A. P e n g a n t a r
Judul tulisan diatas seakan-akan menggambarkan bahwa ekonomi Indonesia masih bersifat tradisional – bercirikan struktur ekonomi yang bertumpu sepenuhnya pada sektor pertanian di pedesaan (rural), dipadankan dengan sektor ekonomi moderen; yang ditandai dengan terpusatnya kegiatan industri di perkotaan (urban); sebagaimana diungkapkan oleh Hollis B. Chenery dengan teori transformasi ekonomi-nya. Namun, sebaliknya tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa ciri-ciri ekonomi tradisional masih terdapat di Indonesia, karena kondisi geografis dan tatanan sosial budaya yang ada dilingkungan masyarakat – masih memungkinkan tetap hidupnya ciri-ciri mendasar ekonomi tradisional, yang perlu dipertahankan sebagai suatu kearifan lokal. Oleh Nuhfil Hanani dan Mangku Purnomo (2010; 31 – 36), melihat sisi lain ekonomi tradisional sebagai struktur ekonomi lokal, yang dimaknai sebagai perubahan pola interaksi sosial sekelompok masyarakat terkait aktifitasnya dalam memenuhi kebutuhan hidup – Struktur ekonomi dimaksud setidaknya ada dalam 2 (dua) tipe, yaitu non kapitalis dan kapitalis.
Struktur ekonomi non kapitalis inilah yang berdekatan dengan ciri ekonomi tradisional, karena menurut Nuhfil Hanani dan Mangku Purnomo; dalam struktur ekonomi non kapitalis, hasil produksi tidak diperjualbelikan secara komersial, namun digunakan bersama secara komunal sebagai produksi sosial – produksi berorientasi pada nilai guna. Berbeda dengan struktur ekonomi kapitalis, hasil produksi dipertukarkan di pasar dan sedikit digunakan bersama sebagai produksi sosial – produksi berorientasi nilai tukar.
Dalam tulisan ini – sebelum membahas kelembagaan ekonomi tradisional berdasarkan ciri-ciri mendasarnya, terlebih dahulu akan dibahas latar belakang; mengapa ekonomi tradisional masih tetap ada, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang masyarakat tradisional yang sebagian besar terdapat di pedesaan sebagai basis komunalnya. Selanjutnya dibahas pula sistem ekonomi yang berlaku saat ini – diperbandingkan dengan beberapa ciri ekonomi tradisional.
B. Latar Belakang – Mengapa Ekonomi Tradisonal Masih Ada
Ekonomi moderen yang berkembang saat ini berorientasi pada pasar, dimana didalamnya terbentuk harga yang merupakan titik temu kekuatan permintaan dan penawaran. Disamping itu, para pelaku ekonomi moderen orientasinya lebih mengedepankan profit, dengan meminimalisasi peran pemerintah, karena dianggap bahwa keterbelakangan Negara-negara berkembang bersumber dari buruknya keseluruhan alokasi sumber daya yang selama ini bertumpu pada kebijakan-kebijakan pengaturan harga yang tidak tepat dan adanya campur tangan pemerintah yang berlebihan (Todaro, 2006; 147-148); inilah yang sering disebut dengan paham “kontra revolusioner neoklasik – liberalisme (pengembangan lebih lanjut dari paham klasik Adam Smith)” – Paham ini, walaupun tetap memberikan peran kepada pemerintah, namun sifatnya adalah pemenuhan terhadap sektor-sektor ekonomi, dimana para pelaku ekonomi tidak berkeinginan untuk masuk kedalamnya, yaitu pemenuhan terhadap “public good”. Peran pemerintah lainnya adalah melakukan regulasi agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik. Oleh Boediono (2009; 34-35), Tindakan pemerintah tadi pada akhirnya diharapkan dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat. Ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan menurut Boediono, yaitu; (a) strategi pembangunan yang tidak melupakan sejarah (ahistoris); dan (b) sikap dalam menghadapi globalisasi. Kedua hal tersebut menegaskan bahwa upaya dan hasil-hasil pelaksanaan pembangunan tidak melepaskan sifat ke-Indonesia-an kita; kita tetap memilki identitas sebagai Negara bangsa – tidak melapaskan sejarah akar sosial budaya, yang telah terbentuk sejak lama – tidak menjadikan kemajuan Negara kapitalis sebagai padanan kemajuan ekonomi.
Beranjak pada pengalaman tahun 1930-an, saat terjadinya depresi besar membuktikan bahwa peran pemerintah tetap diperlukan, karena mekanisme pasar tidak mungkin berlaku sesuai teorinya, yaitu dapat melakukan penyesuaian secara alami. Oleh Keynes (tepatnya pemahaman yang dikembangkan oleh penganut neoliberal), pasar tetap diperlukan untuk terciptanya efisiensi ekonomi, namun pemerintah harus tetap eksis untuk mengendalikan kemungkinan terjadinya penyimpangan melalui penerapan; pertama, secara langsung menerapkan kebijakan fiskal; dan kedua, dengan cara tidak langsung melalui penetapan regulasi (aturan), terutama aspek pengalokasian potensi sumber daya ekonomi, agar tidak bertumpu pada pihak tertentu saja; dan aspek penciptaan stabilitas ekonomi, sehingga dapat tercipta kepastian usaha (lihat Revrisond Baswir, 2010; 10-11).
Negara Amerika Serikat (USA) – Negara yang menganut paham kapitalis murni, sejak era Presiden Rhonald Reagan, mewujudkan peran pemerintah melalui “sisi penawaran”, dengan mengatur kebijakan fiskal yang diharapkan dapat menjadi stimulan didalam menggerakkan sisi permintaannya. Kelompok Negara terutama Negara Eropa Bagian Barat (Nordic) telah menerapkan sistem pasar sosialis, yaitu sistem ekonomi politik dengan ciri kebebasan berinisitif, dengan tetap mengedepankan tanggungjawab sosial (lihat Didik J. Rachbini, 2004; 58). Implementasinya – Negara mengambil peran yang aktif dalam merencang desain ekonomi dan mengatur mekanisme pasar yang sehat, membuat pengaturan hukum yang proporsional – Peran Negara tidak berarti mematikan mekanisme pasar, akan tetapi justru mendinamisasikannya melalui intervensi kualitatif. Berbeda halnya dengan Negara RRC, menerapkan sistem ekonomi kapitalis tanpa melepaskan ideologi Negara yang tetap berbasis pada paham komunis (lihat John dan Doris Naisbitt, 2010).
