diukur dari jumlah angkatan kerja terhadap jumlah penduduk secara keseluruhan. Sedangkan ukuran kemiskinan merujuk pada jumlah pendapatan minimal untuk dapat hidup selayaknya.
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, gini rasio Kaltim berada pada tingkatan lunak (“tidak ada kesenjangan pendapatan yang berarti”). Fakta ini menguatkan pendapat Simon Kusnetz, yang menyebutkan bahwa pemerataan pendapatan akan berkurang, sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita.
Keterangan :
1) Atas dasar harga berlaku.
Sumber : Kaltim Dalam Angka Tahun 2009, publikasi BAPPEDA & BPS Provinsi Kaltim.
Penyajian data diatas memberikan indikasi terhadap pembuktian premis Simon Kuznets, selama periode waktu 2006-2008 pendapatan perkapita di Kaltim mengalami peningkatan, baik dengan memperhitungkan migas maupun tanpa memperhitungkan migas. Walaupun disisi lainnya, dalam kurun waktu yang bersamaan laju pertumbuhan ekonomi berfluktusi.
Permasalahan rendahnya penyerapan tenaga kerja akan terkait dengan struktur ekonomi pembentuk PDRB (“PDRB berdasarkan lapangan usaha”), karena tidak semua sektor ekonomi dapat menyerap tenaga kerja relatif besar. Oleh Faisal Basri dan Haris Munandar (2009; hal 44-45); disebutkan bahwa dalam kasus Indonesia, seharusnya pertumbuhan ekonomi ditopang oleh sektor-sektor ekonomi yang tercakup didalam “tradeable”, karena dengan tingkat kesejahteraan dan pendidikan rata-rata penduduk masih rendah, serta akses ke informasi dan sumber daya ekonomi yang timpang, maka apabila pertumbuhan ekonomi ditopang sebaliknya oleh sektor-sektor ekonomi lingkup “non tradeable” akan menimbulkan resiko, karena; Pertama, sektor ekonomi non tradeable ini (“kadangkala dikatakan sektor jasa”) pada umumnya bersifat padat modal dan bermuatan teknologi tinggi; Kedua, terkonsentrasikan di perkotaan saja, terutama kota-kota besar; Dan ketiga, menyerap sedikit tenaga kerja dilihat dari aspek kuantitas, disamping tuntut edukasi (aspek kualitas) yang menyebabkan mereka yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi saja yang dapat memasuki sektor ini.
Berbeda dengan sektor ekonomi tradeable; masih memungkinkan dilaksanakan dengan pola intensif tenaga kerja, karena bobot teknologinya bersifat sederhana atau menggunakan teknologi tinggi yang dikombinasikan dengan pengguaan tenaga manusia, sehingga cukup menyerap banyak tenaga kerja.
Sumber : Kaltim Dalam Angka Tahun 2009, publikasi BAPPEDA & BPS Provinsi Kaltim.
Penyajian data pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa selama periode waktu 2006-2008, baik berdasarkan PDRB Migas maupun Non Migas; sektor ekonomi lebih didominasi sektor yang bersifat “tradeable”, terutama sektor pertambangan non migas. Namun, mengingat sektor pertambangan non migas ini terutama batu bara diekspor dalam bentuk komoditi mentah (belum diolah), maka tidak memberikan dampak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja.
Pada tataran penduduk pedesaan yang berbasis pertanian sebagai lapangan usahanya, maka seharusnya perhatian Pemerintah Daerah adalah memacu pertumbuhan sektor pertanian, karena selain pertimbangan menyerap banyak tenaga kerja, juga berdampak terhadap penciptaan pendapatan (daya beli) yang mampu menggeser penduduk dari garis kemiskinan.
Potensi lahan pertanian di Kaltim cukup luas untuk pelbagai budidaya tanaman, terutama untuk budidaya tanaman keras (perkebunan), seperti karet, kelapa, kopi, lada, cengkeh, kakao dan kelapa sawit. Perkembangan luasan lahan yang telah digarap masih relatif rendah, karena membutuhkan biaya cukup besar untuk proses penggarapannya, dan harus dilakukan secara kolektif, baik secara informal melalui pembentukan kelompok tani, maupun secara formal, melalui pengelolaan oleh BUMN atau swasta murni, seperti PIR-Bun dan perkebunan besar swasta. Adapun potensi pasarnya adalah berorientasi ekspor, dengan permintaan yang terus meningkat.
