
O l e h :
Diddy Rusdiansyah A.D, SE, MM, M.Si
P s n g a n t a r
Dunia jurnalistik terus berkembang pesat hingga saat ini maupun kedepannya sejalan dengan berkembangnya teknologi informatika dan komunikasi (TIK) terutama media siber (on line), sehingga menimbulkan konsekwensi terhadap kharakteristik pemberitaan yang tersaji secara riil time, yaitu antara waktu kejadian dengan penayangan berita tanpa ada jeda waktu relatif lama. Batasan waktu bukan merupakan kendala prinsip, termasuk tidak ada lagi batasan dimensi ruang sebagai konsekwensi lainnya dari perkembangan TIK. Tulisan ini merupakan hasil diskusi dengan Ketua Umum ASOSIASI MEDIA SIBER INDONESIA (AMSI) Provinsi Kalim; Ahmad Yani, saat bertemu di Balikpapan pada tanggal 20 Pebruari 2024 lalu.
Peristiwa/kejadian yang terjadi di tempat lain sekalipun dalam jarak yang berjauhan dengan mudah kita dapatkan berita up date-nya melalui media siber atau siaran televisi/radio (media audio-visual). Hal inilah yang menyebabkan media siber lebih diminati dibandingkan media cetak, dan berita yang telah ditayangkan sebelumnya mudah ditelusuri (tracking), disamping hanya dengan memanfaatkan smart phone atau gadget sudah dapat mengakses berita dalam satu genggaman tangan.
Tulisan saya sebelumnya telah mengingatkan bahwa media siber di Kaltim harus segera melakukan pembenahan terutama sspek legalitas kelembagaan, yaitu berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) serta Pimpinan Redaksi (Pimred) telah berstatus sebagai wartawan ahli utama dan khususnya para wartawan yang menjadi ujung tombak mendapatkan pemberitaan media bersangkutan telah lulus uji kompetensi wartawan (UKW), paling tidak lulus kompetensi tingkat pertama, secara bertahap terus ditingkatkan menjadi tingkat madya hingga akhirnya menjadi tingkat utama.
Berita yang Baik
Dalam dunia jurnalistik berlaku kaidah bahwa berita yang baik adalah berita yang mengungkapkan fakta sebenarnya tanpa ada rekayasa, didasarkan data otentik, sumber data yang jelas dan dapat dipercaya. Sumber data dapat bersifat perorangan atau dalam kapasitas mewakili kelembagaan.
Sumber data dapat pula merupakan saksi atas kejadian/peristiwa yang menjadi obyek pemberitaan. Selain itu, sumber berita dapat berasal dari kalamgan akademisi, walaupun secara faktual bukan sebagai saksi atas kejadian/peristiwa, akan tetapi keberadan akademisi dibutuhkan untuk mendapatkan tanggapan berdasarkan keilmuannya, sehingga pembaca dapat melihat suatu obyek pemberitaan secara berimbangan, tidak tendensius, dan terlebih lagi berkonotasi untuk memojokan seseorang atau lembaga tertentu, baik lembaga pemerintahan maupun swasta.
Media siber khusunya harus menampilkan pemberitaan yang tidak membentuk opini dikalangan pembaca-nya, apalagi dijadikan alat oleh pihak tertentu untuk kepentingan pribadinya sepihak. Kode etik asosiasi tetap harus dijaga, dimana pintu terakhirnya ada pada Pimred. Dilema sponsorship dihadapi banyak media, termasuk media siber karena setiap media perlu sumber dana yang sah untuk kegiatan operasional. Namun ini dapat diatasi dengan menydiakan kolom khusus, dan format pemberitaannya lebih bersifat promosi individual/kelembagaan.
Sumber Berita dari Kalangan Akademisi : Suatu Keharusan
Kalangan akademisi seringkali mengungkapkan fakta yang sebelumnya tidak terpikirkan saat seorang jurnalis mempersiapkan tayangan berita atas suatu peristiwa tertentu. Akademisi melihat suatu peristiwa dari keilmuannya dalam menjawab 5 W, dan murni tidak ada kepentingan apapun serta bersifat netral guna menjaga integritas keilmuannya.
Apa yang menjadi penyebab masalah dan bagaimana solusinya harus didapatkan seorang jurnalis saat wawancara dengan akademisi, sehingga secara proporsional tayangan berita memberikan solusi, walaupun bukan merupkan solusi final karena masih terbuka solusi lainnya.
Jurnalis dalam memilih akademisi yang menjadi sumber berita harus menselaraskan substansi pemberitaan dengan latar belakang keilmuan akademisi bersangkutan. Misalnya untuk berita yang berhubungan dengan masalah ekonomi, maka relevan untuk melibatkan masukan dari akademisi yang merupakan pakar ekonomi pembangunan.