Bagaimana dengan Indonesia – paham Ekonomi Pancasila (lihat Boediono, 2009, 47-50); ada 5 (lima) ciri yang terdapat didalamnya; 2 (dua) diantaranya, yaitu diterapkannnya rangsangan (incentive) yang bersifat ekonomi dan moral, serta kecenderungan sosial kearah pemerataan sosial (egalitarianisme) – kesemuanya itu pada akhirnya mengedepan koperasi sebagai pilar utama Sistem Ekonomi Indonesia (ciri ke-3); Oleh Muhammad Hatta maupun Sjafruddin Prawiranegara; ini dikatakan sebagai Ekonomi Sosialis Indonesia, karena mengedepankan sikap kegotongroyongan dan religius masyarakat Indonesia (lihat M. Dawam Rahardjo, 2011).
Perkembangan ekonomi moderen merupakan tahapan dari perkembangan ekonomi tradisional, yang saat ini dapat dikatakan sudah tidak ada lagi. Permasalahannya pada tataran tertentu; apakah ekonomi tradisional memang tidak ada lagi di Negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Dalam bentuk “ekstrim” dapat dikatakan bahwa akibat dari pengaruh kemajuan teknologi, ekonomi tradisional sudah tidak ada, namun implementasi kemajuan teknologi tidak merata atau bahkan tidak tersentuh, terutama pada wilayah terpencil di pedesaan, pesisir pantai dan kepulauan kecil. Dalam kondisi demikian, kita dapat melihat beberapa ciri ekonomi tradisional masih tetap ada. Apalagi dikaitkan dengan realitas dari kondisi geografis Negara Indonesia yang begitu luas; terdiri atas pulau besar dan kecil, yang dipisahkan oleh laut, dengan corak ragam sosial budaya yang berbeda. Sementara pemerataan hasil-hasil pembangunan antar wilayah belum sepenuhnya tercapai. Sementara, oleh Karmiji (dalam A.B. Susanto, 2010; 87); model pembangunan wilayah memiliki 3 (tiga) dimensi pokok, yaitu: ekonomi (kualitas dan kuantitas pertumbuhan ekonomi), sosial (fungsionalitas institusi, stabilitas sosial dan pemerataan) dan lingkungan hidup (stabilitas ekosistem dan kesehatan lingkungan). Merujuk pada ketiga dimensi tersebut mengisyaratkan bahwa sebelum terjadinya interaksi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup dengan baik; kesenjangan pembangunan wilayah dapat terjadi – ini akan menciptakan tumbuhnya ekonomi lokal yang bersifat tradisional (lihat kembali Nuhfil Hanani dan Mangku Purnomo). Berdasarkan beberapa realitas tadi menjadi penguat asumsi bahwa ekonomi tradisional masih tetap ada, dengan tingkatan yang berbeda atas dasar ciri-ciri ekstrimnya (akan dibahas berikutnya).
C. Masyarakat Tradisional – Sudut Pandang Ekonomi
Dalam konteks Indonesia, dan umumnya Negara-negara berkembang lainnya, peran pemerintah relatif dominan, karena struktur pasar-nya belum begitu canggih dan kondisi ekonomi masyarakat masih berbaur antara; (1) ekonomi bernuansa moderen, yang diindikasikan dengan kegiatan industrialisasi serta meningkatnya kegiatan sektor jasa; dan (2) bernuansa tradisional, dimana sebagian besar masyarakat berada didalamnya, bermata pencarian utama di sektor agraris (ekstraktif) di pedesaan (termasuk wilayah pesisir dan kepulauan terpencil). Oleh Anne Booth dan Peter McCawley (1979; 19); salah satu masalah yang dihadapi Indonesia sejak jaman penjajahan adalah dualisme, baik dualisme yang bersifat teknologi, ekonomi, sosial dan kultural.
Walaupun sumbangan sektor industri pengolahan relatif lebih dominan dibandingkan sektor pertanian (agraris) didalam membentuk PDB tahun berjalan, namun komposisi penduduk yang bergerak di sektor pertanian (“tenaga kerja sektor informal”) lebih banyak, karena selain kemudahan akses bekerja tanpa keharusan berpendidikan tinggi (rata-rata penduduk pedesaan Indonesia berpendidikan s/d SD), juga disebabkan oleh ketersisihan memasuki pasar kerja formal, yang mengharuskan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Lembaga Demografi FEUI (2011; 94); berdasarkan net enrolment ratio (APM) – rasio antara banyaknya murid usia jenjang pendidikan tertentu dengan banyaknya jumlah penduduk pada kelompok usia yang sama; menunjukkan bahwa tidak semua penduduk usia sekolah dapat menikmati bangku sekolah dan peluang bersekolah semakin kecil, seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan.
Oleh Rahardjo Adisasmita (2010; 37), dikatakan bahwa sebagian Negara berkembang perekonomiannya mengandung unsur feodal. Feodalisme ini sendiri bertumpu pada masyarakat pedesaan tradisional yang landasan ekonominya bergerak dibidang pertanian (agraris). Hierakhi hubungan masyarakat feodal membedakan kelas “tuan tanah”, yang memiliki modal terutama berupa lahan garapan dan kelas “penggarap lahan”. Kelembagaan ekonomi tradisional (di pedesaan), sebagaimana dikatakan Ahmad Erani Yustika (2010; 309); hanya menjangkau komunitas terbatas, sehingga memungkinkan setiap pelakunya (penjual dan pembeli) saling mengenal, sehingga sifat pasar menjadi personal. Pasar yang bersifat personalitas tersebut dapat meminimalkan (bahkan menghilangkan) biaya transaksi, sehingga tidak memerlukan instrumen lainnya sebagai penopang terjadinya transaksi. Tentunya, harga hasil pertanian menjadi murah, karena harga semata-mata ditentukan oleh biaya produksi ditambah sedikit keuntungan (profit). Kalaupun sistem barter (pertukaran barang/jasa) masih ada, tapi hanya diberlakukan dalam skala terbatas, sejalan dengan perkembangan monetisasi kehidupan masyarakat.
