Press ESC to close

Implikasi dan Perspektif Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Nunukan Terhadap Strategi Perencanaan Pembangunan di Wilayah Perbatasan

A. P e n d a h u l u a n

Tulisan yang dikemukakan pada kesempatan ini merupakan pandangan yang bersifat pragmatis, dalam kaitannya dengan implikasi dan perspektif kedepan dilakukannya pemekaran Kecamatan perbatasan di  Kabupaten Nunukan; Sebagai suatu pandangan pragmatis, tinjauannya lebih mengedepankan kondisi riil, yang dikombinasikan dengan tinjauan teoritis, sehingga hasil akhirnya belum merupakan suatu pembenaran pendapat; masih terbuka peluang perbedaan pendapat, khususnya perbedaan pada perspektif kedepan terhadap kebijakan pemekaran Kecamatan dimaksud.
Sebagaimana diketahui, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) mencanangkan kebijakan “Sebatik” menjadi kawasan pengembangan agro industri dan jasa maritim, sebagai strategi untuk mengimbangi ketertinggalan pembangunan dengan Tawao (Malaysia). Kebijakan ini pada awalnya tidak ada keterkaitan langsung dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Nunukan melakukan pemekaran Kecamatan, karena tahapan pemekaran dimaksud sudah berjalan terlebih dahulu prosesnya. Namun kedua kebijakan tadi dalam konteks saat ini memiliki keterkaitan terhadap strategi perencanaan pembangunan ditinjau dari aspek perwilayahan pembangunan.

B. Latar Belakang Pemekaran

Kabupaten Nunukan adalah satu diantara 3 (tiga) Kabupaten di Kalimantan Timur yang memiliki wilayah perbatasan, dengan jumlah 8 Kecamatan sebelum dimekarkan, yaitu Nunukan, Nunukan Selatan, Sebatik, Sebatik Barat, Sebuku, Lumbis, Krayan dan Krayan Selatan.
Adapun jumlah penduduknya pada tahun 2010 (hasil sensus) mencapai 140.841 jiwa, dengan mata pencaharian utama disektor ekstraktif, khususnya pertanian, perkebunan serta perikanan dan kelautan. Sementara ketersedian fasilitas kebutuhan dasar berupa jalan akses, pendidikan, kesehatan, komunikasi, pasokan listrik dan air bersih dapat dikatakan bahwa sebagian besar Kecamatan perbatasan masih minim, kecuali di Kecamatan Nunukan dan Nunukan Selatan. Demikian pula kondisi indikator sosial ekonomi lainnya masih dalam kondisi minim, sehingga secara keseluruhan belum dimungkinkan untuk dilakukan pemekaran Kecamatan, walaupun secara administratif telah didukung jumlah Desa definitif pada setiap Kecamatan baru dimekarkan tersebut (minimal 3 Desa).
Secara yuridis formal turunan dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004, yaitu PP No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan; memberikan peluang dilakukakannya pemekaran atas dasar “pertimbangan khusus”, dimana berdasarkan pertimbangan untuk menciptakan kesejahteraan (prosperity) masyarakat setempat dan menjaga keamanan/ pertahanan wilayah (security), dapat dilakukan  pembentukan Kecamatan baru di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan, dengan cara melakukan pemekaran Kecamatan.
Berdasarkan pertimbangan khusus tadi, dapat diterjemahkan bahwa dari aspek percepatan pembangunan, pendekatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Nunukan adalah melakukan perpanjangan birokrasi pemerintahanan. Diharapkan Aparatur yang ditempatkan dapat menjadi stimulan dalam menggerakan kegiatan pemerintahan, pelayanan umum kepada masyarakat dan pembangunan; Walaupun Camat dan Aparat-nya berdasarkan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008, hanya memiliki kewenangan delegatif saja. Artinya, efektifitas pelaksanaan tugas didasarkan adanya pelimpahan kewenangan dari Bupati. Luasnya cakupan wilayah kerja Camat di perbatasan, terutama yang jauh ibukota Kabupaten,  dengan segala keterbatasan yang ada, maka pelimpahan kewenangan harus diikuti dengan penyediaan secara berimbang kebutuhan pembiayaan, personil dan perlengkapan (3 P). Pemenuhan terhadap kebutuhan pembiayaan berlaku prinsip function follows money 1) ; Dalam kerangka otonomi daerah, prinsip dimaksud memberikan kewenangan bagi Pemerintah Daerah menggali potensi pendapatan yang legal untuk membiayai urusan rumah tangganya; Dengan prinsip yang sama bagi Kecamatan, identik dengan penyediaan biaya sesuai dengan beban tugas, terkait dengan pelimpahan kewenangan.

C. Cakupan Wilayah Perbatasan  

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai impikasi dan perspektif pemekaran ini, sekiranya relevan untuk menyamakan persepsi mengenai wilayah perbatasan.  Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang  Penataan Ruang, khususnya dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan, maka yang termasuk kawasan strategis adalah kawasan perbatasan, pulau kecil terdepan dan kawasan latihan militer. Penjabarannya dalam PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,  disebutkan ruang lingkup kawasan perbatasan Negara adalah wilayah Kabupaten/Kota yang secara geografis dan demografis berbatasan langsung dengan Negara tetangga dan/atau laut lepas; Selanjutnya kawasan perbatasan Negara meliputi kawasan perbatasan darat dan kawasan perbatasan laut, termasuk pulau-pulau kecil terluar.
Kedua aturan tadi secara tegas menyebutkan batas wilayah negara berada di “Kabupaten/Kota”, mengingat konsep dasarnya diarahkan pada aspek pengembangan ekonomi yang mencakup wilayah lebih luas dan ada keterkaitan sektor ekonomi yang saling menunjang antar wilayah yang tercakup didalamnya, termasuk dalam pemahaman ini adalah pengembangan Pusat Kegiatan Strategi Nasional (PKSN) yang dijadikan sebagai pusat pertumbuhan suatu wilayah.
Sedangkan menurut UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara,  disebutkan bahwa kawasan perbatasan Negara adalah bagian dari wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam batas wilayah Indonesia dengan Negara lain. Dalam konteks imi, disebutkan batas wilayah Negara di darat berada di “Kecamatan”, dimana pengembangan unit Kecamatan perbatasan diarahkan pada penguatan aspek pertahanan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga locus-nya lebih dispesifikasikan secara jelas, disamping bertujuan untuk lebih memeratakan hasil pembangunan. Pengembangan dari pemahaman konsep ini adalah penerapan “Lokasi Prioritas (Lokpri)”.
Perbedaan cakupan batas wilayah; apakah di Kecamatan atau di Kabupate/Kota tetap menimbulkan implikasi yang sama, karena pembangunan di wilayah perbatasan tidak hanya ditekankan pada aspek pertahanan dan keamanan (hankam) semata, namun harus diimbangi oleh aspek penciptaan kesejahteraan (prosperity) 2) melalui pengembangan potensi ekonomi lokal serta aspek relevan lainnya, seperti pengembangan sosial budaya, politik, lingkungan, transportasi, komunikasi dan IPTEK.
Khususnya mengenai pulau-pulau kecil terluar (PPKT), sesuai PERPRES No. 78 Tahun 2005 tentang PPKT, di Provinsi Kalimantan Timur  terdapat 5 pulau kecil terluar, yaitu Pulau  Sebatik,  Gosong Makassar dan Karang Unarang di Kabupaten Nunukan.  Sementara di Kabupaten  Berau adalah Pulau Sambit dan Pulau Maratua. Keberadaan PPKT tadi berbatasan laut  dengan Negara Malaysia (Sabah), sehingga  pembangunan aspek hankam dan kesejahteraan tetap mendapat perhatian yang proporsional. Perbedaan dengan perhatian dengan perbatasan darat hanya terletak pada pola penanganannya saja, karena pulau terluar tersebut, kecuali Sebatik dan Maratua, tidak ada penghuninya.
Pulau Sebatik berdasarkan cakupan perwilayahan seperti telah diutarakan diatas memiliki kekhasan tersendiri, karena wilayah perbatasannya mencakup perbatasan darat dan laut terhadap Sabah (Malaysia). Selain itu, termasuk pula dalam kategori pulau terluar. Implikasinya terkait dengan pilihan model pembangunan yang tepat, sesuai kondisi alamiah, muatan potensi unggulan lokal, dukungan infrastruktur yang sudah ada dan akan dikembangkan lebih lanjut serta kualitas dan kuantitas SDM setempat.