Oleh karenanya wajar para jurnalis membangun komunikasi dengan para akademisi yang memiliki keilmuan yang berbeda, tidak selalu saat akan melakukan wawancara. Banyak momen yang dapat digunakan untuk itu, saling mengenal akan membentuk chemistry antara jurnalis dengan akademisi.
Fakta yang Dihadapi
Diskusi dengan Ahmad Yani (Ketua AMSI) terdapat 3 hal yang perlu menjadi perhatian, yaitu; Pertama, terbatasnya para akademisi yang bersedia untuk menjadi sumber berita, walaupun hanya sekedar dimintai tanggapan dari aspek keimuannya. Disatu sisi faktor penyebabnya adalah kurangnya komunikasi jurnalis dengan para akademisi (dosen) Perguruan Tinggi setempat, seningga wajar adanya sikap kehati-hatian untuk memberikan tanggapan.
Kedua, para akademisi cenderung menghindar memberikan pernyataan yang berimplikasi terhadap timbulnya polemiks berkelanjutan sebagai respon pihak lain yang merasa dirugikan dengan tayangan berita media tertentu, walaupun sebenarnya ada hak jawab sebagai solusinya.
Ketiga, tidak semua akademisi responsif terhadap pola kerja jurnalis yang tidak mengenal jam kerja. Tayangan berita sudah tahap death lock, seringkali komunikasi dilakukan by phone tanpa mengenal siapa lawan bicara (“wartawan”), sehingga komunikasi terputus tanpa ada dialog interaktif, jangan heran substansi berita kadangkala tidak didasarkan masukan dari pakar sebenarnya.
Solusinya
Kalangan media siber melalui asosiasinya masing-masing, yaitu AMSI, SMSI (SERIKAT MEDIA SIBER INDONESIA) dan JMSI (JARINGAN MEDIA SIBER INDONESIA), secara intens melakukan komunikasi dengan Pergurian Tinggi setempat, sedangkan para jurnalis secara invidual menjaiin komunikasi dengan para akademisi.
Komunikasi dapat mencairkan suasana dan menimbulkan sikap keterbukaan kedua belah pihak. Disamping itu diharapkan, paling tidak kalangan akademisi dapat mengetahui ritme kerja jurnalis. Tidak mudah menumbuhkan “trust”, namun bukan suatu keniscayaan, selama kalangan jurnalis bisa membuktikan bahwa sikap profesionalnya.
Mengejar berita adalah suatu keharusan, namun menyampaikan berita yang “baik” dengan kaidah-kaidah sebagaimana telah diutarakan diatas adalah lebih penting lagi, dari sinilah trust dapat tercipta. Atau dengan kata laiinya, tanpa merendahkan profesi jurnalis, tunjkan good will bahwa jurnalis dan akademisi dapat saling melengkapi. Aktualisasi akademisi dapat ditonjolkan melalui media siber ini sebagaimana hal media cetak.
Upaya AMSI
Dalam kapasitas sebagai Pembina AMSI Provinsi Kaltim, saya mensarankan kepada para anggota, yang merupakan perusahaan pers berbasis media siber, untuk membina jurnalis-nya masing-masing.
Para akademisi umumnya berminat melakukan dialog interaktif dengan tema apapun. Hal ini dapat dijadualkan secara berkala oleh AMSI, memilih tempat yang cukup hospitality sebagai tempat dialog, sedangkan anggota yang berada diluar kota dapat hadir secara virtual.
Pada akhirnya apa yang saya jelaskan ini terkait dengen kredibilitas kelembagaan dan individual jurnalis bersangkutan. Kredibilitas kelembagaan tentunya teraktualisasikan dengan kualitas pemberitaan yang ditayangkan, yaitu lengkap, komprehensif serta menggunakan tata bahasa yang baik dan benar.
Kredibilitas individu berhubungan dengan teknik melakukan wawancara, membuat pemberitaan dan tidak kalah pentingnya adalah penampilan saat wawancara dengan para sumber pemberitaan. Jangan ada kesan lagi jurnalis identik dengan penampilan yang lusuh (mohon maaf bila membuat ketersinggungan, tapi tidak ada niat saya untuk itu).
**) Tulisan ini disajikan dalam kapasitas pribadi saya sebagai Pembina AMSI Provinsi Kaltim, sehingga ada beban moral untuk saling mengingatkan dalam mengembangkan media siber yang lebih baik lagi kedepannya, terutama yang tergabung dalam AMSI.
Leave a Reply