Implikasi monetisasi dan berkembangnya kelembagaan pasar di pedesaan, pasar menjadi bersifat impersonal (penjual dan pembeli belum tentu saling mengenal), karena jangkauan interaksi mencakup komunitas lebih luas. Hal ini lebih ditopang lagi dengan ketersediaan sarana dan prasarana transportasi desa – kota. Akumulasi dari kondisi demikian, dalam masyarakat feodal pedesaan, pelaku ekonomi tidak hanya merupakan interaksi pemilik modal (tuan tanah) dengan petani penggarap, namun ditambah dengan kehadiran pihak ketiga (mediator – pemilik modal berupa dana), bertindak sebagai tengkulak hasil pertanian (menghubungkan penjual di desa dan pembeli akhir di kota). Biaya transaksi bertambah, karena ada biaya antara yang dikeluarkan tengkulak. Permasalahannya, karena penguasaan informasi pasar yang lebih luas, sehingga menyebabkan tawar menawar tengkulak lebih kuat, sehingga nilai tambah keuntungan lebih banyak dinikmati tengkulak, sedangkan petani penggarap hanya sekedar menerima upah kerja relatif tidak banyak berubah.
Sumber : Diolah dari Berita Resmi Statistik – BPS, No. 45/07/Th.XIII, Juli 2010.
Sistem ekonomi feodal (tradisional) cenderung tetap bertahan selama dominasi sektor pertanian (“masyarakat pedesaan”) dalam satu wilayah masih ada – dikelola secara sederhana; berjalan seiring dengan berkembangnya ekonomi moderen pada masyarakat di perkotaan. Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Indonesia yang berada (bertempat tinggal) di pedesaan mencapai rata-rata 51,49 %/tahun selama periode waktu 2007 s/d 2010. Implikasinya relatif besarnya komposisi penduduk yang bermukim di pedesaan berkorelasi terhadap upaya untuk mengembangkan sektor pertanian, guna menyerap tenaga kerja yang ada. Pada tabel 2, dapat diketahui bahwa lapangan kerja di sektor pertanian menyerap tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Selama kurun waktu 2008 – 2010, rata-rata tenaga kerja yang terserap oleh sektor ini mencapai rata-rata 42,85 juta orang/tahun dari seluruh penduduk usia kerja. Sektor Perdagangan yang merupakan sektor terbesar kedua dalam menyerap tenaga kerja, mencapai 21,58 juta orang/tahun, kemudian diikuti sektor Jasa Kemasyaratan dan Industri, masing-masing mencapai 14 juta orang/tahun dan 12,70 juta orang/tahun.
Namun demikian, data kemiskinan yang dipublikasikan oleh BPS per Juli 2010 lalu menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 13,33 % dari totalitas jumlah penduduk (lihat tabel 3). Untuk desa sendiri – angka kemiskinan tersebut mencapai 10,56 %; bandingkan dengan kota, yang hanya sebesar 9,87 %. Artinya, kumulatif angka kemiskinan didominasi oleh penduduk miskin yang ada di desa. Angka kemiskinan diukur secara makro atas dasar pengeluaran/pendapatan rumah tangga – komposisi distribusi lainnya tidak dipertimbangkan (lihat Hal Hill, 2002; 258). Apabila dirunut lebih lanjut, tanpa mempertimbangkan kemahalan harga (inflasi), maka indikasi kemiskinan lebih banyak ditentukan keterbatasan penyerapan tenaga kerja di desa, walaupun pada tabel 2 sebelumnya menunjukan sektor pertanian paling banyak menyerap tenaga kerja. Mengingat, tenaga kerja yang terserap tidak selalu bekerja penuh waktu, banyak diantaranya bekerja paruh waktu atau musiman, dengan upah yang relatif kecil, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup layak – dibawah pendapatan minimal, sehingga dikategorikan miskin.
Sumber : Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, Edisi I Juni 2010.
Oleh karenanya merujuk pada laporan Lembaga Demografi FEUI ( (2011; 97); disebutkan bahwa akses terhadap pekerjaan yang layak dan produktif merupakan salah satu kunci pengentasan kemiskinan, dan peningkatan akses terhadap pembangunan pendidikan dan kesehatan.
Ketimpangan pembangunan secara sektoral maupun regional (desa – kota), ditambah lagi dengan rendahnya nilai tambah hasil pertanian serta tingkat harga yang bersifat inelastis, merupakan sisi lainnya yang menyebabkan perekonomian tradisional pedesaan berkembang tidak dalam skala besar. Berbeda dengan keadaan di perkotaan yang ekonominya tumbuh lebih pesat bergaya moderen, dengan indikator makro mengikuti ketentuan global, seperti pertumbuhan ekonomi (PDB), stabilitas harga (inflasi), tingkat bunga pasar uang, indeks harga saham pasar modal dan peredaran uang (supply of money), Sementara di pedesaan ukuran kemajuan ekonomi diukur dalam tataran sederhana, yaitu pada tingkatan primer, indikatornya cukup pangan, sandang dan papan; sedangkan pada tingkatan sekunder harapan tersedianya pendidikan, pelayanan kesehatan yang terjangkau dan aliran listrik yang permanen, dipandang sudah cukup memadai.