D. Model-model Pembangunan Wilayah Perbatasan  

BAPPENAS menawarkan 5 model pengembangan wilayah perbatasan yang dapat menjadi rujukan 3), yaitu : Pertama, Model Pusat Pertumbuhan; Penerapan model ini mengharuskan ditetapkannya terlebih dahulu suatu lokasi strategis sebagai pusat kegiatan ekonomi wilayah, sehingga berimplikasi terhadap pengembangan beberapa kawasan khusus, dengan pelbagai insentif sarana/prasarana penunjang, pembiayaan, kelembagaan dan SDM. Beberapa kawasan khusus yang dibutuhkan adalah pos pemeriksaan lintas batas (PPLB), kawasan berikat, kawasan industri, welcome plaza dan kawasan pemukiman.
Penyediaan beberapa fasilitas kawasan khusus tadi berdasarkan teori gravitasi yang dikembangkan oleh Carey dan Ravenstein 4); dapat diprediksi besarnya daya tarik suatu potensi kawasan, sehingga mampu menarik sektor/ kegiatan lainnya untuk masuk ke wilayah tersebut. Daya tarik potensi dapat terjadi karena faktor alami (given) maupun faktor buatan, sehingga dilihat dari aspek perencanaan wilayah dalam kaitannya dengan penerapan model pusat pertumbuhan, maka penetapan  wilayah pertumbuhan  sudah  memperhitungkan  ketersediaan potensi ekonomi dan eksistensi fasilitas yang ada saat ini, untuk pengembangan lebih lanjut penyediaan fasilitas  kawasan  khusus.
Kedua, Model Transito; penerapan model ini tidak membutuhkan penyediaan fasilitas  kawasan  khusus  yang cukup  kompleks  sebagaimana  halnya
model pusat pertumbuhan, kecuali fasilitas PPLB. Ini mengingat bahwa  wilayah bersangkutan hanya sebagai transit pergerakan orang lintas antar Negara. Intensitas pergerakan orang lintas antar negara yang cukup tinggi berpeluang untuk disediakannya fasilitas welcome plaza.
Ketiga, Model Station Riset dan Wisata Lingkungan; Apabila suatu wilayah memiliki potensi sumber daya alam berupa keindahan alamiah flora yang eksotik, keindahan lingkungan yang menantang jiwa petualangan (ovunturir), fauna endimik local dan budaya khas etnik setempat, maka berpeluang besar untuk menerapkan model ini. Konsekwensinya adalah keharusan untuk melengkapi fasilitas riset biologi (station research), terutama bersifat outdoor serta menyatu dengan pemukiman dan budaya penduduk setempat. Fasilitas lainnya adalah kawasan wisata lingkungan, dengan penetapan obyek wisata yang dapat dijangkau; menggunakan rute-rute perjalanan yang menjamin keselamatan wisatawan, disamping ketersediaan fasilitas penginapan bagi para wisatawan. Terakhir, berupa fasilitas PPLB. Penerapan model ini lebih efektif, apabila ada sarana/prasarana transportasi yang terkoneksi antar Negara.
Keempat, Model Kawasan Agropolitan; Diterapkannya model ini diawali oleh adanya kesepakatan antar Negara untuk memanfaatkan lahan pertanian lintas Negara. Agropolitan menerapkan sistem manajemen dalam suatu wilayah  yang telah ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis sektor pertanian (agrobisnis/agroindustri). Sesuai dengan teori gravitasi, maka  perkembangan pusat pertumbuhan (agropolitan)  akan mendorong tumbuhnya kegiatan pertanian di wilayah sekitarnya (hinterland), baik berupa; (a) Sub sektor agrobisnis hulu; berupa penyediaan pembibitan, mesin dan peralatan pertanian serta pupuk, pestisida, dan obat/vaksin ternak; (b) Sub sektor agrobisnis hilir; berupa industri pengolahan pertanian dan usaha perdagangannya; dan (c) Sub sektor usaha tani, mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan.
Demikian pula sektor lainnya yang terkait (off farm agrobisnis) dalam wilayah tersebut akan ikut mengalami perkembangan, seperti perkreditan dan usaha angkutan. Ketersediaan fasilitas utama berupa infrastruktur transportasi sangat diperlukan, untuk menciptakan  koneksitas antara wilayah agropolitan dengan wilayah hinterland.
Kelima, Kawasan Perbatasan Laut; Model ini terbentuk dari cluster kegiatan ekonomi yang memanfaatkan ketersediaan potensi sumber daya laut dan pesisir di sekitarnya sebagai keunggulan wilayah, sehingga fasilitas yang dibutuhkan berorientasi pada pemenuhan fasilitas pengawetan dan pengolahan hasil budidaya laut/pesisir (aquaculture) bernilai ekonomis. Fasilitas yang selayaknya disediakan adalah kawasan berikat, kawasan industri, kawasan aquakultur dan kawasan wisata pantai, termasuk fasilitas PPLB.
Pertanyaannya; dari kelima model pengembangan diatas, model mana yang relevan untuk diterapkan di wilayah (Kecamatan) perbatasan Kabupaten Nunukan, khususnya di Pulau Sebatik; sejalan dengan rencana BNPP yang menetapkan Sebatik sebagai wilayah pengembangan agroindustri dan jasa maritim.

E. Kecamatan Perbatasan di Kabupaten Nunukan  

Sebelum pemekaran, jumlah Kecamatan di Kabupaten Nunukan berjumlah 9 Kecamatan, dan setelah dimekarkan jumlahnya menjadi 15 Kecamatan. Khususnya Kecamatan yang merupakan perbatasan, sebelum dimekarkan berjumlah 8 Kecamatan, meningkat menjadi 12 Kecamatan setelah adanya pemekaran.  Kecamatan  Sebuku  dan Lumbis, yang semula memiliki wilayah perbatasan dengan Serawak (Malaysia Timur), setelah ditetapkannya Kecamatan Lumbis Ogong dan Tullin Onsoi, maka praktis kedua Kecamatan disebutkan terakhirlah yang dikategorikan sebagai Kecamatan perbatasan.

Tabel 1
Kecamatan-Kecamatan di Wilayah Perbatasan Kabupaten Nunukan Setelah Pemekaran Kecamatan

Keterangan : 1) Merupakan salah satu dari 5 pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Kaltim.
Sumber : Diolah dari pelbagai sumber.

