
Masalah ketahanan pangan bukan hanya masalah di daerah saja termasuk di Provinsi Kaltim, NAMUN sudah merupakan masalah nasional. Indikasinya terlihat dari gejolak harga yang selalu berfluktuatif akibat dari tidak seimbangnya antara pasokan dengan kebutuhan riil penduduk, sehingga tidak mengherankan pergerakan harga komoditi pangan memberikan pengaruh signifikan terhadap inflasi, baik di tingkat nasional maupun daerah. Untuk menstabilkan harga pangan (“inflasi”) maka hal yang paling prinsip dilakukan adalah memastikan jaminan pasokan pangan khususnya pangan pokok harus stabil.
Artinya, Pemerintah dituntut untuk mampu menggairahkan kegiatan produksi komoditi pangan, tidak terkecuali bagi Pemerintah Provinsi Kaltim, karena implikasi dari keberadaan IKN menyebabkan bertambahnya penduduk dari faktor migrasisebagai pemicunya. Migrasi penduduk dari daerah lain ke Kaltim belum diketahui secara pasti jumlahnya, karena tidak semua penduduk melakukan perubahan dokumen kependudukan secara langsung saat berpindah. Sementara laju pertumbuhan penduduk selama periode 2019 – 2023 hanya rata-rata 2,44 %/tahun, dan ini dapat dikatakan pertumbuhan yang bersifat alami.
Pada tahun 2019 sebelumnya jumlah penduduk Kaltim hanya mencapai 3.630.765 orang, selanjutnya meningkat tidak terlalu signifikan pada tahun 2023 yang jumlahnya mencapai 4.007.736 orang; Atau selama 5 tahun hanya bertambah 376.971 orang, karena tercatat berdasarkan kepemilikan atas dokumen kependudukan yang dikeluarkan resmi oleh Kantor Dukcapil Kabupaten/Kota se-Kaltim (DKP3A Provinsi Kaltum, 2023)
Komoditi pangan pokok yang harus dipantau perkembangan harganya ada 20 komoditi, diantaranya beras yang mencakup beras medium dan beras premium, sedangkan tingkat konsumsi beras Rumah Tangga (RT) dan Diluar RT selama periode 2019 – 2023 secara rata-rata 90,31 kg/org/thn. Dikaitkan dengan jumlah penduduk periode yang sama, yaitu rata-rata sebesar 3.839.834 orang/thn maka konsumsi beras rata-rata 346.813,50 ton/thn, sehingga defisit pasokan beras rata-rata mencapai 204.304,01 ton/thn, mengingat pasokan lokal periode yang sama hanya mencapai 142.509,49 ton/thn. Oleh karenanya defisit tersebut harus didatangkan dari luar, karena tidak ada penambahan luas panen maupun pembukaan lahan sawah baru secara signifikan, demikian pula terhadap produktifitas hasil panen (GKP) masih rendah pula.
Defisit pasokan beras ini taksasinya masih besifat kasar (“belum pasti”) karena data valid jumlah penduduk Kaltim belum diketahui pasti akibat migrasi penduduk yang belum tedata dengan baik, sehingga angka defisit dimaksud ada kemungkinan lebih besar lagi. Hal ini membuka peluang investasi bagi pemilik modal untuk membuka lahan persawahan padi yang dikelola secara moderen karena harga jual GKG atau beras medium keatas relatif tinggi. Sementara bertani sawah dengan cara moderen dapat menekan biaya operasional berkisar 25 – 50 %, sehinga keuntungan yang didapatkan relatif cukup besar sejalan dengan permintaan yang terus meningkat.
Luas lahan sawah padi di Provinsi Kaltim baru mencapai 49.682,74 Ha yang tersebar terutama di 7 Kabupaten, dimana berdasarkan RTRW Provinsi Kaltim Tahun 2023 – 2042 terdapat luas kawasan pertanian dalam arti luas ± 3.469.408 Ha. Artinya masih terbuka peluang pembukaan lahan baru untuk meningkatkan produksi. Disamping melakukan kerjasama dengan para petani yang lokal di kawasan pertanian yang potensial.
Kerjasama dengan para petani lokal memiliki arti strategis, mengingat adanya kecenderungan rumah tangga petani yang bercocok tanam padi terus mengalami penurunan, karena beralih profesi menjadi petani sawit atau pekerjaan lainnya. Selain itu, banyak terjadi alih fungsi lahan yang dijual (atau disewakan) kepada perusahaan tambang, khususnya di lahan pertanian yang bersinggungan dengan kawasan pertambangan. Permasalahan lainnya, para petani tidak mendapatkan hasil optimal akibat adanya ketergantungan modal kerja (“hutang”) dari pengijon lokal, sehingga hasil panen diterima setelah dipotong hutang, sedangkan hasil panen dijual kepada pengijon bersangkutan dengan harga jual ditentukan sepihak.
Demikian pula dalam hal pengolahan pertanian masih belum tersentuh teknologi pertanian secara optimal, terbukti dari rendahnya produktifitas hasil panen yang berkisar rata-rata 3,29 ton/Ha di 10 Kabupaten/Kota se-Kaltim, karena luas panen yang didapatkan rata-rata 63.545,32 Ha dari rata-rata luas lahan pertanian 49.682,74 Ha (DPTPH Provinsi Kaltim, 2023). Salah satu contoh pengolahan pertanian padi sawah yang sudah sukses adalah di UPTD BBI TPH DPTPH, mampu menghasilkan lebih dari 6 ton/Ha tergantung jenis bibitnya dengan kadar air 15 – 16 %. Ini merupakan implikasi dari penanganan PH tanah yang semula 4,2 menjadi 6,8, sehingga derajat keasaman lahan sudah berkurang drastis, mendekati derajat ke-basa-an diatas kondisi ideal (6,5).
Untuk penbukaan lahan baru oleh investor harus ada kepastian regulasi terutama peruntukan lahannya adalah pertanian, serta kemudahan perizinan/non perizinan terutama Izin Lokasi, guna memberikan kepastian hukum untuk berusaha, mengingat pengembalian modal (payback period) membetuhkan waktu relatif lama. Kemitraan perusahaan dengan petani lokal membutuhkan pula pembinaan dari Pemerinah Daerah setempat, walaupun secara teknis perusahaan tetap berperan secara teknis. (//drs, Malang 22/06/2024)
Leave a Reply