Perbedaan ekonomi antara pedesaan yang masih bersifat tradisional dan di perkotaan yang sudah moderen, akan menciptakan dualisme ekonomi, yang tidak hanya berlaku di Indonesia, namun sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, berlaku pula di Negara-negara berkembang lainnya. J.H. Boeke (dalam M.L Jhingan, 2000; 201-210), melihat “dualisme penerapan ekonomi” dalam masyarakat Indonesia – yang satu menerapkan ekonomi tradisional; umumnya berbasis pertanian – berlatarbelakang budaya ketimuran (asli), sedangkan disisi lainnya akibat pengaruh budaya asing (impor) pada kelompok masyarakat perkotaan – menerapkan ekonomi kapitalis yang berorientasi pasar sepenuhnya.
Sumber : Berita Resmi Statistik – BPS, No. 45/07/Th.XIII, Juli 2010.
Melengkapi pendapat Boeke tadi; Prof. Higgins (lihat M.L Jhingan, 2000; 206); dalam masyarakat Negara-negara berkembang terjadi pula apa yang disebut dengan “dualisme teknologi”, yaitu penggunaan pelbagai fungsi produksi pada sektor ekonomi moderen dan sektor ekonomi tradisional, sehingga menyebabkan terjadinya pengangguran struktural di sektor industri moderen (di perkotaan) dan pengangguran tersembunyi di pedesaan (tradisional). Harapannya, apabila pemerintah mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara merata, baik secara sektoral maupun regional, maka dualisme ekonomi dapat dieliminir tidak terlalu mencolok (lihat kembali Karmiji).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2010 yang mencapai 6,1 %, demikian pula pada tahun-tahun sebelumnya menunjukkan pertumbuhan positif diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia (lihat tabel 4). Namun pertumbuhan tersebut lebih ditopang oleh peningkatan konsumsi masyarakat, bukan sebaliknya ditopang oleh tingkat investasi. Kondisi demikian terjadi, karena struktur PDB yang ada lebih didominasi oleh berkembangnya sektor ekonomi berbasis jasa (non tradeable).
Keterangan : 1) Satuan dalam % ; 2) Posisi s/d kuartal ke-3; 3) Rata-rata pangsa pasar selama periode waktu 2004 s/d 2007 (tidak termasuk Migas).
Sumber : Diolah dari Buku Lanskap Ekonomi Indonesia oleh Faisal Basri & Haris Munandar, hal 43).
Krisis ekonomi global 3 tahun terakhir berdampak terhadap penurunan permintaan produk dunia, namun tidak memberikan pengaruh signifikan bagi perekonomian Indonesia, mengingat masih kuatnya permintaan produk dalam negeri; disinilah letak sisi positif dari kuat konsumsi masyarakat sebagai penopang PDB (“laju pertumbuhan ekonomi”). Sebaliknya, sisi negatif yang dirasakan adalah kurangnya pembukaan lapangan kerja baru, mengingat sektor ekonomi non tradeable bersifat “intensif modal” dan hanya menyerap tenaga tenaga kerja yang memiliki pendidikan dan keahlian relatif tinggi (lihat Faisal Basri dan Haris Munandar, 2009; 45)
Potensi pertanian pedesaan yang relatif masih besar, terutama diluar pulau Jawa, dapat lebih ditingkatkan lagi hasilnya, dengan cara membenahi infrastruktur pertanian, seperti jaringan irigasi dan jalan desa. Pembangunan infrastruktur ini memiliki arti strategis dari aspek pemerataan pembangunan; menciptakan keseimbangan pemba-ngunan desa – kota sesuai dengan prioritas kebutuhan setempat. Disamping membuka kesempatan kerja di desa, guna menekan eksodus anak-anak muda usia kerja ke kota, yang umumnya memasuki lapangan kerja sektor informal, sebagai pekerja (buruh), karena latar belakang pendidikan/keterampilan yang tidak memungkinkan mereka masuk lapangan kerja sektor formal.
Pembangunan desa bukan dalam artian “memodernisasikan” desa, mengingat dari aspek sosial percepatan pembangunan, tanpa perencanaan yang matang akan berdampak terhadap bergesernya nilai-nilai kearifan lokal yang seharusnya tetap dipertahankan, Ketradisionalan desa bukan berarti keterbelakangan, budaya saling membantu (kegotong royongan) patut tetap dipertahankan. Untuk itu diperlukan rumusan pembangunan yang tepat, diawali dengan pemahaman ekonomi tradisional pedesaan, baik dari aspek ciri-cirinya maupun keuntungan dan kelemahannya.
D. Sistem Ekonomi – Tinjauan Umum
Pemahaman sistem ekonomi menurut Deliarnov (2006; 4); mencakup keseluruhan proses dan aktifitas masyarakat dalam upaya memecahkan masalah-masalah ekonomi, sekaligus mencapai tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan politik masyarakat bersangkutan. Menurut Gregory dan Stuart (dalam Deliarnov, 2006; 4), disebutkan bahwa sistem ekonomi mencakup mekanisme, penganturan pengorganisasian, dan aturan untuk membuat dan melaksanakan keputusan-keputusan tentang alokasi sumber daya yang terbatas jumlahnya. Merujuk pada pemahaman yang disebut terakhir, maka apabila dilakukan pemilihan akan terdapat 4 (empat) hal yang menjadi penekanannya, yaitu :
1) Adanya organisasi yang harus melakukan pengaturan dalam pengambilan keputusan ekonomi, yang pilihannya dapat dilakukan secara terpusat (sentralistis) oleh pemerintah pusat atau disebarkan pada jenjang pemerintahan dibawahnya (desentralisasi). Dalam konteks ini secara politis mengisyaratkan adanya pembagian kewenangan.
2) Pengaturan mekanisme penyebaran informasi dan koordinasi, yang pilihannya dapat dilakukan melalui suatu perencanaan terpusat oleh lembaga pemerintahan atau melalui mekanisme pasar.
3) Pengaturan kewenangan atas hak kepemilikan kekayaan produktif; Diserahkan sepenuhnya sebagai kepemilikan tunggal Negara (public) untuk kepentingan bersama. Atau pada tingkatan ekstrim sebagaimana berlaku umumnya di Negara-negara yang menganut sistem kapitalis, kekayaan produktif diberikan penguasaannya pada individu (swasta) pemilik modal. Atau mengambil jalan tengah; dikelola secara kolektif; dalam batasan tertentu swasta diberikan kewenangan untuk mengelolanya.