Kecamatan Sei Manggaris, dengan jumlah Desa sebanyak 4 Desa, yaitu Srinanti, Tabur Lestari, Simaenre Samaja dan Sekaduyan Taka, merupakan  pecahan dari Kecamatan Nunukan. Kecamatan Sei Manggaris memiliki posisi strategis, karena alasan; Pertama, sudah ditetapkan menjadi Pusat Kegiatan Strategi Nasional (PKSN), sehingga dengan dukungan ketersediaan infrastruktur penunjang investasi; dapat mendorong tumbuhnya wilayah sekitarnya sebagai hinterland. Infrastruktur jalan berupa trans Kaltim sudah ada. Usaha perkebunan kelapa sawit dalam skala besar sudah mulai berkembang, dengan pola PIR – Perkebunan.
Kedua, sudah direncanakannya Kecamatan Sei Manggaris sebagai Kota Terpadu Mandiri (KTM); berbasis di Desa Simaenre Samaja. Keberhasilan menjadikan Satuan Pemukiman (SP) eks transmigrasi di Srinanti dan Tabur Lestari menjadi Desa definitif, dan keberhasilan membina para transmigrasi memanfaatkan lahan usaha (2 ha) untuk berkebun kelapa sawit, disamping masih tersedianya lahan yang mencukupi, menjadi dasar untuk segera mendorong terwujudnya KTM.
Ketiga, di Kecamatan Sei Manggaris direncanakan pendirian Pos Lintas Batas Darat  (PLBD) Sei Manggaris – Serodong (Sabah). Walaupun saat ini, pihak Malaysia belum bersedia untuk segera membuka PLBD dimaksud, namun upaya percepatan pembangunan yang terprogram dan konsisten, baik dalam kerangka PKSN maupun KTM akan mendorong pihak Malaysia merubah strategi melakukan percepatan pembangunan di wilayah (divisi/sub divisi) perbatasannya.
Di Sebatik, semula hanya terdiri 2 wilayah administrasi Kecamatan, yaitu Kecamatan Sebatik dan Sebatik Barat; Saat ini, berdasarkan hasil pemekaran, sudah menjadi 5 Kecamatan, yaitu Sebatik, Sebatik Tengah, Sebatik Barat, Sebatik Timur dan Sebatik Utara. Dari aspek pemerintahan, khususnya jumlah Kecamatan yang ada, maka peluang untuk ditingkatkan statusnya Sebatik menjadi “Kota” dimungkinkan, dengan harapan kedepan bahwa kelengkapan infrastruktur perkotaan yang harus disediakan, dapat mengimbangi pembangunan Kota Tawao (Sabah). Sejalan dengan rencana menjadikan Sebatik sebagai wilayah pengembangan agrobisnis dan jasa maritim. Konsekwensinya, Pemerintah Kabupaten Nunukan perlu untuk membenahi kekurangan infrastruktur ekonomi, sosial, pemerintahan dan fisik yang ada. Diperlukan pembiayaan relatif besar, sejalan dengan dinamika perkembangan  penduduk Sebatik.
Kondisi demografi Kabupaten Nunukan selama tahun 2006 – 2010, mengindikasikan bahwa perkembangan jumlah penduduk cukup pesat; Pada tahun 2006 baru berjumlah ± 119.247 jiwa, menjadi ± 140.841 jiwa pada tahun 2010, sehingga laju pertumbuhan penduduk rata-rata 4,26 %/tahun, dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata ± 9,08 jiwa/km2 selama kurun waktu tersebut. Sebagian besar penduduk berada di Nunukan (Kecamatan Nunukan dan Nunukan Selatan). Sementara jumlah penduduk di Sebatik (Kecamatan Sebatik dan Sebatik Barat) menduduki urutan kedua; namun laju pertumbuhannya selama kurun waktu 2006 – 2010 cenderung menurun; rata-rata – 0,73 %/tahun, karena terdapat pengurangan penduduk di Sebatik Barat relatif lebih besar dibandingkan peningkatan penduduk di Sebatik. Sedangkan tingkat kepadatan penduduknya paling besar dibandingkan Kecamatan lainnya; rata-rata 132,09 jiwa/km2.

Tabel 2
Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Rata-rata Kepadatan Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Nunukan Tahun 2006 – 2010.

 

Keterangan : 1) Dihitung berdasarkan rata-rata kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk.
2) Kec. Nunukan Selatan pada tahun 2006 s/d 2008 masih gabung dengan Kec. Nunukan.
3) Kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk merupakan angka gabungan Kec. Nunukan dan Nunukan Selatan.
4) Gabungan jumlah penduduk Kecamatan Sebatik dan Sebatik Barat, dengan rata-rata tingkat kepadatan penduduk sebesar 132,09 jiwa/km2.
Sumber : Kabupaten Nunukan Dalam Angka, publikasi Bappeda dan BPS Kab. Nunukan tahun bersangkutan.

Pemekaran Kecamatan di Sebatik, tidak otomatis menambah luasan wilayahnya, yaitu tetap berjumlah ± 246,61 km2. Berarti, pemekaran Kecamatan di Sebatik menjadi 5 Kecamatan, hanya membagi-bagi luasan wilayah yang ada. Dan inipun masih dipilah untuk lahan kepentingan pemukiman penduduk, pencadangan lahan untuk infrastruktur ekonomi, sosial dan fisik, lahan usaha penduduk yang sudah given serta lahan untuk penyangga lingkungan. Permasalahannya; apakah rencana menjadikan Sebatik sebagai wilayah agrobisnis dan jasa maritim sudah mempertimbangkan aspek ini.

F. Implikasi Pemekaran Kecamatan  

1. Implikasi Administratif

Pemekaran Kecamatan perbatasan di Kabupaten Nunukan, berimplikasi terhadap strategi perencanaan pembangunan wilayah perbatasan. Secara administratif terjadi eskalasi terhadap jumlah Kecamatan perbatasan yang ada di Provinsi Kalimantan Timur, semula 15 Kecamatan, menjadi 19 Kecamatan (lihat Tabel 3). Akan tetapi luasan wilayahnya menjadi berkurang, terutama akibat dipecahnya Kecamatan Lumbis menjadi Kecamatan Lumbis Ogong dan Kecamatan Sebuku menjadi Tullin Onsoi. Dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang mencapai ± 208.657,74 km2; meliputi luas daratan ± 198.441,17 km2 dan luas laut (sejauh 12 mil) ± 10.216,57 km2, luasan wilayah perbatasan darat Kabupaten Nunukan sebelum pemekaran adalah ± 14.263,68 km2 atau 7,19 % dari  luas perbatasan darat di Kalimantan Timur, atau 27,49 %  dari luas daratan seluruh wilayah perbatasan yang mencapai ± 51.888,30 km2.  Setelah pemekaran luas wilayah Kecamatan perbatasan Kabupaten Nunukan hanya ± 10.306,23 km2 atau 5,19 % dari luas darat perbatasan Provinsi Kalimantan Timur.  Demikian pula jumlah penduduknya akan berkurang, mengingat konsentrasi penduduk di Kecamatan Lumbis dan Sebuku berada di Ibukota Kecamatan, yaitu di Mansalong (Lumbis) dam Pembeliangan (Sebuku), sehingga tingkat kepadatan penduduk menjadi berkurang sebagai akibat tidak diperhitungkannya kedua Kecamatan sebagai Kecamatan perbatasan.

Tabel 3
Kecamatan Perbatasan dan Luas Wilayah Kecamatan di Provinsi Kalimantan Timur setelah Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Nunukan.

Catatan : Luas wilayah seluruh Kecamatan perbatasan di Provinsi Kaltim adalah 47.930,85 km2.
Sumber : Diolah dari pelbagai sumber.

Disisi lainnya, fokus penanganan wilayah perbatasan lebih terarah, karena keberadaan Kecamatan yang baru dimekarkan, khususnya Kecamatan Lumbis Ogong, Tullin Onsoi dan Sei Manggaris; berada langsung (“mendekati”) wilayah perbatasan dengan Malaysia. Oleh karenanya perencanaan pembangunan dapat langsung disesuaikan dengan kebutuhan setempat.
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, mengacu pada UU No. 43 Tahun 2008, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menerbitkan Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 126/K.185/2010 tanggal 1 April 2010 tentang Penetapan Nama-nama Kabupaten dan Kecamatan yang Berbatasan Langsung Dengan Malaysia (Sabah dan Serawak) di Provinsi Kalimantan Timur, baik berbatasan darat maupun laut. Adanya perubahan Kecamatan perbatasan dari hasil pemekaran Kecamatan di Kabupaten Nunukan; mengharuskan secara administratif dilakukannya perubahan Keputusan Gubernur ini. Namun perubahan dimaksud, yang semula hanya mencakup 15 Kecamatan, berubah menjadi 19 Kecamatan, harus ada kesamaan persepsi terhadap penetapan Kecamatan Nunukan dan Nunukan Selatan sebagai Kecamatan perbatasan; dilihat dari sisi perbatasan laut, sehingga sebelum dilakukan perubahan terlebih dahulu ada kesepakatan, dikaitkan dengan kebijakan penetapan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Kaltim, yang berhadapan langsung perbatasan lautnya dengan Negara Malaysia.