Data yang tersajikan pada Tabel 5 diatas membuktikan bahwa sektor pertanian masih relatif rendah sumbangannya terhadap PDRB migas maupun PDRB non migas. Padahal hasil kajian Lembaga Demografi FE UI merekomendasikan upaya pengentasan kemiskinan dengan cara mendorong pembangunan ekonomi di pedesaan, dimana sebagian besar penduduk Indonesia bermukim permanen, walaupun di Kaltim sendiri jumlah penduduk yang bermukim di pedesaan hanya 44,05 % selama periode waktu 2006-2008; selebihnya merupakan penduduk yang bermukim di perkotaan, rata-rata 55,95 % (Kaltim Dalam Angka 2009; hal 75).
Namun strategi pembangunan pedesaan hraus tetap mendapatkan prioritas Pemerintah Daerah, karena ada 3 (tiga) tujuan mendasar yang dapat dicapai; (1) mendorong penduduk perkotaan yang belum bekerja, mau bekerja di pedesaan, sehingga akan menambah angkatan kerja dan menghasilkan pendapatan, dalam rangka mengurangi angka kemiskinan; (2) mengurangi tekanan kepadatan penduduk di perkotaan yang terus meningkat, sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk yang mencapai rata-rata 2,34 %/tahun dalam periode waktu 2006-2008 (Kaltim Dalam Angka 2009; hal 70), dimana dari aspek ini bertujuan pula untuk melakukan penyebaran penduduk secara mandiri, mengingat di Kaltim tingkat kepadatan penduduk relatif rendah; dalam periode waktu 2006-2008 rata-rata hanya 15,24 org/km2 (Kaltim Dalam Angka; hal 71) ; Disamping itu, yang lebih penting lagi adalah; (3) Menghimpun kekuatan sumber daya manusia, yang akan menjadi potensi penggarap lahan pertanian di pedesaan yang belum termanfaatkan.
Untuk mendukung pencapaian tujuan ketiga diatas, Pemerintah Provinsi Kaltim telah menyediakan fasilitas kredit untuk usaha perkebunan dan peternakan melalui Bankaltim (d/h. Bank Pembangunan Daerah/BPD), dan memberikan sertifikat lahan garapan untuk kelompok tani (sebelumnya sudah dipelopori oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, dalam rangka pembukaan lahan kritis/tidak termanfaatkan untuk perkebunan). Konsepsi ini sejalan dengan pemikiran Muhammad Yunus, lebih menekankan pada kemandiri untuk bekerja.
Konsepsi yang sama, namun dengan pola yang berbeda adalah penerapan Program Pemberdayaan Distrik dan Kampung (PPDK) di Kabupaten Jayapura, dimana peran masyarakat secara mandiri didorong untuk memberdayakan potensi yang ada di distrik/kampung masing-masing. Pemerintah Kabupaten beserta stakehorlder lainnya memberikan dukungan pembiayaan stimulan dan pengawasan pelaksanaannya saja (WIM Poli, 2007).
Strategi pembangunan di pedesaan sejalan pula dengan rekomendasi Perwakilan Bank Dunia, terutama strategi yang bertendensi meningkat produktifitas pertanian. Diagnosa kemiskinan yang dilakukan menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan di sektor pertanian tetap menjadi pendorong utama pengentasan kemiskinan. Data panel tahun 1993 dan 2000 menunjukkan bahwa 40 % pekerja pertanian di daerah pedesaan mampu keluar dari jerat kemiskinan dengan tetap bekerja di sektor pertanian pedesaan (2006; xv).
Untuk keperluan tersebut, upaya revitalisasi pertanian dilaksanakan bersamaan dengan pembenahan infrastruktur pertanian, khususnya jalan dan irigasi. Jalan diperlukan untuk kemudahan akses membawa hasil pertanian ke pasar, sedangkan irigasi sangat relevan mendorong diversifikasi hasil pertanian.
Sebagaimana telah disebutkan pada awal pembahasan, ukuran kemiskinan berdasarkan kriteria UNDP, yaitu terhadap rata-rata pengeluaran US $ 1/hari/kapita; BPS memodifikasi-nya menjadi akumulasi pengeluaran minimal (“layak”) per kapita per bulan, yang mencakup pengeluaran untuk kelompok makanan maupun bukan makanan.