4) Mekanisme penetapan berbagai tujuan dan sistem insentif. Pilihannya adalah memberikan insentif atau moral dalam menggerakan para pelaku ekonomi. Umumnya, pilihan tersebut berupa insentif ekonomi.
Mengingat pilihan sistem ekonomi terkait dengan ideologi politik yang dianut suatu Negara, maka nuansa politis akan selalu memberikan pengaruh terhadap pengambilan keputusan ekonomi, sehingga secara “kelembagaan”, sebagaimana dikemukakan oleh Yeager (dalam Ahmad Erani Yustika; 35); kelembagaan adalah sebagai aturan main (rule of the game) dalam masyarakat. Aturan main tersebut mencakup regulasi yang memapankan masyarakat untuk melakukan interaksi.
Ekonomi tradisional, yang masih kental dalam kehidupan masyarakat Indonesia, merupakan bagian sub sistem dari pengembangan sistem ekonomi Artinya, secara kelembagaan sistem dimaksud hidup dan berjalan diatas realitas sosial, politik, hukum, budaya dan lainnya secara sesungguhnya dalam satu kesatuan analisis. Oleh karenanya, formulasi ekonomi kelembagaan akan berbeda-beda, apabila diberlakukan pada setiap sistem ekonomi yang berbeda. Dalam konteks Negara Indonesia, yang secara konstitusional menganut paham “sosialis” dan realitas dalam kehidupan masyarakat masih terdapat sistem ekonomi “tradisional”, berbaur dengan sistem yang lebih moderen, sehingga menimbulkan dualisme kondisi perekonomian (tradisional – moderen) – lihat kembali Boeke dan Prof. Higgins (dalam M.L Jhingan; 2000). Untuk memasuki pembahasan kelembagaan ekonomi tradisional tersebut terlebih dahulu memahami ciri-cirinya, termasuk sisi keuntungan dan kelemahannya.
E. Ekonomi Tradisional – Relevansinya di Indonesia
Sistem ekonomi tradisional merupakan sistem ekonomi yang dijalankan secara bersama untuk kepentingan bersama, dan berkembang dari kebiasaan hidup masyarakat “komunal”, baik sebagai warisan masa lalu maupun dalam perspektif saat ini, yang masih mempertahankan tradisi sebagai kearifan lokal, dan sekaligus menjadi nilai kebenaran sosial yang menjadi pengikat interaksi masyarakat didalamnya. Artinya, pemahaman ekonomi tradisional tidak mengenal batasan dimensi waktu, selama ciri-ciri tidak berubah.
Ciri mendasarnya adalah barang/jasa yang diperlukan, diproduksi oleh masyarakat itu sendiri, namun dalam kenyataan hal ini sudah tidak ada lagi, kecuali pada kehidupan masyarakat primitif (seperti kehidupan beberapa suku yang ada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua – hidup bersifat nomaden). Adapun ciri-ciri selengkapnya ekonomi tradisional, yang masih dianggap relevan untuk konteks saat ini adalah sebagai berikut :
1) Teknik produksi dapat dipelajari secara turun menurun dan bersifat sederhana.
Secara umum dalam lingkup agraris – penerapan teknik berproduksi sifatnya masih sederhana dan diwariskan secara turun temurun antar generasi. Proses pembelajaran bersifat otodidak, dimana faktor pengalaman sangat menentukan keberhasilan produksi. Alat produksi yang dipergunakan relatif sederhana; Bukan berarti tidak ada peralatan yang bersifat mekanistik. Tetap ada penggunaan peralatan yang bermuatan teknologi, namun kandungan teknologi-nya relatif sederhana, dapat dipergunakan secara praktis (tepat guna).
2) Hanya sedikit menggunakan modal.
Pemahaman modal disini adalah modal untuk berproduksi, terutama tenaga manusia. Relatif lebih murah, karena tenaga manusia dimaksud umumnya terdiri dari anggota keluarga, yang masih ada ikatan persaudaraan, sehingga sistem upah tidak diukur dari aspek “upah moneter”, namun kompensasinya dapat berupa “natura”, misalnya pembagian hasil setelah panen. Kalaupun ada upah, akan tetapi tidak diukur secara ekonomi murni, lebih banyak pada kesepakatan bersama.
3) Pertukaran dilakukan dengan sistem barter.
Pertukaran barang (barter) dalam transaksi ekonomi tradisional masih berlaku sampai dengan saat ini, terutama dipedesaan. Barter terjadi karena masing-masing pihak berkepentingan terhadap barang yang berbeda. Komposisi pertukaran barang dinilai atas dasar kesetaran nilai, tanpa mengedepankan “nilai moneter-nya”. Oleh karenanya, komposisi tersebut tidak bersifat baku, karena unsur utamanya dilandasi kerelaan dan bersifat personal. Barter dapat dilakukan pula dalam bentuk transaksi pertukaran jasa dengan barang. Seperti, upah kerja yang diberikan dari hasil produksi (natura).
4) Tidak mengenal pola pembagian kerja.
Dalam masyarakat ekonomi moderen pembagian kerja merupakan spesialisasi keahlian untuk berperan didalam pasaran kerja. Ini merupakan implikasi dari kompleksitas permasalahan yang menuntut spesialisasi keahlian yang berbeda. Sebaliknya dalam masyarakat ekonomi tradisional permasalahannya tidak begitu kompleks, sehingga tidak ada keharusan pembagian kerja, karena teknologi sederhana yang ada dapat dioperasionalkan oleh setiap orang. Pembagian kerja hanya sebatas pembagian tanggung-jawab, yang tidak bernilai ekonomi semata.
5) Masih terikat tradisi.