2. Implikasi Perwilayahan Pembangunan

Penetapan Keputusan Gubernur inilah yang menjadi pangkal penetapan kebijakan pembangunan dan sekaligus dasar perencanaan strategi perwilayahan pembangunan; Merujuk pada RPJM Nasional 2010 – 2014, telah ditetapkan 4 (empat) Pusat Kegiatan Strategi Nasional (PKSN) di Provinsi Kalimantan Timur, yang merujuk pada ketentuan UU N. 26 tahun 2006 dan PP No. 26 Tahun 2007. Keempat PKSN dimaksud keberadaannya ada pada Kecamatan yang telah ada sebelumnya (lihat Tabel 4), kecuali PKSN di Sei Manggaris telah berubah, semula masuk Kecamatan Nunukan menjadi Kecamatan Sei Manggaris.
Khususnya PKSN di Nunukan dan Sei Manggaris, sebenarnya masih berada dalam satu wilayah administrasi Kecamatan (berinduk di Kecamatan Nunukan); Perbedaannya hanya; PKSN Nunukan berada di Pulau Nunukan, sedangkan PKSN Sei Manggaris berada di daratan Pulau Kalimantan, sebagai konsekwensi adanya perencanaan pumbukaan PLB darat di Sei Manggaris – Serodong.
Sebagai PKSN, yang mengadopsi modet “Pusat Pertumbuhan”, dengan pendekatan trickledown effect-nya (efek menetes kabawah), maka  kegiatan investasi yang terkonsentrasikan pada suatu wilayah tertentu, dengan kelengkapan fasilitas infrastruktur pendukungnya, diharapkan dapat memberikan multiplier effect pada wilayah sekitarnya (hinterland), melalui pasokan bahan baku yang diperlukan oleh sektor industri terkait. PKSN di Nunukan kesiapan infrastrukturnya lebih baik dibandingkan PKSN Sei Manggaris dan Long Midang. Sebagai pusat pertumbuhan, idealnya tidak terdapat kesenjangan pembangunan antar PKSN, karena setiap PKSN memilki cakupan wilayah keterkaitan disekitarnya. Apabila suatu PKSN karena alasan keterbatasan infrastruktur, tidak memungkinkan melaksanakan fungsi sebagai pusat pertumbuhan; Berarti dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya tidak dapat dilaksanakan. Realitasnya,  PKSN di Kalimantan Timur belum berfungsi sesuai rencana. Khusunya di Kabupaten Nunukan; wilayah lainnya yang berkembang disekitar PKSN Nunukan terjadi secara alami, tanpa ada dorongan langsung dari pelaksanaan kegiatan (“investasi”) menurut skema PKSN.
Kesenjangan pembangunan di wilayah perbatasan, seharusnya diawali dengan upaya mengintensifkan pembangunan pada setiap PKSN, dengan mengedepankan prinsip-prinsip daya dukung dan daya tampung yang menjamin kelestarian lingkungan serta  memanfaatkan keunggulan posisi geografis yang berorientasi pasar. 5) Artinya, alternatif lain terhadap pilihan model pembangunan yang tepat untuk PKSN Sei Manggaris dan PKSN Long Midang, diarahkan pada model ‘Kawasan Aggropolitan”, tidak harus menggunakan model pertumbuhan ekonomi.
Sebagai kawasan agropolitan; berbasis pada pengembangan agroindustri, karena potensi lahan yang ada cukup luas, dan cakupan lahannya dapat meliputi kawasan perbatasan antar Negara (Kalimantan Timur – Serawak/Sabah). Dukungan infrastruktur diarahkan pada kelancaran mobilisasi untuk kegiatan produksi dan pemasaran. Pusat pengolahan hasil (manufaktur) merupakan wilayah konsentrasi kegiatan ekonomi, sementara keberadaan lahan menjadi wilayah pendukung (hinterland); sektor lainnya terutama jasa pendukung akan tumbuh dengan sendirinya, mengikuti perkembangan skala industri dan migrasi penduduk yang berkepentingan untuk mendapatkan manfaat ekonomi, baik sebagai pekerja maupun penyedia jasa.
PKSN di Sei Manggaris memiliki prospek cerah dengan model ini, sebagai konsekwensi adanya dukungan fasilitas jalan trans Kaltim, dan kemudahan akses  pemasaran  menggunakan  moda  angkutan darat dan sungai/ laut. Sebagian besar lahan sudah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, dengan 3 (tiga) perusahaan besar yang bertindak sebagai inti, didukung 2 (dua) pabrik pengolahan CPO. Sementara PKSN Long Midang, karena keterbata-san akses pemasarannya didalam wilayah Indonesia, maka pengembangan agroindustri harus sejalan dengan kegiatan industrialisasi yang berkembang di Malaysia, khususnya pada Sub Distrik Bakelalan (Limbang Division, Sarawak).
Untuk keperluan ini; langkah strategis yang perlu dilakukan adalah percepatan pembukaan PLB darat pada kedua Negara. Dari pihak Negara Bagian Serawak,  pada  pelaksanaan  Sosek Malindo  Nasional  (Desember  2011),  telah
setuju dilakukannya pembukaan PLB di Long Midang – Bakelalan dan di Lembudud (Krayan) – Bario (Miri Division, Serawak); Bahkan  telah menyiapkan lahan 1,25 ha untuk pembangunan Pos Imigrasi di PLB Long Midang – Bakelalan.

Tabel 4
Pusat Kegiatan  Strategi Nasional  (PKSN) & Lokasi Prioritas (Lokpri) di Wilayah Perbatasan Provinsi Kaltim Yang Menjadi Fokus Penanganan Tahun 2012-2014

 

Sumber : 1) RPJM Nasional 2010 – 2014, publikasi BAPPENAS.
2) Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara & Kawasan Perbatasan, publikasi BNPP.