Dalam konteks ini, khususnya untuk makanan; pengeluaran paling besar yang dilakukan penduduk Kaltim, secara berurutan adalah untuk padi-padian, makanan dan minuman jadi, tembakau dan sirih serta lkan. Sedangkan bukan makanan, sebagain besar pengeluaran penduduk Kaltim, secara berurutan adalah untuk perumahan, bahan bakar, penerangan dan air serta aneka barang dan jasa.
Keseluruhan pengeluaran tadi akan bergerak mengikuti perkembangan harga, yang terukur dari perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK). Pada Tabel 6, dapat diperhatikan bahwa kenaikan IHK, diikuti pula dengan kenaikan rata-rata pengeluaran penduduk untuk keperluan makanan dan bukan makanan. Dari sini dengan jelas faktor perkembangan harga (inflasi/IHK) merupakan salah satu faktor yang menentukan upaya menekan angka kemiskinan.
Keterbatasan infrastruktur di Kalimantan Timur, khususnya jaringan jalan dan jembatan yang dapat menembus sampai kepelosok (pedesaan); menyebabkan mahalnya biaya transportasi, sehingga memberikan pengaruh terhadap harga akhir komoditas sampai ke pedesaan (pedalaman). Untuk saat ini pengaruh tersebut belum diperhitungkan dalam IHK, karena IHK (inflasi) baru mencakup 3 (tiga) kota saja di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu Samarinda, Balikpapan dan Tarakan, yang fasilitas infrastruktur-nya relatif lebih baik.
Sumber : Kaltim Dalam Angka Tahun 2009, publikasi BAPPEDA & BPS Provinsi Kaltim.
Selama masalah infrastruktur belum menyentuh sampai ke pelosok, maka kemiskinan di Kaltim tidak dapat dituntaskan, paling tidak hanya dapat dikurangi, karena atas dasar ukuran pendapatan minimal tadi menyebabkan faktor kemahalan harga tidak dapat dihindarkan; sebagian besar pengeluaran rata-rata penduduk, baik untuk kelompok makanan maupun bukan makanan, tidak sepenuhnya dapat dihasilkan secara lokal, masih didatangkan dari luar, yang membutuhkan biaya transportasi hingga sampai ke konsumen akhir (termasuk penduduk pedesaan).
Di perkotaan; kemiskinan yang terjadi, selain disebabkan tidak bekerja atau bekerja paruh waktu (tidak tetap), dengan penghasilan yang belum mencukupi untuk hidup layak, juga disebabkan lapangan usaha penduduk lebih banyak berada di sektor informal, seperti perdagangan dan industri kecil/rumah tangga (IKRT). Skala usaha sektor ini relatif kecil, dan sifatnya hanya pemenuhan kebutuhan pasar lokal.
Upaya peningkatan skala usaha, selain membutuhkan permodalan, diperlukan pula diversifikasi produk dan pengembangan wilayah pemasaran, sehingga peran Pemerintah Daerah sangat diperlukan untuk membantu permodalan sebagaimana disarankan oleh Mudrajat Kuncoro.
Untuk keperluan perluasan pasar, dukungan dari Pemerintah Daerah berupa pelaksanaan kegiatan pameran lokal dan keikutsertaan pengusaha IKRT lokal pada pameran skala nasional. Upaya ini efektifitas keberhasilannya ditentukan oleh kemampuan IKRT bersangkutan melakukan diversifikasi produk secara konsisten sesuai kebutuhan pasar, dan mampu menjaga originalisasi produk, baik tampilan bentuk maupun selera. Pengembangan SDM para pengusaha IKRT merupakan upaya lainnya yang tidak kalah penting untuk tetap dilakukan, yang selama sudah menunjukkan hasil mengembirakan.