Masyarakat dalam ekonomi tradisional selalu terikat dengan tatanan sosial budaya yang menjadi tradisi sejak lama, biasanya terkait dengan norma-norma adat dan pemahaman bahwa alam adalah bagian dari kehidupan. Ajaran keagamaan (kepercayaan) yang masih bernuansa animisme menjadikan alam sebagai bagian pemujaan (ritual) yang harus dilaksanakan. Tradisi yang telah membudaya dalam kehidupan masyarakat di pedesaan/pesisir (khususnya di Indonesia), menjadikan gejala alam sebagai pertanda untuk melakukan usaha lingkup agraris.
6) Tanah sebagai tumpuan kegiatan produksi dan sumber kemakmuran.
Sejak zaman feodalisme hingga saat ini, tanah merupakan bagian dari modal ekonomi yang bersifat strategis. Perbedaanya, dalam ekonomi tradisional menganggap tanah sebagai satu-satunya modal utama, karena disamping menyangkut status sosial, keberadaan tanah dapat diidentikan dengan penguasaan faktor produksi dan peningkatan kemakmuran.
Seperti telah diutarakan diatas, pada tataran ekstrim, ekonomi tradisional dapat dikatakan sudah tidak ada lagi, akan tetapi beberapa ciri-ciri tadi masih terdapat di pedesaan (termasuk wilayah pesisir pantai dan kepulauan terpencil) di Indonesia, meskipun dalam batas-batas tertentu tidak semua ciri tersebut didapatkan dalam kehidupan masyarakat desa, seperti barter murni dalam jumlah yang besar.
Ciri-ciri lainnya, tanah tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya faktor produksi, karena mulai dipahaminya pemanfaatan teknologi dalam kegiatan berproduksi. Berikutnya, mengenai pembagian kerja diterjemahkan secara sederhana menjadi spesialisasi didalam menentukan pilihan produk yang dibudidayakan, sesuai potensi alam setempat.
Sisi positif ekonomi tradisional; Pertama, mengeliminir terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat, sebaliknya lebih menekankan pada kebersamaan yang menempatkan kepentingan komunal diatas segalanya. Hubungan interaktif antar individu lebih bersifat personal, sehingga cukup membantu untuk menekan terjadinya persaingan tidak sehat. Kedua, implikasi dari hal pertama tadi berimbas pada lemahnya semangat “invidualisme”, yaitu lebih mementingkan kepentingan pribadi diatas segalanya. Sementara dalam mekanisme pasar, yang menjadi kharakter utama ekonomi moderen, semangat individualisme menuntun penilaian ekonomi pada aspek mencari keuntungan sepihak, tanpa memikirkan pihak lainnya untung atau rugi. Ketiga, kemakmuran hakikinya harus dinikmati bersama, walaupun tingkatan kekayaan ekonomi antar individu berbeda, sehingga kehidupan masyarakat tercipta dalam suasana yang aman.
Sisi kelemahannya; Pertama, penggunaan teknologi belum sepenuhnya dijadikan sebagai faktor produksi, sehingga tingkat produktifitas masih rendah. Pengalaman kerja yang didapatkan secara otodidak atau turun-temurun dari generasi sebelumnya, berakibat pencapaian produktifitas bersifat stagnan, dan cenderung mengalami penurunan, apabila dihitung perunitnya. Karena, peningkatan produktifitas harus diikuti dengan penambahan tenaga atau penambahan faktor produksi lainnya, seperti tanah, sedangkan hasil yang didapat tidak meningkat signifikan. Kedua, tanpa adanya sentuhan teknologi menyebabkan kualitas hasil produksi relatif masih rendah.
Dari keseluruhan uraian diatas, pemahaman mengenai ekonomi tradisional tidak harus diindentikan dengan “primitif”. Keberadaannya akan selalu melekat pada suatu Negara yang kondisi kehidupan ekonomi masyarakatnya dihadapkan pada hal-hal sebagai berikut :
1) Potensi agraris-nya besar, dalam cakupan wilayah yang luas, namun masih menghadapi keterbatasan sarana/prasarana untuk menjangkau seluruh wilayahnya, sehingga masyarakat yang berada di wilayah pedesaan (“pedalaman”) belum terjangkau tersebut (“minim sarana/prasarana”), secara mandiri mengelola potensi agraris-nya berdasarkan pengalaman yang diwarisi turun temurun.
2) Keterbelakangan wilayah berarti “keterisolasian”; serba terdapat banyak keterbatasan terutama informasi, dan ini cenderung menjadikan masyarakatnya lambat menerima perubahan. Setiap perubahan selalu dipadankan baik – buruknya terhadap tata nilai yang berlaku. Sikap berkompetisi (persaingan) dan harga ditentukan secara ekonomis, dengan ukuran moneter, bukan tatanan nilai utama dalam sistem ekonomi tradisional. Terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang dan papan sudah menjadi ukuran kemakmuran, sehingga nilai lebih produksi merupakan milik bersama dan harus dinikmati bersama. Dalam kelompok masyarakat terbatas (dalam wilayah yang begitu luas) pemenuhan pangan, sandang dan papan cukup menggunakan alat produksi sederhana, tidak memerlukan teknologi tinggi, apalagi modal yang besar.
3) Kesadaran terhadap potensi alam yang memberikan sumber penghidupan, menyebabkan timbulnya kearipan lokal dalam pengelolaan potensi alam, yang merupakan tradisi budaya turun temurun; Dan dari banyak kasus terbukti bahwa kearifan lokal sangat mendukung kelestarian alam. Atau dengan arti kata lainnya, tradisi suatu masyarakat tradisional tidak selalu dipersepsikan “tertinggal”.
4) Latar belakang pendidikan masyarakat dalam ekonomi tradisional relatif rendah. Konsekwensinya, disatu sisi lamban dalam menerima perubahan, disisi lainnya mereka memiliki pemahaman yang berlaku menurut tatanan setempat, sehingga penerimaan perubahan terlebih dahulu memahami tatatan nilai setempat. Kondisi demikian bila dikaitkan dengan nilai-nilai ekonomi “konvensional”, tidak akan ada titik temu, mengingat ekonomi tradisional berkembang dalam lingkungan dimana masyarakat menerimanya sebagai suatu realita yang menjadikan mereka tetap hidup, walaupun dengan keterbelakangan pendidikan. Perubahan ekonomi tradisional menjadi kearah moderen, pasti akan terjadi. Akan tetapi prosesnya terjadi secara bertahap, sejalan dengan kesiapan menerima perubahan.