Bersamaan dengan rencana pembukaan PLB darat, infrastruktur jalan di Krayan dan Krayan Selatan dari dan menuju PLB perlu dibenahi (ditingkatkan kelas jalannya), guna memperlancar mobilisasi pasokan bahan baku industri ke Malaysia (Serawak). Sementara itu,  rencana perpanjangan landasan pacu bandara di Long Nawang melalui kerjasama TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD) dan penyediaan fasilitas penunjang operasional bandara lainnya sudah sejalan dengan strategi ini.
Sesuai Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan 2010 – 2014; Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP),  bersama Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur cq. Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, Pedalaman & Daerah Tertinggal (BPKP2DT) telah menetapkan lokasi prioritas (Lokpri) yang akan ditangani pada tahun 2012 – 2014  (lihat Tabel 5), berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut : 6)
1. Berbatasan langsung dengan Negara tetangga atau memiliki pulau terluar (terdepan) ;
2. Sebagai Pusat Kegiatan Strategi Nasional (PKSN) ;
3. Memiliki pos lintas batas antar Negara (entry exit point) ;
4. Ada hubungan sosial ekonomi masyarakat secara tradisional ;
5. Ada pertimbangan khusus, terutama terkait dengan aspek hankamnas.
Pertanyaannya; apakah  ada Implikasi dari perbedaan locus yang menjadi prioritas penanganan perbatasan berdasarkan PKSN dan Lokpri. Penetapan PKSN di lokasi tertentu pada Kecamatan yang sudah memiliki akses terbukanya kegiatan ekonomi melalui pemanfaatan lintas batas (PLB) formal antar Negara (di darat atau laut), sehingga akan menjadi stimulan bergeraknya pengembangan potensi ekonomi wilayah disekitarnya, dengan menggunakan model pembangunan relevan. PKSN ditetapkan dalam batas wilayah yang menekankan pengembangan potensi alamiahnya (comperative advantage). Sedangkan penetapan Lokpri pada dasarnya tidak terdapat perbedaan prinsip dengan PKSN, karena telah mengakomodir keberadaan PKSN dan pos lintas batas formal. Kecuali dalam hal penetapan Lokpri yang mengakomodir kebijakan; Pertama, adanya hubungan sosial ekonomi masyarakat setempat secara tradisional dan turun menurun; Dan kedua ada pertimbangan khusus terutama terkait dengan aspek pertahanan/keamanan. Kedua pertimbangan tadi bermakna bahwa Lokpri dapat ditetapkan tanpa ada kaharusan wilayah tersebut nantinya direncanakan pembukaan PLB.
Batasan wilayah pembangunan Lokpri tidak berbasis pada pengembangan potensi alamiahnya, namun lebih memperhatikan batasan wilayah administratif pemerintahan terdepan, yaitu “Kecamatan”. Ini mengisyaratkan strategi pembangunan yang diterapkan bersifat pemerataan untuk semua Kecamatan yang ada di wilayah perbatasan, karena disini pemahaman  desentralisasi  lebih  ditekankan  pada  “desentralisasi fungsional” 7), atas dasar pertimbangan; bahwa (1) perbatasan merupakan bentang geografis yang  mempunyai  fungsi sama  dalam konteks  pengelolaan dan pengembangan;
dan (2) bersifat fungsional dalam satu entitas yang berada dalam satu kesatuan sistem geografis yang tidak terkotak-kotak oleh batas administrasi daerah.
Pemerataan pembangunan berimplikasi terhadap pemerataan alokasi pembiayaan pembangunan, baik bersumber dari dana APBD Provinsi/Kabupaten maupun APBN, sehingga strategi yang diterapkan BNPP berupa pentahapan penetapan Lokpri, sejak tahun 2012 – 2014, dimana jumlah Lokpri yang ada sebanyak 111 Lokpri, mencakup 38 Kabupaten/Kota sebagai Wilayah Konsentrasi Pembangunan (WKP) dan 12 Provinsi sebagai Cakupan Wilayah Administrasi (CWA). Di Provinsi Kalimantan Timur mengakomodir jumlah Lokpri sebanyak 13 Kecamatan (sebelum pemekaran) pada 3 CWA di Kabupaten Nunukan, Malinau dan Kutai Barat.
Kecamatan Nunukan dan Kecamatan Nunukan Selatan merupakan wilayah PKSN, namun tidak dimasukkan kedalam Lokpri, walaupun kriterianya dimungkinkan untuk itu. Alasannya adalah infrastruktur pada kedua Kecamatan tadi relatif sudah memadai, sehingga ini membuktikan bahwa penekanan pemerataan pembangunan antar Kecamatan perbatasan, khususnya pada lingkup masing-masing CWA lebih ditonjolkan.
Dimekarkannya Kecamatan Sebatik dan Sebatik Barat hingga menjadi 5 Kecamatan dan Kecamatan Nunukan dipecah menjadi 2 Kecamatan akan merubah eskalasi pentahapan Lokpri pada tahun 2013 dan 2014, dengan memasukan Kecamatan Sebatik Tengah, Sebatik Timur, Sebatik Utara dan Sei Manggaris. Sedangkan Kecamatan Lumbis cukup digantikan dengan Kecamatan Lumbis Ogong (Lokpri II – 2013), dan Kecamatan Sebuku digantikan oleh Kecamatan Tullin Onsoi (Lokpri III – 2014).
Apabila memperhatikan azas keseimbangan pembangunan antar Kecamatan yang telah ditetatapkan sebagai Lokpri; Perlakuan terhadap setiap Lokpri seharusnya disesuaikan dengan kondisi setempat, terutama perlakuan terhadap penggunaan standar biaya yang berbeda-beda tingkat kemahalannya. Kecenderungan alokasi pengganggaran yang bersifat lumpsum tidak tepat, seharusnya didasarkan pada pemenuhan program pelayanan dasar yang diperlukan setiap Kecamatan. Indikator jumlah penduduk sebagai  ukuran dalam pengalokasian anggaran pembangunan tidak diterjemahkan secara kaku, seperti alokasi obat-obatan (kesehatan) dan bantuan operasional sekolah berdasarkan jumlah anak didik (pendidikan). Pada wilayah perbatasan indikator ini tidak dapat diterapkan, karena minimnya jumlah penduduk, maka dapat dipastikan akan berdampak terhadap penentuan alokasi anggaran pembangunan. Sementara tingkat kesulitan terkait dengan kondisi alam dilapangan merupakan faktor yang utama yang berdampak terhadap tingkat kemahalan harga/biaya.
Identifikasi kebutuhan awal berupa penentuan wujud program secara riil disepakati terlebih dahulu; Untuk wilayah perbatasan di Provinsi Kalimantan Timur program yang paling mendesak adalah; Pertama, pemberdayaan masyarakat, dimana sektor dominannya adalah pendidikan dan kesehatan; Kedua, penataan pemukiman, dengan menyediakan fasilitas air bersih, pasokan listrik yang menggunakan pembangkit listrik sesuai kondisi setempat dan berbiaya murah, jalan penghubung antar Desa dengan ibukota Kecamatan, ketersediaan fasilitas komunikasi serta kelengkapan infrastruktur pemerintahan yang cukup memadai. Ketiga, pemanfaatan potensi ekonomi lokal, melalui pengembangan kegiatan produktif berbasis lokal.
Ketiga pilar program pembangunan diarahkan pada upaya menjadikan  Kecamatan perbatasan sebagai satuan wilayah pembangunan, yang mampu melaksanakan fungsi sebagai pusat pemerintahan terdepan dan sebagai pusat  pembangunan setempat; Tidak membedakan apakah konsepsi pengemba-ngannya berdasarkan pendekatan PKSN ataupun Lokpri.