E. S i m p u l a n
Dari keseluruhan pembahasan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1. Kemiskinan yang terjadi bukan disebabkan oleh ketidakmerataan pendapatan penduduk, karena gini rasio menunjukkan angka > 17 % (kesenjangan lunak) ;
2. Lemahnya daya beli/kemampuan menghimpun pendapatan dalam jumlah yang layak sebagai ukuran kemiskinan, lebih disebabkan oleh faktor ketiadaan kesempatan kerja ;
3. Perkembangan sektor ekonomi yang bersifat tradeable, yang diharapkan dapat menjadi pemicu dalam penyerapan tenaga kerja, tidak sepenuhnya dapat diharapkan, karena khususnya untuk sektor ekonomi pertambangan hasilnya diekspor dalam kondisi mentah (raw material), sehingga penyerapan tenaga kerja relatif menjadi kurang ;
4. Sementara sektor ekonomi pertanian di pedesaan, belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya, walaupun potensi penyerapan tenaga kerja-nya relatif tinggi; sehingga Pemerintah Daerah harus berperan aktif untuk melakukan pembenahan infrastruktur pedesaan dan pengembangan budi daya pertanian, sehingga mampu menumbuhkan keberminatan penduduk berusaha (bekerja) di desa ; dan
5.Kemiskinan di perkotaan terjadi karena, selain tidak memiliki pekerjaan, juga disebabkan lapangan usahanya lebih bertumpu pada sektor informal (IKRT), dengan skala usaha kecil. Dalam kiatan ini peran Pemerintah Daerah diharapkan dapat memberikan bantuan permodalan dan perluasan jaringan pemasaran produk.
O l e h
Diddy Rusdiansyah A.D, SE., MM., M.Si – Dosen Tetap Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda
DAFTAR PUSTAKA
1) Basri, Faisal dan Haris Munandar. 2009. Lanskap Ekonomi Indonesia – Kajian dan Renungan Terhadap Masalah-masalah Struktural, Trasformasi Baru dan Prospek Perekonomian Indoneesia. Edisi I. Cetakan I. Jakarta; Kencana Prenada Media Group.
2) Bank Dunia – Perwakilan di Indonesia. 2006. Era Baru Dalam Pengentasan Kemiskinandi Indonesia (Ikhtisar). Dicetak November 2006. Diunduh pada tanggal 4 Desember 2010. http://sofian.staf.ugm.ac.id/Ikhtisar-Laporan-BD-ttg-Kemiskinan-di-Indonesia.pdf.
3) Badan Pusat Statistik. 2010. Berita Resmi Statistik – Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2010. No. 45/07/Th. XIII. Juli 2010. Diunduh tanggal 4 Desember 2010. http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan-01jul10.pdf.
4) Dumairy, Drs, MA. 1997. Perekonomian Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta; Penerbit Erlangga.
5) Fakultas Ekonomi UI – Lembaga Demografi, 2009. Indonesia Economics Outlook 2010. Cetakan Pertama. Jakarta; PT. Grasindo.
6) Kuncoro, Drs. Mudrajat. M.Soc.Sc. 2000. Ekonomi Pembangunan Teori, Masalah dan Kebijakan. Cetakan Kedua. Mei 2000. Yogyakarta; Unit Penerbitan & Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN.
7) Kuncoro, Prof. Mudrajad, Ph.D. 2007. Ekonomika Industri Indonesia – Menuju Negara Industri Baru 2030. Yogyakarta; CV. Andi Offset.
8) Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur & Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur. 2007. Kalimantan Timur Dalam Angka 2007. Kerjasama Publikasi Bappeda Provinsi Kaltim & BPS Provinsi Kaltim.
9) Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur & Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur. 2009. Kalimantan Timur Dalam Angka 2009. Kerjasama Publikasi Bappeda Provinsi Kaltim & BPS Provinsi Kaltim.
10)Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur & Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur. 2010. Kalimantan Timur Dalam Angka 2010. Kerjasama Publikasi Bappeda Provinsi Kaltim & BPS Provinsi Kaltim. Diunduh tanggal 4 Desember 2010. http://kaltim.bps.go.id/web/Eda10/10-11/pdf.
11)Poli, Prof. DR. WIM. 2007. Modal Sosial Pembangunan – Gambaran Dua Distrik di Kabupaten Jayapura. Makassar; Hasanuddin University Press.
12)Yunus, Muhamad dan Karl Weber. 2008. Menciptakan Dunia Tanpa Kemiskinan – Bagaimana Bisnis Sosial Mengubah Kehidupan Kita. Alih bahasa Rani R. Moerdiarta. Cetakan kedua. September 2008. Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama.
Leave a Reply