F. Kelembagaan Ekonomi Tradisional
Sebagaimana telah disebutkan pada awal pembahasan; Sistem ekonomi tradisional merupakan awal pengembangan ekonomi yang lebih moderen; menurut Rahardjo Adisasmita (2010; 28), terdapat 3 (tiga) sistem ekonomi utama, yaitu komunis, sosialis dan kapitalis. Dengan runtuhnya Uni Sovyet, merupakan keruntuhan sistem ekonomi komunis, walaupun masih menyisakan Kuba dan Korea Utara sebagai penganut sistem yang sama, namun dilihat dari skala ekonomi-nya tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap perekonomian dunia secara keseluruhan. Sementara Negara China, sistem ekonomi-nya sudah menjadi kapitalis, dimana paham komunis hanya merupakan ideologi (manifesto) Negara saja (lihat kembali John dan Doris Naisbitt). Artinya, perekonomian dunia saat ini hanya ada kapitalis dan sosialis, yang sama-sama berorientasi pasar. Oleh Sarbini Soemawinata (2004; 74); menyebutkan bahwa dampak negatif perkembangan kapitalis, dapat dihadapi oleh paham sosialis – dengan mengedepankan demokrasi didalam masyarakat.
Pertanyaannya; apakah pada sistem ekonomi tradisional tidak ada pasar. Jawaban tetap ada pasar, karena dalam pengertian ekonomi pasar tidak diartikan “tempat pasar” (market place). Menurut Ahmad Erani Yustika (2010; 308); dalam suatu pasar keputusan merefleksikan saling keterkaitan (interplay) antara pasokan (supply) dan permintaan (demand) dan harga bisa berfluktuasi tergantung dari perubahan hubungan (changing relationship) diantara penjual dan “harga”, sebagai suatu nilai moneter.
Kalau harga merupakan “nilai moneter” sepenuhnya, akan terdapat pertentangan harga dalam sistem ekonomi tradisional, mengingat harga tersebut dapat berbentuk “non nilai moneter”. Pergeseran penggunaan harga (nilai) dari non moneter menjadi moneter, akan bergantung tahapan dari perkembangan monetisasi dilingkungan masyarakat tradisional. Dan ini akan terjadi, karena perubahan terhadap 4 (empat) hal :
1) Kemampuan berproduksi sektor agraris sudah melebihi kebutuhan masyarakat setempat dilihat dari aspek kuantitas-nya, dan dari aspek kualitasnya sudah bervariasi (mampu menghasilkan banyak produk).
2) Pasar dalam artian “tempat” sudah berkembang; mengarah pada pasar reguler; permanen pada suatu tempat, dimana penjual dan pembeli bertemu secara fisik.
3) Muncul kehadiran pihak lain (eksternal) yang bertindak sebagai perantara (mediator) antara masyarakat setempat dengan pihak lain. Pada awalnya pertukaran terjadi dengan cara barter, namun sejalan dengan perkembangan pasar mulai menggunakan alat pertukaran moneter.
4) Masyarakat setempat mulai memahami nilai ekonomi suatu produk yang mereka hasilkan.
Keempat perubahan diatas akan terjadi secara alami, tidak perlu dipaksakan, dengan pelbagai dalih program pembangunan top down pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Sebaiknya langkah yang perlu dilakukan adalah melakukan pemberdayaan pada aspek pendidikan dan kemampuan berproduksi, melalui program pendampingan yang kontinyu dan direncanakan dengan baik.
Pertanyaan berikutnya; apakah ekonomi tradisional masih ada relevansinya sistem ekonomi Indonesia, yang menganut paham sosialisme ala Indonesia. Oleh Mubyarto disebutkan sebagai “Ekonomi Pancasila”. Dalam konteks ini. keberadaan Ekonomi Pancasila yang oleh Mubyarto, disebutkan prakteknya dengan mudah dapat ditemui dalam kehidupan nyata dilingkungan masyarakat Indonesia, sebagai ekonomi rakyat, bersifat moralistik, demokratik dan mandiri. Dalam pemahaman yang berbeda, oleh Dawam Rahardjo; dikatakan bahwa apabila ekonomi rakyat yang diidentikan dengan Ekonomi Pancasila, yang banyak dijumpai di daerah-daerah, di pedesaan dan kota-kota kecil maupun di kampung-kampung yang berada pada daerah perkotaan. Pada umumnya, diwilayah tersebut banyak dijumpai industri/kerajinan rakyat bercirikan kolektifisme, dimana berlaku kepemilikan kolektif atas faktor-faktor produksi yang menghasilkan produk kolektif/individu, dengan distribusi yang berorientasi pada pemenuhan pasar lokal. Jika praktek sederhana tersebut dijadikan rujukan, maka praktek tadi hanya sekedar gambaran dari sebuah “ekonomi tradisional”; bukan sistem ekonomi dalam arti sebenarnya. Ekonomi tradisional merupakan kondisi faktual yang dihadapi oleh Negara Berkembang, bersendikan masyarakat sipil (civil society) dan dialog serta perekonomian yang bersifat subsisten dan intensif sumber daya manusia.
Sistem ekonomi lainnya yang telah disebutkan sebelumnya, namun tidak berbeda prinsip dengan ekonomi Pancasila adalah Ekonomi Kerakyatan, dimana oleh Sarbini Sumawinata (2004); dikatakan bahwa Ekonomi Kerakyatan adalah “gagasan” tentang cara dan tujuan pembangunan dengan sasaran utama perbaikan nasib rakyat, yang pada umumnya berdomisili di pedesaan. Ekonomi Kerakyatan ini menghendaki adanya pendekatan terhadap kebebasan ekonomi dan partisipasi seluruh masyarakat, sehingga peranan pemerintah harus mampu mewujudkan adanya demokrasi ekonomi, keadilan sosial dan mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat (populistik). Artinya, Ekonomi Kerakyatan ini mendekati sistem ekonomi pasar sosialis, yang dikemas dengan realita Indonesia.