G. Perspektif Kedepan Pemekaran Kecamatan  

Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya bahwa latar belakang pemekaran Kecamatan di Kabupaten Nunukan, lebih diarahkan pada upaya percepatan pembangunan, dengan melakukan perpanjangan birokrasi pemerintahan sampai pada tingkat Kecamatan, dan yang paling drastis adalah pemekaran di Sebatik, hingga mencapai 5 Kecamatan. Hal ini mengisyaratkan keinginan untuk menjadikan Sebatik sebagai “Kota”. Pertanyaan mendasarnya; apakah prospek pemekaran akan berkorelasi terhadap upaya percepatan pembangunan Sebatik; Dan apakah potensi alamiah yang ada dapat mendukung kebijakan menjadikan Sebatik sebagai wilayah pengembangan agrobisnis dan jasa maritim.
Beranjak dari kedua pertanyaan diatas, langkah awalnya adalah melihat pada daya dukung lahan yang ada di Sebatik, yaitu 246,61 km2. Peruntukan lahan berubah secara dinamis mengikuti perkembangan penduduk, sebagai dampak ikutan dari keharusan menyediakan fasilitas layanan bagi penduduk setempat, terutama untuk pemukiman. Kondisi demografi pada perspektif saat ini menunjukkan bahwa tingkat kepadatan rata-rata 132,09 jiwa/km2 (kurun waktu 2006 – 2010), dan terus berkembang mengikuti dinamikan pertumbuhan penduduk, sementara luas lahan tidak mengalami perubahan.
Pemanfaatan lahan untuk pengembangan potensi ekonomi yang dmiliki, akan berbenturan dengan pemanfaatan lahan untuk pengembangan infrastruktur dasar yang diperlukan penduduk, apalagi nantinya sebagai kawasan perkotaan, akan lebih banyak lagi kebutuhan infrastruktur perkotaan yang diperlukan. Disisi lainnya, lahan-lahan perorangan yang telah diusahakan sebagai mata pencaharian merupakan peruntukkan lahan yang sudah bersifat permanen kepemilikannya; Tentunya proses pengalihan kepemilikannya harus melalui aturan hukum yang berlaku. Demikian pula terhadap kewajiban untuk menjaga lingkungan alam sekitarnya, terutama pada lahan yang memiliki tingkat kemiringan yang curam atau sempadan sungai tetap harus dipertahankan.
Keterbatasan lahan untuk pengembangan Sebatik kedepan, bukan berarti meredam keinginan untuk meningkatkan status Sebatik menjadi “kawasan perkotaan”, mengingat secara politis memiliki nilai strategis sebagai beranda depan negara RI, sehingga kewajiban untuk menyediakan pelbagai fasilitas perkotaan merupakan suatu keharusan. Namun, pilihan kebijakan menjadikan Sebatik sebagai kawasan pengembangan agroindustri dan jasa maritim; sekiranya perlu dikaji secara mendalam, mengingat pilihan model pengembangan sebagai “transito dan jasa perdagangan” lebih tepat. Fasilitas khusus yang disediakan hanya berupa PPLB, dengan dilengkapi welcome plaza, seperti seperti toko cinderamata, cash point bank, money changer, restoran, pos dan telekomunikasi (postel) serta penginapan disekitar lingkungan welcome plaza. Implikasinya adalah penempatan PPLB (CIQS) yang ada di Lamijung – Nunukan, idealnya dipindahkan ke Sebatik, agar hanya ada satu lokasi entry point saja atas mobilitas orang dari Nunukan menuju Tawau atau sebaliknya.
Sebagai wilayah jasa perdagangan; Sebatik merupakan transit atas barang ekspor – impor antara Nunukan dengan Tawao, sehingga perlu dilakukan perdagangan secara formal, yang selama ini lebih banyak memanfaatkan fasilitas Border Trade Aggreement (BTA); Dan selama ini pula term of trade Indonesia terhadap Malaysia berada dalam posisi tidak diuntungkan, mengingat ekspor Indonesia (Nunukan dan wilayah sekitarnya) lebih banyak produk-produk pertanian yang masih perlu diolah lebih lanjut (raw material), dengan harga relatif rendah.  Sedangkan impor dari Tawao berupa produk bahan makanan yang sudah diolah (memiliki nilai tambah), dengan harga relatif lebih tinggi. Selain itu, ketatnya aturan BTA, baik terhadap batasan nilai perdagangan yang hanya RM 600 serta batasan tonase kapal sebesar 20 m3 (gross) mengakibatkan terjadinya banyak kasus illegal trade.
Data perdagangan lintas batas antara Nunukan – Tawao pada tahun 2004 s/d 2011 mengindikasikan bahwa sejak tahun 2007 mengalami defisit (lihat Tabel 5).  Gambaran  defisit ini dapat diinterprestasikan bahwa; Pertama, banyak produk hasil pertanian/perikanan dari Nunukan dan wilayah sekitarnya masuk ke Tawao tidak tercatat dengan baik atau melalui jalur illegal. Kedua, ada kemungkinan defisit tersebut lebih besar, karena banyak produk impor Tawao yang diseludupkan masuk ke Nunukan dan wilayah sekitarnya.
Salah satu aspek penting lainnya untuk menjadikan Sebatik berperan penuh sebagai kawasan jasa perdagangan adalah membuka pelabuhan ekspor, walaupun pada tahap awalnya masih dalam skala kecil, namun memformalkan kegiatan perdagangan ini melalui pembukaan pelabuhan ekspor adalah lebih baik, daripada membiarkan terjadinya illegal trade yang merugikan Indonesia.

Tabel 5
Perkembangan Perdagangan Lintas Batas Nunukan – Tawao Tahun 2004 – 2011

 

Keterangan : 1) Ekspor dari Nunukan ke Tawao.
2) Impor dari Tawao ke Nunukan.
Sumber : Dinas Perdagangan dan Koperasi Provinsi Kalimantan Timur.

Menjadikan Sebatik, baik sebagai kawasan transito maupun jasa perdagangan adalah bagian dari penerapan model pengembangan “Kawasan Perbatasan Laut”, mencakup Nunukan dan Sebatik. Ini berarti, Sebatik merupakan kawasan perkotaan (“tidak harus pemerintahan Kota”) yang berperan sebagai transito pergerakan orang dan sekaligus sebagai jasa perdagangan; Dengan kedua peran tadi masalah keterbatasan lahan masih dapat diatasi melalui perencanaan tata ruang yang baik. Sementara Nunukan dijadikan kawasan industri, dengan mengembangkan industri pengolahan yang berbasis agroindustri. Idealnya kawasan khusus lainnya yang tercakup dalam model ini, yaitu kawasan berikat, kawasan pelabuhan bebas, kawasan aquakultur dan kawasan wisata pantai harus dikembangkan pula secara bersamaan dan proporsional, dengan ditetapkannya Nunukan sebagai kawasan industri.
Tahap awal menjadikan Nunukan sebagai kawasan industri lebih relavan; sebagai batu loncatan untuk pengembangan kawasan khusus lainnya pada tahapan selanjutnya. Secara teoritis konsentrasi aktivitas ekonomi (“industri”) pada suatu kawasan akan mendapatkan 2 (dua) eksternalitas ekonomi, yaitu penghematan lokalisasi (localization economies) dan penghematan urbanisasi (urbanization economies).
Kedua penghematan tadi sering disebut dengan istilah “agglomeration economies”. Penghematan lokalisasi 8) berhubungan dengan dapat ditekannya biaya produksi, karena mampu meningkatkan skala produksi dalam jumlah besar; Dan  peluangnya menjadi lebih besar lagi, apabila terdapat keterkaitan usaha/industri  antar perusahaan yang berada dalam satu lokasi (“kawasan”). Bagi perusahaan industri keterkaitan utamanya adalah perusahaan lain yang bertindak sebagai pemasok bahan baku.  Penghematan lokalisasi yang melibatkan banyak perusahaan saling terkait dalam meningkatkan produksi, akan mengarah pada pembentukan klaster industri.
Klaster industri merupakan pengelompokkan aktivitas industri yang terkonsentrasi dalam suatu kawasan (spasial), dengan satu atau dua spesialisasi industri utama. Pengembangan kawasan industri Nunukan akan mengarah pada pembentukan klaster industri, apabila spesialisasi dapat difokuskan pada agroindustri berbasis hasil perkebunan, yang potensinya cukup besar. Nunukan sendiri, dilihat dari penghematan urbanisasi, walaupun masih belum optimal dapat memberikan peran menekan biaya produksi, sebagai dampak ketersediaan fasilitas infrastruktur pendukung kegiatan industri.
Sebelumnya sudah ada kajian untuk menjadikan Nunukan sebagai kawasan berikat (bounded area) pada tahun 1990-an oleh BPPT. Namun implementasinya terkendala banyak faktor 9), diantaranya; Pertama, penetapan lokasi harus memiliki akses pasar dan keterkaitan dengan ekonomi domistik (regional), tidak sekedar dibangun untuk kepentingan counter growth pole. Akses pasar (ekspor) Nunukan bertumpu pada Tawao, berupa produk hasil pertanian. Praktis dorongan permintaan ekspor ditentukan oleh kondisi perekonomian Negara Bagian Sabah, khususnya Kota Tawao dan sekitarnya. Dalam kaitannya dengan ekonomi domistik, permasalahannya terletak pada kesulitan untuk mewujudkan integrasi vertikal kegiatan industri, yang sangat berperan untuk menciptakan efisiensi ekonomi dan memperkuat daya saing.
Kedua, jaringan infrastruktur dan fasilitas publik yang berkualitas; Walaupun sudah berkembang, akan tetapi tingkat akselerasinya relatif tidak seimbang dengan tuntutan pengembangan kawasan berikat. Dan masih terdapat beberapa alasan lainnya, seperti kelembagaan dan skema insentif yang belum jelas. Namun alasan yang paling prinsip adalah 2 (dua) alasan yang telah diutarakan lebih awal.
Penyesuaian implementasi kawasan berikat di Nunukan sebenarnya masih dapat dilakukan, karena terdapat perbedaan kawasan berikat diwilayah perbatasan dan diluar wilayah perbatasan: 10)
1. Kawasan berikat di wilayah perbatasan hanya memfasilitasi kerjasama kedua Negara yang berbatasan, untuk menciptakan kemampuan bersama dalam menghadapi persaingan tingkat global; Sedangkan diluar wilayah perbatasan, kawasan berikat diciptakan untuk menarik masuknya investasi dalam skala besar dan kerjasama antar Negara, guna menghasilkan produk yang akan diekspor kembali, dengan harga bersaing.
2. Implikasi kerjasama investasi yang hanya terbatas pada dua Negara saja, menyebabkan cakupan produk yang dihasilkan terbatas, sementara kawasan berikat diluar wilayah perbatasan mencakup banyak investor dari banyak Negara, sehingga produk yang dihasilkan lebih bervariatif.
3. Sasaran pasar kawasan berikat di wilayah perbatasan relatif terbatas dibandingkan sasaran pasar kawasan berikat diluar wilayah perbatasan; umumnya mencakup banyak Negara.
Perspektif saat ini, dimana jaringan infrastruktur dasar dan fasilitas publik  sudah mencukupi dan didukung basis industri agrobisnis yang memanfaatkan pasokan bahan baku dari wilayah lainnya (hinterland), seperti hasil perkebunan kelapa sawit yang memiliki prospek besar untuk terus berkembang, termasuk  pengembangan karet alam, kopi dan lada yang cukup terbuka. Usaha peternakan sapi prospek pemasarannya ke Negara Bagian Sabah cukup besar, karena permintaan daging sapi tidak dapat dipenuhi  dari pasokan lokal. Usaha perikanan tangkap dan budidaya potensi pesisir masih dikelola secara tradisional, sehingga terbuka peluang untuk dikembangkan lebih lanjut, melalui sistem pengelolaan moderen. Oleh karenanya, pilihan menjadikan Nunukan sebagai kawasan industri cukup relevan.
Pencanangan BNPP untuk menjadikan Sebatik sebagai kawasan pengembangan agrobisnis dan jasa maritim masih sejalan dengan pilihan model pengembangan, yang menjadikan Sebatik dan Nunukan sebagai kawasan perbatasan laut, karena pengembangan agroindustri dilakukan dalam satu kawasan yang lebih besar, tidak  hanya  Sebatik saja,  yang kondisi lahannya terbatas. Disamping itu berkembangnya usaha perkebunan di Sebatik terutama sawit dan perikanan laut masih dalam skala kecil,  tidak efisien  mendirikan  usaha  pengolahan  berbasis  agroindustri dalam skala besar, tanpa memperhitungkan pasokan bahan baku dari wilayah lainnya disekitar Nunukan; Dari aspek ekonomi akan menambah biaya transportasi. Jasa maritim akan berkembang sebagai dampak ikutan (multiplier effect) dari berkembangnya kegiatan yang tercakup dalam sektor agroindustri sebagai basis utama pengembangan kawasan.
Jasa maritim dalam model pengembangan perbatasan laut dapat diidentikan dengan kawasan khusus pelabuhan bebas. Pada perspektif saat ini, pelabuhan bebas belum dapat dikembangkan, karena lalu lintas pelabuhan masih merupakan feeder pergerakkan barang dan orang menuju Nunukan dari wilayah sekitarnya atau sebaliknya, karena infrastruktur pelabuhan di Nunukan sudah tersedia, dapat disandari kapal barang/penumpang berskala besar.
Kawasan pengembangan Nunukan dan Sebatik, selain didukung kesiapan infrastruktur dasar terutama di Nunukan, juga didukung ketersediaan potensi lahan cukup luas untuk pengembangan lanjutan, Bandar udara dan laut, beberapa lembaga keuangan perbankan, fasilitas akomodasi (hotel) dan potensi SDM. Faktor-faktor pendukung tadi merupakan suatu keuntungan (advantage) yang berkorelasi terhadap upaya menekan kebutuhan biaya pengembangan kawasan.
Sebatik akan berkembang relatif lebih cepat sebagai transito dan jasa perdagangan, dibandingkan dengan menjadikannya sebagai pengembangan agrobisnis dan jasa maritim, karena kebutuhan biaya penyiapan infrastrukturnya cukup besar, sementara pasokan bahan baku dari luar berdampak terhadap efisiensi biaya; Para investor sangat memperhatikan kedua hal ini, karena terkait dengan keuntungan bisnis yang diharapkan. Infrastruktur kawasan transito dan jasa perdagangan berupa pelabuhan sepenuhnya menjadi tanggungjawab Pemerintah. Pada tahap awal pengembangan tentunya disesuaikan dengan kebutuhan riil, Pemerintah Daerah cukup hanya mencadangkan lahan pengembangannya.
Perikanan tangkap yang potensinya cukup besar dan disinyalemen bahwa hasilnya banyak dibawa ke Tawao, dengan harga yang diatur secara sepihak oleh pedagang di Tawao; Hal ini dapat diatasi dengan mendirikan TPI di Sebatik dan mengundang pedagang Tawao untuk terlibat didalamnya; Memfasilitasi pembangunan pabrik pengawetan ikan berorientasi ekspor di Nunukan yang pasokan listriknya relatif stabil dibandingkan Sebatik. Kepentingan nelayan adalah hasil produksinya ada yang membeli, tidak mempermasalahkan harus di Sebatik atau Nunukan, karena keduanya cukup berdekatan. Atau mengembangkan home industri pembuatan tepung ikan, baik untuk keperluan industri pembuatan panganan berbasis ikan maupun pakan ternak (ikan yang berkualitas rendah/afkir). Selama ini sektor perikanan tangkap selalu menjadi perdebatan pada tataran kebijakan pemerintah, sementara tingkat produksinya dan keterlibatan jumlah rumah tangga petani (nelayan) masih dalam skala yang tidak begitu besar. Demikian pula dalam konteks hasil produksi ekstraktif lainnya yang dihasilkan oleh Sebatik dipretensikan sebagai potensi yang nilai keekonomiannya selalu mengarah pada kesimpulan perlunya pengembangan industri berbasis agrobisnis. Namun melupakan bahwa pengembangan industri merupakan mata rantai yang mengkaitkan banyak aspek, terutama pasokan bahan baku dan infrastruktur.
Oleh karenanya, keinginan bersama untuk menjadikan Sebatik sebagai berada depan RI dilihat secara proporsional; menjadikan Sebatik sebagai transito dan jasa perdagangan akan mendorong arah pengembangannya sebagai kawasan perkotaan. Pemerintah mendorong penyiapan infrastruktur perkotaan yang diperlukan. Gabungan kawasan Sebatik dan Nunukan yang seharusnya dipacu sebagai kawasan pengembangan menggunakan model perbatasan laut, dengan menekankan sebagai kawasan industri, sehingga kedepan kedua wilayah ini akan menjadi “Kota”.