Oleh Revrisond Baswir (2010); Ekonomi Kerakyatan atau Demokrasi Ekonomi, dapat diartikan; perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat untuk memiliki alat-alat produksi atau modal nasional (pasal 33 UUD 1945), baik modal material, intelektual maupun institusional. Implikasinya, Negara dipastikan harus mampu mendistribusikan secara merata ketiga modal tersebut kepada masyarakat, guna menjamin keterlibatan masyarakat dalam proses produksi, karena sesuai amanat pasal 27 UUD 1945, setiap warga Negara berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak. Perwujudan pasal 27 dan 33 UUD 1945 dalam tataran kebijakan ekonomi, tidak menegaskan sebagai suatu sistem ekonomi yang dapat dibedakan dengan sistem ekonomi lainnya, namun lebih memperjelas arah pijakan sistem yang bernuasa sosialis.
G. K e s i m p u l a n
Dari keseluruhan pembahasan yang telah diutarakan sebelum-nya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1) Keberadaan sistem ekonomi tradisional merupakan bagian dari sub sistem ekonomi Indonesia, yang menganut paham sosialis, yang sering disebut dengan Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Kerakyatan, karena basisnya memperdayakan masyarakat luas terutama di pedesaan.
2) Ekonomi tradisional akan berkembang menjadi lebih moderen, dengan tahapan proses yang tidak perlu dipaksakan, karena terdapat 4 (empat) hal yang menjadikan proses itu berjalan dengan sendirinya atas inisiatif masyarakat setempat.
3) Ekonomi tradisional yang bersifat ekstrim sudah tidak ada lagi, namun ciri-ciri mendasarnya masih sering ditemui di Negara-negara berkembang yang potensi agraris-nya dominan, dan dalam kehidupan masyarakat-nya terjadi dualisme kondisi ekonomi, yaitu masyarakat bercorak moderen dan bercorak tradisional.
O l e h :
Diddy Rusdiansyah A.D, SE, MM., M.SI
(Dosen Tetap pada Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda)
Daftar Pustaka
1) Adisasmita, Prof. DR. Rahardjo, M.Ec. 2010. Ekonomi Politik. Universitas Hasanuddin. Makassar.
2) Badan Pusat Statitik. 2010. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Edisi I. Juni 2010. Jakarta.
3) Badan Pusat Statistik. 2010. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2010. Berita Resmi Statistik. No. 45/07/Th.XIII, Juli 2010. Jakarta.
4) Basri, Faisal & Haris Munandar. 2009. Lanskap Ekonomi Indonesia – Kajian dan Renungan Terhadap Masalah Struktural, Transpormasi Baru dan Prospek Perekonomian Indonesia. Edisi Pertama. Cetakan ke-1. Penerbit Kencana Prenada Group. Jakarta.
5) Baswir, Revrisond. 2010. Ekonomi Kerakyatan Vs Neoliberalisme. Cetakan I. Januari 2010. Delokomotif. Jakarta.
6) Boediono. 2009. Ekonomi Indonesia Mau Kemana ? – Kumpulan Esai Ekonomi. Cetakan Pertama. Juni 2009. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.
7) Booth, Anne dan Peter McCawley, 1979. Ekonomi Orde Baru. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta.
8) Deliannov, Drs, MSc. 2006. Ekonomi Politik. Penerbit Erlangga. Jakarta.
9) Deliarnov, Drs. MSc. 2010. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Edisi Ketiga. Cetakan Keenam. Januari 2010. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
10)Hanani, Nuhfil dan Mangku Purnomo. 2010. Perubahan Struktur Ekonomi Lokal. Cetakan Pertama. Universitas Brawijaya Press. Malang.
11)Hill, Hal. 2002. Ekonomi Inonesia. Edisi Kedua. Cetakan Kedua. Maret 2002. Alih Bahasa Tri Wibowo Budi Santoso dan Hadi Susilo. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
12)Jhingan, M.L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Cetakan Kedelapan. Oktober 2000. Penerjemah Guritno. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
13)Lembaga Demografi FEUI. 2011. Indonesia Economic Outlook 2011. Lembaga Penerbit FEUI. Jakarta.
14)Naisbitt, John dan Doris Naisbitt. 2010. China’s Megatrends – 8 Pilar yang Membuat Dasyat China. Alih Bahasa Hendro Prasetyo. PT. Grameda Pustaka Utama. Jakarta.
15)Rahardjo, Prof. DR. Dawam. 2004. Ekonomi Pancasila Dalam Tinjauan Filsafat Ilmu (handout). 6 Januari 2004. Diunduh tanggal 21 Desember 2009.
16)Rahardjo, Prof. DR. Dawam. 2011. Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius – Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara. Cetakan I. Oktober 2011. Penerbit Mizan Publika. Jakarta.
17)Rachbini, Didik J. 2004. Ekonomi Politik – Kebijakan dan Strategi Pembangunan. Edisi Pertama. Pebruari 2004. Granit. Jakarta.
18)Sumawinata, Prof. Sarbini. 2004. Politik Ekonomi Kerakyatan. Cetakan Pertama. Maret 2004. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
19)Susanto, AB, at all. 2010. Reinvensi Pembangunan Ekonomi Daerah – Bagaimana Membangun Kesejahteraan Daerah. Penerbit Erlangga. Jakarta.
20)Todaro, Michael P dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid I. Edisi Kesembilan. Alih Bahasa Drs. Haris Munandar, MA dan Puji A.L, SE. Penerbit Erlangga. Jakarta.
21)Yustika, Ahmad Erani, DR. 2010. Ekonomi Kelembagaan – Definisi, Teori dan Strategi. Edisi Kedua. Cetakan Kedua. September 2010. Bayumedia Publishing. Malang.
Leave a Reply