H. Menjadikan Nunukan sebagai Kota

Menjadikan Nunukan sebagai Kota Nunukan apakah relevan; jawaban relevan, sebagaimana keinginan untuk menjadikan Sebatik sebagai Kota atau Mahakam Hulu sebagai Kabupaten. Dalam konteks ini, Kota Nunukan dimaksud mencakup kawasan Nunukan dan Sebatik. Persyaratan untuk memekarkannya menjadi Kota dapat dipenuhi, tidak hanya dilihat dari aspek pertimbangan khusus sebagai wilayah perbatasan; Namun dilihat dari aspek lainnya, baik dari aspek politis, sosial budaya, ekonomi, hankam serta demografi dapat terpenuhi.
Ini berarti, perlu ada pembentukan Kabupaten Nunukan, yang mencakup wilayah 8 Kecamatan lainnya, yaitu Sei Manggaris, Lumbis, Lumbis Ogong, Sebuku, Tullin Onsoi, Sembakung, Krayan dan Krayan Selatan.  Ibukota Kabupaten Nunukan sangat strategis berada di Kecamatan Sei Manggaris, atas dasar pertimbangan berikut ini; Pertama, Kecamatan Sei Manggaris merupakan PKSN dan akan dibuka PLB darat Sei Manggaris – Serodong, sehingga memiliki prospek sebagai kawasan pertumbuhan, disamping sebagai entry point antar Negara. Keberadaan ibukota Kabupaten Nunukan diwilayah tersebut akan lebih mempercepat pengembangan kawasan tersebut.
Kedua, berdekatannya ibukota Kota Nunukan (di Nunukan) dan Kabupaten Nunukan (di Sei Manggaris) akan menciptakan sinergi pengembangan, karena sebagai Kota yang merupakan kawasan industri, membutuhkan pasokan bahan baku dari wilayah hinterland-nya, yaitu Kabupaten Nunukan. Sementara bagi Kabupaten Nunukan, diharapkan Kota Nunukan dapat berperan sebagai kota jasa, sebagaimana peran Kota Tarakan terhadap Kabupaten disekitarnya, yaitu Bulungan, Malinau dan Tana Tidung. Ini berarti, pengembangan Kota dan Kabupaten Nunukan harus saling melengkapi dan bersifat mutualisme. Pemerintah Kabupaten dan Kota Nunukan akan melakukan spesialisasi terhadap keunggulannya masing-masing secara alamiah.
Ketiga, lebih mendekatkan ibukota Kabupaten terhadap Kecamatan lainnya yang berada di daratan Kalimantan, dengan cakupan luas wilayah cukup  besar ± 13.257,78 atau 93,03 % dari luas keselruhan Kabupaten Nunukan, dimana dengan terbukannya jalur transportasi darat akan menghubungkan seluruh Kecamatan dengan ibukota Kabupaten (di Sei Manggaris). Saat ini akses jalan trans Kaltim melalui Malinau – Lumbis – Sembakung – Sebuku sudah terbuka; hanya diperlukan pemeliharaan rutin dan peningkatan kualitas jalan. Akses jalan menuju Krayan dan Krayan selatan melalui Malinau masih dalam proses pembukaan badan jalan.

P e n u t u p

K e s i m p u l a n

1. Pengembangan Sebatik memiliki arti strategis sebagai beranda depan negara RI, sekaligus mengimbangi pesatnya pembangunan di Tawao.

2. Pilihan model pengembangan dilihat dalam satu kawasan harus memperhatikan daya dukung lahan, potensi ekonomi, infrastruktur dan fasilitas publik serta SDM yang ada (demografi).

3. Pilihan model pengembangan yang tepat adalah menjadikan Nunukan dan Sebatik sebagai kawasan perbatasan laut, dengan menetapkan Nunukan sebagai pusat kawasan industri, sementara Sebatik merupakan kawasan transito dan jasa perdagangan.

4. Implikasi terhadap pilihan model tersebut adalah keharusan untuk menjadikan Sebatik sebagai kawasan perkotaan.

5. Inisiasi BNPP menjadi Sebatik sebagai kawasan agroindustri dan jasa maritm pada dasarnya sudah sejalan dengan model pengembangan sebagai kawasan perbatasan laut, yang cakupannya lebih luas, termasuk cakupan wilayahnya yang merupakan gabungan Nunukan dan Sebatik.

6. Hasil kajian untuk menjadikan Nunukan sebagai kawasan berikat pada tahun 1990-an oleh BPPT, dihadapkan pada beberapa kendala yang tidak memungkinkan pembentukan kawasan berikat. Namun hasil kajian tersebut dapat dilakukan penyesuaian model pengembangan alternatif lainnya, seperti pembentukan kawasan industri berbasis agroindustri, yang merupakan bagian dari model pengembangan perbatasan laut.

Saran-saran

1. Perlunya dilakukan kajian untuk memjadikan Nunukan dan Sebatik sebagai Kota Nunukan, dan mengalihkan Kabupaten Nunukan ke Sei Manggaris.

2. Perlunya dilakukan kajian pendirian pelabuhan ekspor – impor di Seabtik dalam skala tertentu, termasuk kajian untuk menetapkan entry point (PPLB Laut) di Sebatik.

3. Implikasi pendirian PPLB Laut di Sebatik, harus diikuti dengan kelancaran akses jalan lingkar Seabtik, dalam rangka mendukung kelancaran mobilitas orang dari dan menuju Nunukan atau sebaliknya.

Pengantar

Tulisan ini pada awalnya dimaksudkan sebagai masukan bagi Biro Perbatasan, Penataan Wilayah dan Kerjasama Setdaprov. Kaltim pada tahun 2012 lalu, yang pada saat tersebut melaksanakan kerjasama dengan Universitas Airlangga Surabaya, dalam melakukan kajian pemekaran Kecamatan Sebatik menjadi Kota.

Masukan tersebut pendekatannya bersifat pragmatis – lebih banyak didasarkan pada pengalaman dilapangan, dikaitkan dengan kebijakan yang telah diambil pemerintah. Tentunya, pendekatan ini tidak sempurna sepenuhnya, tanpa dilengkapi dengan kajian akademik; Namun, masukan yang diberikan dapat membuka khanazah terhadap pandangan lain terhadap rencama pemekaran Kecamatan Sebatik.

Tulisan ini, pembahasannya diawali dengan gambaran Kecamatan perbatasan yang ada di Kabupaten Nunukan, dilanjutkan dengan model pengembangan wilayah dilihat dari aspek teoritis dan implementasi yang telah dilakukan selama ini, sebelum mengajukan saran; bahwa yang perlu dimekarkan tersebut adalah menggabung Kecamatan yang ada di Pulau Sebatik dan Nunukan sebagai “Kota Nunukan”, dan membentuk Kabupaten Nunukan di daratan Pulau Kalimantan, tepatnya ada di sekitar wilayah Sei Manggaris.

Oleh :

Diddy Rusdiansyah A.D, SE., MM
Kepala Bidang Pembinaan Ekonomi dan Dunia Usaha Badan Pengelolaan
Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan daerah Tertinggal Provinsi Kalimantan Timur

Daftar Kepustakaan/Referensi (berdasarkan footnote)
1. Drs. H. Syaukani HR, Prof. DR. Afan Gaffar, MA & Prof. DR. M. Ryaas Rasyid, MA; Otononomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Cetakan I. Maret 2002. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal 190.

2. Ir. Rohmad Supriyadi, M.Si; Kebijakan & Strategi Untuk Mendorong Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Perbatasan (handout). Disampaikan pada Workshop Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Perbatasan, yang diselenggarakan Ditjen Bangda Kemendagri, tanggal 20 Juni 2011 di Hotel Ambhara – Jakarta Selatan.

3. Bappenas; Strategi dan Model Pengembangan Wilayah Perbatasan Kalimantan. Cetakan Pertama. November 2003. Diterbitkan Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal – Deputi Bidang Otda dan Pengembangan Regional. Jakarta.

4. Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP; Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Kedua. Cetakan Keempat. Juni 2009. Bumi Aksara. Jakarta. Hal 104.

5. Muhammad Ikhwanuddin Mawardi; Membangun Daerah yang Berkemajuan, Berkeadilan, dan Berkelanjutan. Cetakan Pertama. November 2009. IPB Press. Bandung. Hal 164.

6. Drs. Untoro Sardjito, MM; Pengembangan Infrastruktur Mendorong Pertumbuhan Wilayah Perbatasan (handout). Disampaikan pada Workshop Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Perbatasan, yang diselenggarakan DITJEN BANGDA Kementrian Dalam Negeri, tanggal 20 Juni 2011 di Hotel Ambhara – Jakarta Selatan.

7. DR. Afriadi Sjahbana Hasibuan, MPA. M.Com; Revitalisasi Pengembangan Wilayah Sebagai Upaya Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Wil. Perbatasan (handout). Disampaikan pada Workshop Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Perbatasan, yang diselenggarakan DITJEN BANGDA Kementrian Dalam Negeri, tanggal 20 Juni 2011 di Hotel Ambhara – Jakarta Selatan.

8. Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D; Ekonomika Industri Indonesia Menuju Negara Indusri Baru 2030?. CV. Andi Offset. 2007. Jakarta. Hal 67-68.

9. Syarif Hidayat & Agus Syarif Hidayat; Qua Vadis Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Cetakan Ke-1. Agustus 2010. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Hal 16 – 19.

10. BAPPENAS. Loc cit. Hal 32.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *